SELAMAT DATANG DI CYBER MEDIA KP HMI CABANG YOGYAKARTA

01 Maret 2009

Di Bawah Bayang-bayang Kematian Islam

Oleh : Ihab Habudin

‘Tahu’ dan ‘Pengetahuan’
Manusia adalah mahluk sempurna. Dibekali akal, hati dan indera ia menjelma sebagai mahluk yang paling berpengaruh di muka bumi ini. Inovasi tiada hentinya dalam mengasah kreasi ketiga potensinya itu telah menghasilkan kebudayaan dan peradaban yang sangat kompleks sekarang ini. Misalnya saja, Darinya kita tahu dan mengenal ada Handphone Star Tech (ST 21) yang harganya Cuma Rp. 199.000.- plus kartu pedana ‘bebas’, tarif temurah, dan 600 sms gratis dengan fasilitas dual band GSM 900/1800 MHz, CFTN Nistual, Colour Background 1,5 inci, Predictive text input, polyphonic, speaker phone, jam alam, jam digital dan kalkulator kalender, baterai Li-Ion 700 MAH hingga si Nokia Connecting People (N5310) yang dengannya kita bisa memutar musik hingga 18 jam, radio FM dengan Radio Data System (RDS), Layar dengan 16 Juta warna yang tajam termasuk kamera 2 megapixel serta Mikro SD 512 MB.

Atau tidak perlu rumit-rumit. Cara kita makan, minum, bertindak ini-itu, menyimpulkan harus begini-begitu, menganggap ini lurus-itu sesat, ini benar-itu salah, ini surgawi-itu nerakawi, ini duniawi-itu ukhrawi, ini kebaikan-itu keburukan, ini pahlawan-itu bajingan dan lain sebagainya adalah hasil dari pergulatan daya potensia manusia yakni akal, indera dan hati.

Pertanyaanya, dari mana hasrat berpengetahuan itu datang? Sehingga kita sampai pada peradaban dan kebudayaan kompleks di abad pogresivitas dan degradasitas abad 21 ini? Jawaban sederhananya adalah rasa ingin ‘tahunya’ manusia atas apa yang ‘telah diketahuinya’. Ya, karena sudah menjadi fitrah manusia untuk ingin tahu relitas yang sewaktu dia dilahirkan tidak dalam berpengetahuan apa-apa. Itulah mengapa seorang Aristoteles mengatakan bahwa “setiap manusia dari kodratnya adalah ingin tahu”. Itulah yang menyebabkan mengapa seorang Socrates sampai berkata bahwa “saya tidak tahu apa-apa, satu-satunya yang saya tahu adalah saya tidak tahu apa-apa”. Itulah yang menyebabkan mengapa seorang Agustinus beseloroh “apa itu waktu? Bila seseorang tidak menanyaiku, saya tahu. Tetapi, ketika saya ingin menjelaskannya kepada seseorang yang menanyakannya, saya tidak tahu” . Rasa kagum, kata Plato telah menjadikan manusia menguras otak, memaksimalkan penelitian inderawinya dan mengoptimalkan rasa kemanusiaannya untuk mencipta peradaban. Jadi, pengetahuan pada dasarnya adalah hasil cerapan manusia melalui semua potensinya, yang membuat ia tahu ini dan itu.

Tapi dorongan seperti apa yang membuat manusia ingin mengetahui? Jawabannya adalah keinginan untuk membongkar realitas yang ‘sebenarnya ada’ dari Segala realitas ‘yang ada’ untuk selanjutnya meyakini sesuatu. Entah itu realitas yang tampak secera inderawi atau tidak tampak secara inderawi. Hal ini wajar, karena memang seharusnya manusia yang hidup dan berakal itu bertanya mencari apa yang dianggapnya sebagai sesuatu ‘yang benar’ untuk kemudian meyakininya dan menjadikannya sebagai landasan hidup.

Dalam hal ini Miranda Risang Ayu menulis:”hanya manusia yang memanusialah yang suka bertanya. Tapi, ini tidak berarti bahwa orang yang sehat dalam konteks memanusia adalah adalah orang yang selalu bertanya. Saya pikir orang seperti itu sinting. Lebih tepat jika dikatakan orang yang sehat adalah orang yang selalu bertanya sekaligus menjawab. Ia selalu siap ‘angkuh’ dan meragukan sesuatu, sekaligus siap rendah hati dan meyakini sesuatu”.
Sejarah Ilmu Pengetahuan
Berbagai literatur yang sampai kepada kita berkaitan dengan sejarah pengetahuan mengatakan bahwa dalam konteks peradaban, pengetahuan di mulai sejak Thales muncul dengan pikiran ‘nakal’nya membongkar mite-mite yunani. Padahal, sebagaimana ditegaskan Hassan Hanafi, sebenarnya jauh sebelum itu telah muncul peradaban timur seperti; China, India, Persia dan Mesir. Adapun peradaban Yunani adalah hasil cerapan atas peradaban-peradaban Timur tersebut. Tapi, ini tidak terlalu aneh. Konstruksi pengetahuan kita saat ini sangat dipengaruhi oleh filsafat barat yang tentu saja melandaskan akar historisnya pada peradaban Yunani. Bahkan Hassan Hanafi sendiri tidak terlalu merisaukan meski menampakan kekesalan atas penyimpangan sejarah pengetahuan ini. Mungkin ini tak terlalu berpengaruh dalam upaya konstruksi peradaban pengetahuan selanjutnya.
Masa Yunani Kuno
Masa ini adalah masa kemunculan filsafat secara umum. Dimulai dengan pendibrakan Thales atas Mitologi Yunani, akal mulai menonjol dominasinya meskipun iman masih terlihat peranannya. Hal ini berlangsung hingga kaum sofis muncul. Berbeda dengan masa sebelumnya, masa kaum sofis menihilkan hal-hal imani. Atau dengan kata lain akal memenangkan pertarungan dan menghabisi iman. Ini bisa kita lihat dengan fenomena manusia sebagai ukuran kebenaran. Jadilah yang ada kebenaran menjadi sangat relative.
Tapi, ini tak berlangsung lama. Socrates muncul sebagai garda depan penyelamat bahwa kebenaran tidak semuanya relative. Sebaliknya, bagi Socrates ada kebenaran umum (pengertian umum), yakni kebenaran yang bisa diterima oleh semua orang. Keyakinan inilah yang mendorong Socrates untuk berjalan di pasar-pasar untuk berdebat dengan semua orang yang ditemuinya agar ada kebenaran umum yang win-win solution. Kondisi ini bertahan cukup lama meski lama-kelamaan filsafat larut dan menemui kekalahan terbesarnya pada abad pertengahan.
Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan ini akal benar-benar kalah. Bahkan ada yang menyatakan bahwa abad pertengahan adalah pembalasan terhadap dominasi akal yang hamper sseratus persen berkuasa pada masa Yunani, terutama masa kaum sofis. Meski memunculkan Aquinas yang mencoba mencairkan kembali filsafat, tetapi usahanya itu banyak ditentang sehingga tidak berkembang. Akibatnya, filsafat dan sains berhenti. Jangankan berkembang, menjaga tradisi filsafati Yunani saja tidak mampu.
Zaman Modern
Zaman ini ditandai dengan jebolnya tembok kemenangan dogma oleh senjata ‘cogito ergo sum’nya Descrates untuk kemudian membebaskan akal ke alam bebas. Akal kembali ke tampuk kekuasaan. Filsafat Yunani kembali menemukan bentuknya dan berkembang pesat. Bahkan rasionalisme menjadi ciri khas pikiran modern beserta empirisme. Maka, zaman modern adalah masa kemenangan filsafat dan sains.
Era Posmodern
Dapat dikatakan era postmodern adalah yang membingungkan. Tidak ada kesepakatan kapan posmodernisme itu muncul dan siapa tokoh pertamanya. Tapi yang jelas postmodern adalah kritik bagi modernisme. ‘filsafat’, ‘rasionalitas’ dan ‘epistemologi keilmuan’ barat kembali dipertanyakan secara radikal. Begitupun dengan tokoh-tokohnya banyak mengelompokannya secara beragam. Habermas misalnya. Ada yang mengatakan bahwa ia masuk dalam tradisi postmodern ada pula yang menyatakan masuk modern.
Menyelami Ontologi Ilmu : Antara ADA dan TIADA
Realitas ini adalah keberadaan. Yang nampak seperti kursi dan lain sebagainya serta yang tidak tampak seperti pikiran dan sebagainya adalah realitas. Tapi, Apakah Yang Sebenarnya Ada? Ada sebenarnya sebagai pusat Segala sesuatu? Materi atau ide, benda-benda atau apa yang ada di otak-otak kita (pikiran)? Untuk menjawabnya kita perlu menyimak perdebatan filosofis para mahluk ‘aneh’, yakni Filosof.Bagi kalangan materialis, yang sebenarnya ada adalah benda-benda. Apa yang tampak sebagai kursi, meja, gentong, sepatu, peserta lk, pemandu, pemateri adalah benda-benda atu materi yang tersusun dari unsure-unsur lebih kecil yang menyatu dan membentuknya. Ya, semua benda itu terdiri dari atom-atom. Atom terdiri dari inti dan electron. Inti terdiri dari proton dan netron. Dan terakhir muncul unsure terkecil yang hingga kini dianggap tak bisa dipisah-pisah lagi yaitu quark. Karena inilah kalangan materialis berkeyakinan yang sebenarnya ada adalah benda.
Namun sayang, lembar jawaban ini masih menyisakan masalah. Masalah itu terutama datang dari kaum idealis plus religius. Bagi kaum idealis jawaban kalangan materialis tidak memuaskan kaena masih menimbulkan pertanyaan; apa sebenarnya quark itu? Mana buktinya kalau itu benar-benar ada? Bukankah sang materialis selalu bisa membuktikan data empiric melalui indera terlebih dahulu sebelum menyimpulkan? Serangan yang membuat mati kutu kaum materialis itu membuat kaum idealis di atas angin. Bagi mereka yang sebenarnya ada adalah pikiran atau itu. Hore....hidup kaum idealis.
Sudah finalkah, dan idealis tampil sebagai pemenang? Belum. Persoalan masih menghantui; apa sebenarnya pikiran itu? Petarungan kembali berrlanjut, bagi kaum materialis, pikiran adalah pola-pola dalam otak manusia yang sejatinya terdiri dari benda-benda. Sementara kaum idealis membantah: pikiran adalah pola-pola yang bermakna dan saling memaknai. yang bisa memaknai ini apalagi kalau bukan pikiran. Bukan benda-benda. Tibalah kita pada pandangan yang berputar-putar. Tidak lagi ke kiri atau ke kanan, kini kita sampai pada bundaran yang membingungkan. Adakah yang menjadi penunjuk jalan? Para filosof sejarah tampil ke depan. Meraka mengatakan bahwa yang benar-bena ada adalah peristiwa-peristiwa yang hakikatnya terletak pada kreativitas. Yang ideal dan yang material tak lain adalah aspek-aspek saja dari setiap proses. Jawaban yang sedikit-banyak membuat reda perang urat syaraf.Dengan demikian kita bisa mengatakan, bagi kalangan materialis yang sebenarnya ada adalah materi, bagi kaum dealis yang sebenarnya ada adalah pikiran, dan bagi filosof sejarah yang sebenanya ada adalah peristiwa-peistiwa. Tapi, Apakah “ADA” Itu Sebenarnya? Apakah yang sebenarnya ADA itu hanya materi dan apa yang bisa kita pikirkan? Bagaimana pula dengan ADA-nya Tuhan?
ADA itu adalah sesuatu, sesuatu itu meliputi yang tampak dan tidak tampak oleh indera. Tapi, apakah ADA-nya tuhan juga demikian? Bagi Mulla Shadra seorang tokoh filsafat islam, ADA itu tanggal dan berlaku untuk semua benda, baik yang konkrit maupun yang abstrak. Meskipun begitu, Shadra mengatkan bahwa “ada”nya Tuhan adalah ADA murni, sedangkan “ada”nya yang lain becampur dengan esensi. Inilah pelipur lara bagi para pencari bukti adanya tuhan melui pendekatan filsafat. Karena ADA-nya Tuhan adalah Murni maka mengatakan bahwa Tuhan itu Tidak ada adalah sebuah kemustahilan. Karena bagaimanapun kita berpikir dan berkata bahwa Tuhan tidaka ada, Tuhan tetap ADA.
Apa yang kita bicarakan di atas adalah wilayah hakikat. Kita menyaksikan bahwa bagi kalangan materialis yang hakikat adalah benda benda. Dan bagi kalangan idealis yang hakikat adalah pikiran. Bagaimana dengan islam? Apa yang hakiki menurut Islam? Tentu yang hakiki, yang ada sebenarnya adalah Tuhan, yaitu Allah SWT. Karena Allah adalah pencipta Segala sesuatu (Khaliq). Dialah kebenaran satu-satunya.
Bila demikian halnya, bisakah kita mencapai kebenaran Tuhan itu? Bisakah manusia yang relative kebenarannya mencapai kebenaran Tuhan yang mutlak? Bukankah manusia itu mahluk yang lemah? Terlebih lagi Allah SWT memberikan pengetahuannya kepada kita tidak ada kecuali sedikit (illa qaliil). Hemat saya kita perlu terjerumus pada apakah kita akan sampai pada kebenaran yang mutlak itu dan berbangga-angkuh saya telah mencapai hakikat. Yang tepenting bagi saya adalah Allah yang maha Pemurah itu telah mengaugrahkan kepada kita berbagai petensia untuk berpengetahuan. Kita dianugrahkan akal, indera dan hati sebagai bekal mengarungi kehidupan dunia ini yang tidak lepas dari ruang dan waktu. Maka bagaimana kita memaksimalkan daya potensia kita di alam fana ini sebagai wujud ibadah kita kepada Allah SWT. Maksimalisasi dari semua potensia itulah yang akan mendekatkan diri kita kepada Allah. Selain itu, bekal kodrati manusia berupa akal, hati dan indera itu juga berarti menekankan kita untuk berusaha mencari kebenaran hakiki. Bukankah akal, hati dan indera juga berasall daru Tuhan? Dengan begitu, Tuhan telah memberi kesempatan kepada manusia untuk mencari pengetahuan (kebenaran) sebagai lambing pengabdian kepada Allah SWT. Itulah yang menjadikan seorang Murthada Muthahhari menyebutkan adanya kemungkinan manusia mendapatkan pengetahuan atau kebenaran.
Disinilah kita menemukan konteksnya mengenai hakikat ilmu. Ilmu bukankah seongkang usaha tanpa makna, melainkan ia mengemban amanah untuk memahami realitas sebenarnya sebagai wujud pengabdian kepada Allah SWT dan perannya di muka bumi sebagai khalifah.
Epistemologi Ilmu
Sumber Pengetahuan Manusia
“Dari mana datangnya cinta, dari mata turun ke hati.”
Adalah ungkapan yang sering kita dengar dan cukup mengundang ‘geli’. Bukan tanpa makna. Dalam perspektif ilmu, mata adalah sumber pengetahuan empiris dan hati sumber keyakinan diri. Dengan mata kita bisa menyaksikan hitam-putih, tampan-cantik, bulat-lonjong, mancung-pesek, kurus-gemuk, tinggi-rendah dan sebagainya. Dengan hati kita bisa merasa susah-senang, cinta-benci, tenang-khawatir, simpati-empati, takjub-mangkel dan sebagainya. Inilah sebagian pengetahuan manusia.
Tapi, apakah dengan melihat dan seklaigus itu yang menyebabkan kita meyakini? Atau keyakinan itu muncul serentak begitu saja lewat intuisi kita? muncul bagai jailangkung, datang tak dijemput pulang tak diantar? Lalu, mengapa kita harus benci? mengapa kita harus khawatir? mengapa harus begini? Mengapa harus begitu? Mengapa ini tidak boleh? Mengapa itu tidak boleh? Bagaimana kita bisa mengurai, memilih dan menilai dari berbagai fenomena empiris itu yang kemudian menyimpulkan ini-itu? Apa yang menjadi sandaran kita sehingga tingkah polah kita harus seperti ini dan itu? Indera, hati atau akal? Untuk menjawabnya, terlebih dahulu kita akan melihat alat atau sumberr-sumber pengetahuan manusia.
1. Indera
Manusia memiliki berbagai indera sebagai alat untuk mengetahui sesuatu. Indera penglihatan, pendengaran, dan perasa. “Kehilangan satu indera, maka ia telah kehilangan satu.” begitulah ungkap Aristoteles. Berkaitan dengan ini Muthahhari mengilustrasikan dengan sebuah contoh orang buta sejak lahir bertanya “susu beras itu seperti apa?”. Meskipun orang berusaha menjelaskannya. Tetap sang buta tidak bisa mengerti warna susu beras itu.

Selain itu, indera juga terbatas. Pengetahuan yang dihasilkan oleh indera sering kali menipu. Mata misalnya dalam melihat sesuatu akan sngat dipengaruhi oleh jarak. Contoh sederhana mengenai fatamorgana. Dari kejauhan kita melihat di terik matahati di sebuah jalan aspal yang lurus kita melihat ada gumpalan air di atas aspal. Tapi, tatkala dikonfirmasi dengan melihatnya lebih dekat, tak ada apa-apa. Air yang tadinya tampak nyata ternyata menipu, bukan yang sebenarnya.
2. Akal
Di atas keterbatasan indera itu akal muncul sebagai alat epistemology lain yang melengkapi. Ini tak lepas dari fungsinya yang bisa merenung, memilah, membuang yang tak bermakna, mencerap, menangkap makna, menimbang dan sebagainya. Seperti dikutip Musa Khazim, Murthada Muthahhari menggambarkan kinerja akal dalam lima tahap sebagai berikut:
a. Menerima pesan dari luar. Pada tahap ini akal menagkap objek-objek alam luar melalui panca indera yang tersimpan dalam lokus mental.
b. Mengingat. Artinya, setelah menerima gambar atau kesan dari luar, akal mempunyai kemampuan menampakan kembali secara jelas.
c. Membagi atau Mengklasifikasi dan Menggabungkan atau Mensintesiskan. Dalam tahap ini akal mampu mengurai, memilah dan mengupas kesan yang masuk dalam benak atau akal.
d. Abstraksi dan generalisasi. Dalam hal ini akal berupaya memisahkan gambaran yang tertangkap oleh panca indera dari cirri-ciri individual dan partikularnya.
e. Perenungan atau penalaran dan pembuktian atau argumentasi. Pada tahap ini akal mencoba menghubungkan seerangkaian data untuk mengungkap dan mengetahui objek yang belum diketahui.
3. Hati
Dapatkah hati menjadi sumber pengetahuan. Jalaludin Rumi pernah berkata bolehlah manusia dengan rasionya mengetahui segala sesuatu. Tapi, ia tidak tahu tentang dirinya sendiri. Ya, untuk keperluan ini kita bisa bertanya tentang kesedihan, kekhawatiran, bahkan keyakinan. Mungkinkah ini muncul dari rasio. Tidak ia muncul dari hati. Makanya, hati adalah alat epistemology. Alat untuk mendapatkan pengetahuan.

Aksiologi Ilmu: Apakah Ilmu Bebas Nilai Atau Tidak?
Bagi sekuler yang memposisikan agama dan ilmu pengetahuan dalam oposisi biner menganggap bahwa ilmu bebas nilai. Ilmu tidak terkait dengan agama atau dogma-dogma tertentu. Ia lahir begitu saja dari kreasi akal dan indera, atau lebih tepatnya melalui eksperimentasi terhadap alam dalam sains. Tapi, pertanyaannya adalah apakah ilmu itu dapat terlepas dari penerapannya? Apakah ilmu itu dibuat, dirancang, dan diterapkan dalam sosio-cultural tertentu tidak terkait dengan manusianya? Betulkah ilmu itu berdiri sendiri dalam upaya aplikasinya tanpa campur tangan manusia? Tidak, Ilmu tidak bebas nilai. Kalaupun ilmu itu bebas nilai, mengapa ilmu yang dianggap adalah untuk kemajuan dan kebaikan manusia telah menjelma sebagai kekuatan menakutkan? Ia telah digunakan semena-mena untuk eksploitasi alam, invasi militer, pembobolan rekening, penyalahgunaan anggaran, pembohongan public. Dalam teknologi informasi kita melihat krisis dimana ia telah menjadi penyangga utama budaya pop atau endah yang memiskinkan kesadaran dan terjebak ‘nyaman’ dalam ruang mekanistikan.
Membongkar Ilmu Pengetahuan Barat: Rasionalisme dan Empirisme
Akar dari ilmu pengetahuan barat sebenarnya bertumpu pada rasinalisme dan empirisme. Rasionalisme adalah aliran yang mengatakan bahwa pengetahuan sebenarnya adalah yang berasal dari akal. Bapak aliran ini adalah Rene Desrates dengan “Cogito Ergo Sum”-nya. Dalam pencariannya Descrates mempertanyakan dengan dalil apa saya mengatakan ala ini demikian, Tuhan itu ada, jiwa itu ada, roh itu ada, dunia ini ada, paris itu ada, agama al-Masih adalah demikian? Kemudian ia menguji berbagai alat epistemology namun tidak menemukannya. Akhirnya, ia kehilangan keyakinan dan kepercayaan. Ia pun mulai meragukan segala sesuatu. Dan, tatkala ia tenggelam dalam keraguannya, tiba-tiba disadarkan oleh poin yang ia katakana sendiri:”sekalipun saya meragukan segala yang ada, tetati saya tidak ragu bahwa saya dalam keadaan ragu”. Dengan demikian”saya sekarang tengah merasa ragu, dan karena saya merasa ragu, berarti saya tengah merasa ragu ini, asalah ada”. Munculah kemudian kata popular yang menggambarkan pemikiran Cartesian “ketika saya ragu, maka saya ada”. Tokoh lain pemerus Descrates adalah Spinoza dan Leibniz.
Sementara itu,empirisme adalah aliran yang mengatakan bahwa pengetahuan yang benar berasal dari indera atau pengalaman. John Locke adalah salah satu tokohnya selain David Hume dan Herbert Spenser yang juga banyak dikenal. Lock menyatakan bahwa tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita kecuali di dahului oleh pengalaman. Jiwa atau mind itu, tatkala seorang dilahirkan, keadaannya kosong, laksana kertas putih (tabula rasa), dan setiap ide yang diperolehnya selalu di dahului pengalaman inderawi. Sama halnya dengan Lock, Hume membedakan antara ide dan kesan. Semua ide yang kita miliki datang dari kesan-kesan. Dan, Spenser dengan nada berbeda tapi semakna mengatakan bahwa kita hanya dapat mengenali fenomena-fenomena atau gejala-gejala. Memang benar dibelakang gejala itu ada suatu dasar absolute, tetapi yang absolute itu tidak dapat kita kenal. Di sini, Spenser hendak mengatakan bahwa hal-hal yang sifatnya metafisis tidak ada. Yang ada hanyalah fenomena-fenomena inderawi.
Memeluk Ilmu Pengetahuan Islam:
Akal, Indera, Hati dan Wahyu sebagai epistemology islam
Karena kerja akal, indera dan hati telah diurai di atas, pembahasan ini akan lebih difokuskan pada interpretasi wahyu sebagai sumber pengetahuan. Hal ini menjadi sangat penting karena persoalan agama yang berhadapan dengan realitas sosial (wilayah inderawi), penafsiran (wilayah rasio) dan keyakinan apa yang mesti dilakukan sangat terkait dengan pegangan atau pembongkaran terhadap teks agama itu sendiri. Ini dapat dipahami, meskipun beragam interpretasi dan memunculkan banyak kesimpulan tetapi sumbernya tetap sama yaitu al-Qur’an dan Al-Hadis.

Sebelum menyelam ke kedalaman teks, kita perlu menjawab dahulu apakah al-Qu’an yang notabene yang oleh sebagaian kalangan dianggap universal itu bisa ditafsirkan? Melihat sejarah islam tentu jawabannnya menjadi pasti. Bisa di tafsirkan. Faktanya, doktriner-doktriner yang sampai kepada kita dibanjiri dengan ungkap-ungkap ajaran agama hasil penafsiran para ulama dan fuqaha. Bahkan penafsiran yang juga lambing dai ijtihad itu telah muncul setelah nabi meninggal. Dan kini kita pula mengenal mengenal adanya mazhab asy-Syafi’I, Maliki, Hambali, dan Hanafi. Tentu saja disamping itu banyak pula mujtahid yang tidak termasuk ulama mazhab. Hal yang sama terjadi sampai sekarang. Penafsiran akan teks sangat beragam. Ada yang bersifat fundamental ada juga liberal, ada yang menekankan pada teks ada pula yang menekankan pada rasio.
Bagi seorang ‘fundamentalis’ penafsiran teks agama bersifat skriptualisme, atau meyakini al-Qur’an sebagai firman Tuhan dan dianggap tanpa kesalahan. Ini bertolak pada prinsip bahwa; Pertama, penolakan terhadap hermenetika. Ia menolah interpretasi teks secara kritis. Baginya, al-Qur’an harus dipahami secara literal saja. mereka mengajukan alas an bahwa nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Kedua, penolakan tehadap pluralisme dan relativisme karena pluralisme dianggap merupakan pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. Pemahaman itu harus satu dan tidak ada realtivisme dalam memahami teks tersebut. Ketiga, penolakan terhadap perkembangan histories-sosiologis. Bagi mereka, pekembangan histories-bila perlu dengan kekeasa- harus disesuai dengan kitab suci. Dan, Keempat, mereka sering mengambil posisi oposisionalisme. Dengan keyakinan mereka akan kebenaran mutlak teks tersebut mereka mengambil jarak dengan pemahaman-pemahaman yang ia anggap ‘sesat’. Tak jarang prinsip-prinsip ini bertumpu pada legitimasi islam kaffah, kedaulatan tuhan dan puritanisme. Sebaliknya, bagi kalangan ‘liberal’ teks yang dianggap tidak sesuai dengan sosio-historis harus di bongkar dan ditafsirkan ulang. Tak masalah baginya bila kemudian terdapat pemahan yang berbeda-beda. Untuknya, kala wacana hermenetika mencuat. Kaum liberal menyambut baik.
Berkaitan dengan teks ini Hassan Hanafi menjelaskan bahwa; Pertama, teks adalah teks dan bukan realitas. Ia hanyalah deskripsi linguistic terhadap realitas yang tidak dapat menggantikannya. Kedua, teks hanya menuntut keimanan apriori. Ketiga, teks bertumpu pada otoritas al-Kitab. Keempat, teks datang dari luar bukan datang dai realitas dalam. Kelima, teks selalu tekait dengan realitas yang ditunjuknya. Keenam, teks bersifat unilateral yang selalu terkait dengan teks-teks lainnya. Ketujuh, teks selalu dalam ambiguitas pilihan-pilihan yang tidak luput dari pertimbangan untung-rugi (kepentingan).
Menurut saya, memang al-Qur’an tejamin kebenarannya. Tapi kebenaran yang ada di dalamnya ada yang bersifat universal ada juga yang temporal. Ada yang sifatnya normative-universal ada pula praktis-temporal. Atau dalam istilahnya Amin Abdullah ada dimensi normative dan histories-nya. Artinya, dalam al-Qur’an ada teks-teks yang berlaku secara umum dalam semua tempat dan waktu ada pula teks yang pelaksanaanya sesuai dengan konteksnya tergantung waktu dan sosio-historisnya.
Maka bagi saya kita tak perlu rebut-ribut apalagi saling menghujat antara yang fundamentalis dengan yang liberalis itu. Selain secara histories pemahaman manusia itu beragam juga karena posisi teks yang dihadapkan dengan tantangan zaman. Apalagi, islam dalam teks-teks agamanya tidak melulu menekankan keyakinan akan teks-teks agama melainkan juga yang lebih penting pengaplikasiannya. Bukankah seringnya kita membicarakan kesalehan individu dan sosial itu di ruang-ruang diskusi saja? bukankah kita hanya sibuk dengan urusan sesat-menyesatkan saja sementara kita lupa dengan teks-teks kesosialan kita yang sebenarnya nyuruh memberantas kolusi, korupsi dan nepotisme, penyalahguanaan wewenang, pembodohan rakyat, dan penindasan kaum lemah? Itulah karena seringnya kita menganggap bahwa urusan ilmu adalah urusan teks. Dan teks harus diperdebatkan dan di yakini bukan direalitaskan.
Sains versus Agama
Sains adalah bentuk pengetahuan modern yang paling berpengaruh dewasa ini. kemunculannya menjelma menjadi kekuatan yang tak tertandingi. Sains bahkan dianggap telah membuat dunianya sendiri yang sering dianggap netral yaitu dunia sains. Bebas dari agama dan dogma-dogma. Jadilah, sains selalu dipertentangkan dengan agama. Paling tidak, usaha Galileo dan Copernicus yang sering dipertentangkan dengan kaum gereja semakin membuktikan bahwa agama dan sains saling beseteru, menyerang, membunuh, serta saling mematikan. Terlebih, dengan hasil-hasil penelitian yang menakjubkan seperti teori evolusinya Darwin, teori atom-nya Dalton, rekayasa genetika dan lains sebagainya telah mengganggu kenyamanan agama yang secara doctrinal bertentangan dengan penelitian itu. Meskipun, di abad 20 ini agama kembali bisa tersenyum karena Einstein muncul dengan teori relativitasnya.
Tapi, apakah benar sain itu bertentangan dengan agama? Orang yang dianggap paling cerdas di abad 20 Albert Einstein penemu teori relativitas sekaligus penghancur teori kuantum menyatakan bahwa “ilmu pengetahuan hanya dapat diciptakan oleh mereka yang dipenuhi dengan gairah untuk mencapai kebenaran dan pemahaman. Tetapi, sumber perasaan itu berasal dari tataran agama. Termasuk di dalamnya adalah keimanan dan kemungkinan bahwa semua peraturan yang berlaku pada dunia wujud itu bersifat rasional. Artinya, dapat dipahami oleh akal. Saya tidak dapat membayangkan ada ilmuan sejati yang tidak mempunyai keimanan yang mendalam seperti itu. Keterangan ini dapat diungkapkan dengan gambaran: ilmu pengetahuan tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan lumpuh.” Dengan ini kita bisa mengatakan bahwa sains dan agama tidak diposisikan sebagai sesuai yang bertentangan melainkan saling melengkapi (integrasi).
Menelusuri Bayang-bayang Kematian Islam
Dalam persfektif ilmu yang telah saya urai di atas, saya mencoba memberanikan diri mengatakan bahwa Di bawah bayang-bayang kematian islam bukanlah fatamorgana. Bagi islam dan agama-agama lain. Dia tepat di depan mata kita. Paling tidak untuk menggambarkan dinamika keilmuan yang berpengaruh di era sekarang ini-saya dan kita harus mengakui-bahwa keilmuan barat yang bertumpu pada rasionalisme dan empirisme yang menjadikan manusia pusat segalanya merupakan kekuatan yang tidak tergoyahkan sekaligus menakutkan bagi islam. Bahkan dalam realitasnya kita ditaburi berbagai penjelasan bahwa islam kini tengah terpuruk. Pervez Hoodboy secara provokatif menggambarkan:
“Cobalah anda bayangkan sebuah tim antropolog dari Mars Mengunjungi Bumi sekitar abad ke-9 dan ke-13. Misi mereka adalah untuk mempelajari evolusi kebudayaan dan social manusia. Pengamatan mereka menunjukan bahwa masyarakat tertentu sangat dinamis dan berevolusi mencapai bentuk yang lebih maju dan lebih canggih, sementara masyarakat yang lain statis dan lumpuh karena tradisi dan tatacara agama. Pengunjung dari Mars ini melaporkan kepada markasnya bahwa peradaban yang mempunyai masa depan adalah peradaban islam dengan baitul hikmah, observarium astronomi, rumah sakit dan sekolahnya. …sementara eropa dengan paus-paus palsunya, tampak semakin mundur dan biadab, tenggelam dalam kemuraman abad kegelapam..Anggaplah kini tim mahluk asing yang sama datang kembali ke zaman ini. Dengan rasa malu mereka harus melaporkan kembali bahwa ramalan awal mereka ternyata salah. Sebagian umat manusia yang pernah tampak menawarkan janji peradaban tersebut, kini tak pelak lagi tersejabak dalam kebekuan abad pertengahan. Mereka menolak yang baru dan dengan frustasi bergantung pada kejayaan silam. Di lain pihak, yang tadinya tampak mundur telah menaiki tangga evolusi dan kini menuju bintang-bintang. Apakah pembalikan peran yang menakjubkan ini, Tanya para pengunjung dari Mars, apakah hanya sekedar kesialan satu pihak dan keberuntungan pihak lain?”
Hoodboy memang mengaitkan peradaban islam yang dimaksud dengan perkembangan sains. Ia hendak mengatakan bahwa ketertinggalan islam dalam bidang sains adalah karena ‘tidak dihargainya’ rasionalitas sebagaimana didewakan di dunia barat. Akibatnya, kubangan keterbelakangan dalam sains-hingga-kini belum beranjak dari jurang degradasi. Sebuah penelusuran yang menarik.
Namun bukan hanya sains saja yang sekarang menjadi perbincangan hangat dan ditengarai sebagai biang keladi berbagai problem sosial. Dunia keilmuan secara umum sedang banyak diperbincangkan. Apalagi terkait dengan agama. Termasuk islam. Keilmuan modern yang menyandarkan diri pada tradisi keilmuan barat sedang di gugat habis-habisan. Hal ini bisa dimaklumi karena manusia modern dengan pencapaian keilmuannya itu tidak hanya menemukan progressifitas melainkan juga degradasitas.
Peradaban dan kebudayaan kini (modernitas) yang merupakan buah keilmuan modern itu berserta tatanan social yang dihasilkannya ternyata telah melahirkan berbagai konsekuensi buruk (problem modernitas) bagi kehidupan manusia dan alam pada umumnya; Pertama, pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek-objek, spiritual-material, manusia-alam dan lain sebagainya telah mengakibatkan objektivisasi alam secara berlebihan dan pengurasan (eksploitasi) alam secara semena-mena. Kedua, pandangan modern yang objektivitas dan positivistis telah menjadikan manusia objek dan direkayasa bagai mesin. Al hasil, kehidupan menjadi tidak begitu ramah dengan hal-hal yang manusiawi. Ketiga, positif-empiris sebagai kebenaran tertinggi yang dianut modernisme telah menyebabkan nilai-nilai moral dan religius kehilangan wibawanya. Apalagi ditambah dengan kuatnya pengaruh kapitalisme dalam keilmuan modern telah menjadikan nilai-nilai agama terpinggirkan dalam kehidupan social. Timbulah kemudian kekerasan, keterasingan, depresi mental dan lain sebagainya. Keempat, modernitas telah menjadikan materi sebagai kekayaan paling utama yang kemudian membuka pintu persaingan bebas lebar-lebar. Dalam konsisi inilah agama kembali terdesak; dipaksa ikut aturan pasar atau mati kutu. Sebagai kelanjutannya menimbulkan, Kelima, kembalinya militerisme dan Keenam, tribalisme. Cukupkah hanya disini? Jawabannya tidak. Sebagaimana disebutkan, virus-virus keilmuan modern tidak berhenti pada wilayah ilmu-ilmu alam atau sains melainkan juga social budaya. Dan dalam hal ini modernitas menjadi ancaman berbahaya bagi agama karena karakteristiknya yang hegemonic, progressivisme, base on economy, refresif, homogenik, non-teleologik, disekuilibrik, dan sekularistik.

Mengacu pada fakta ini, apakah ini berarti bahwa keilmuan modern sarat dengan kolonialisasi? Secara gamblang Michel Foucoult menyatakan:”the will to know, the will to power”. Artinya: Awalnya hendak sekedar mengetahui telah berubah dikemudian hari menjadi penancapan kekuasaan. Poskolonial itu telah merayap dari penjajahan sebelumnya yang berbentuk fisik pada penjajahan yang lebih halus melalui pengetahuan. Pengetahuan telah dikonstruksi sesuai dengan kepentingan si pembuatnya. Kemudian agama hanya dipandang sebagai bumbu masakan yang bisa memuluskan pihak yang berkepentingan menggunakan ilmu pengetahun. Agama tidak ditempatkan sebagai norma yang mulai tetapi telah direduksi sesuai dengan kepentingan ekonomi-politik yang bertumpu pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Paling tidak ini tampak jelas dalam cara beragama kita akhir-akhir ini. Beragama harus sesuai dengan setelan mode jilbab. Berhibah harus sesuai dengan waktu kampanye. Menghormati dan menghargai harus berdasarkan ukuran status sosial, besar tidaknya kekayaan, hingga cocok tidaknya dengan mode. Berdakwah pun mulus kalau dikasih honor tinggi. Lupa, bahwa agama telah dijadikan barang dagangan. Di tambah lagi dengan bantuan ilmu dan teknologi, agama dijadikan aksesoris seruan-seruan para kapitalis untuk menjualkan dagangannya.
Itulah yang saya maksud di bawah baying-bayang kematian. Kematian tidak selalu berarti hapus sama sekali. Kematian bisa berarti perpindahan bentuk dari yang satu ke yang lainnya. Dengan mengikuti alur logika ini, bisa jadi ke depan agama mengalami kematian itu. Agama yang akan kita temukan termasuk islam tidak otentis lagi. Tak ada lagi seruan moral pembebasan yang dapat diandalakan sebagai agama rahmatan lil alamin. Yang ada hanyalah tradisi islam superficial. kemanakah ilmu yang membebaskan manusia dari ketepurukan itu. Disinilah problem keilmuan barat yang telah menghempaskan nilai-nilai agama. Itulah, karena ilmu tidak dicipta dan dipakai sebagai alat pengabdian kepada sang pencipta dan hanya dijadikan pemuas nafsu manusia. Jadilah problem modrnitas menjadi penyakit akut yang hingga kini menghantui.
Ihab Habudin, Kabid PSDP KP HMI Yk

0 komentar: