SELAMAT DATANG DI CYBER MEDIA KP HMI CABANG YOGYAKARTA

30 Desember 2009

Membangun Kesadaran Pengader

Oleh: Lidar Marjiyansyah

A. Hakikat Organisasi Perkaderan
Kader sebagai seseorang yang telah menyetujui dan meyakini kebenaran suatu tujuan dari suatu kelompok atau jama’ah tertentu, kemudian secara terus menerus dan setia turut berjuang dalam proses pencapaian tujuan yang telah disetujui dan diyakini itu (Imawan Wahyudi, 2002:9). Tentunya yang menjadi wadah utama seorang kader dalam beraktualisasi adalah organisasi. Organisasi adalah suatu kelompok orang yang memiliki tujuan yang sama. Berbagai golongan massa, seperti klas buruh, kaum tani, nelayan, intelektual progresif : pemuda dan pelajar, wanita dll, mengorganisasikan diri dalam organisasi-organisasi massa. Organissi massa (ormas) diperlukan untuk memperjuangkan kepentingan kepentingan mereka yang sederhana seperti kepentingan ekonomi, hak-hak dasar mereka dan sebagainya.

Himpunan Mahasiswa Islam yang juga sebagai sebuah organisasi kemahasiswaan, bukan hanya berfungsi sebagai organisasi massa tetapi juga merupakan organisasi pengkaderan. Dimana selain merupakan tempat berkumpulnya orang-orang dengan tujuan yang sama, organisasi pengkaderan juga memiliki tangung jawab untuk terus mencari kader-kader baru, mendidiknya dalam sebuah pelatihan, serta melakukan pengawasan dan aktivitas untuk mengembangkan potensi kader yang kesemuanya itu diatur dalam sebuah sistem yang diciptakan oleh organisasi pengkaderan itu sendiri.

B. Urgensi Pengader

Selanjutnya HMI berperan untuk melahirkan kader-kader yang berfungsi sebagai pemimpin umat dan bangsa. Kondisi ini mengharuskan HMI memiliki kualifikasi lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat terutama mahasiswa pada umumnya. Cerminan dari kualifikasi tersebut harus diaktualisasikan dalam ide-ide dan perjuangan HMI. Pengkaderan non sectarian menjadi syarat berikutnya, dimana kader HMI harus siap “dilempar” di masyarakat kebanyakan untuk mengarahkannya kepada nilai-nilai islam tanpa melihat perbedaan budaya dan ideology.

Pengader sebagai kader HMI yang mempunyai kualifikasi lebih tinggi, karena merupakan sosok kepribadian yang utuh sebagai pendidik, pemimpin dan pejuang (Pedoman Pengader, 2009). Sehingga harus dapat menentukan perlakuan yang sesuai terhadap kader yang pada umumnya berada di usia peralihan dari remaja ke dewasa, dimana rawan mengalami disorientasi hebat. Jangankan memastikan apa yang harus dikerjakan, angan tentang cita-cita saja makin dipenuhi ketidakpastian. Dalam hal menentukan cita-cita, kita kalah dengan anak SD yang bisa dengan gamblang menyebutkannya dengan penuh optimis. Itulah yang saya maksud dengan proses pengerdilan diri. Kita jadi merasa makin takut menatap masa depan hingga lupa ke mana akan pergi.

Rumus sederhana Kiyosaki untuk menggapai cita menarik untuk diterapkan dalam usaha seorang pengader . Rumusnya sederhana saja, dengan tiga variabel. “Do”,“have”,dan “be”. Melakukan, memiliki, dan menjadi sesuatu (atau seseorang). Untuk bisa menjadi seorang pengader sebenarnya setiap orang harus melakukan/mengerjakan apa-apa yang ditentukan dalam pedoman pengkaderan HMI, sekaligus merasa memiliki segala nilai yang menjadi landasan dan tujuan HMI yang termuat dalam AD/ART, secara khusus pada pedoman pengkaderan. Jika hanya “memiliki”, maka yang dipunyai hanya kepura-puraan tanpa dapat memberikan sumbangsih nyata bagi penanaman nilai-nilai ke-HMI-an. Demikian pula jika hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang pengader, maka itu hanya imitasi.

Nilai intelektualitas sebagaimana yang diungkapkan oleh Jalaluddin Rakhmat, bahwa intelektual bukan hanya menunjukkan kelompok orang yang sudah melewati pendidikan tinggi dan memperoleh gelar sarjana, juga bukan sekedar ilmuwan yang berupaya mendalami penalaran dan penelitian dalam mengembangkan spesifikasi keilmuwannya. Intelektual adalah mereka yang merasa terpanggil hatinya untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang dapat difahami berbagai kalangan, kemudian menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalahnya. Inilah salah satu yang dapat dijadikan telaah pengader HMI dalam melakukan pembacaan atas pergeseran paradigma berpikir kader yang disebabkan oleh gagal karena tak punya potensi yang bisa dibanggakan, mungkin bukan jenis cerita yang istimewa. Tapi juga tak sedikit kader yang justru gagal karena dirinya menyimpan banyak potensi. Kader jenis ini biasanya lantas punya banyak ide dan keinginan. Keinginan dan ide yang terlalu berlimpah malah jadi bencana jika tak dikelola dengan benar. Harus ada skala prioritas dan pemikiran strategis pengader dengan nilai intelektualnya untuk membatasi lubernya ide.

C. Kesadaran Kritis

Pengader juga harus bisa berfungsi sebagai guru dalam artian menjadi menyelenggarakan pendidikan. Unsur pendidikan sendiri, Freire menggarisbawahi terdapat tiga unsur fundamental yakni; pengajar, peserta didik dan realitas dunia (Mansour Faqih, Roem Topatimasang, Toto Rahardjo : 2001 : 40) Hubungan antara unsur pertama dengan unsur kedua seperti halnya teman yang saling melengkapi dalam proses pembelajaran. Keduanya tidak berfungsi secara struktural formal yang nantinya akan memisahkan keduanya. Bahkan Freire mengidentifikasi bahwa hubungan antara pengajar dan peserta didik yang bersifat struktural formal hanya akan melahirkan “pendidikan gaya bank” (banking concept of education).

“Pendidikan gaya bank” merupakan pola hubungan kontradiksi yang saling menekan. Ketika pengajar (guru) ditempatkan pada posisi di atas, maka peserta didik (murid) harus berada di bawah dengan menerima tekanan-tekanan otoritas sang guru. Oleh karena itu pendidikan seperti ini hanya akan melahirkan penindasan dan tidak sesuai dengan fitrah. Freire lebih menghendaki bahwa hubungan antara guru dan murid (pengader dan kader) seperti halnya seorang teman atau partnership. Dengan model hubungan seperti ini memungkinkan pendidikan itu berjalan secara dialogis dan partisipatoris.

Posisi pengajar dan peserta didik oleh Freire dikategorikan sebagai subyek “yang sadar” (cognitive). Artinya kedua posisi ini sama-sama berfungsi sebagai subyek dalam proses pembelajaran. Peran guru hanya mewakili dari seorang teman (partnership) yang baik bagi muridnya. Adapun posisi realitas dunia menjadi medium atau obyek “yang disadari” (cognizable). Disinilah manusia itu belajar dari hidupnya. Dengan begitu manusia dalam konsep pendidikan Freire mendapati posisi sebagai subyek aktif. Manusia kemudian belajar dari realitas sebagai medium pembelajaran. Bekal inilah yang dapat digunakan untuk mengubah kondisi sosial masyarakat tertindas, yaitu Freire menggagas gerakan “penyadaran” (William A. Smith : 2001 : xvii). Sebagai usaha membebaskan manusia dari keterbelakangan, kebodohan atau kebudayaan bisu yang selalu menakutkan.

Dalam hal ini Freire memetakan tipologi kesadaran manusia dalam empat kategori; Pertama, Magic Conscousness, Kedua Naival Consciousness; Ketiga Critical Consciousness dan Keempat, atau yang paling puncak adalah Transformation Consciousness.
  1. Kesadaran Magis merupakan jenis kesadaran paling determinis. Seorang manusia tidak mampu memahami realitas sekaligus dirinya sendiri. Bahkan dalam menghadapi kehidupan sehari-harinya ia lebih percaya pada kekuatan taqdir yang telah menentukan. Bahwa ia harus hidup miskin, bodoh, terbelakang dan sebagainya adalah suatu “suratan taqdir” yang tidak bisa diganggu gugat.
  2. Kesadaran Naif adalah jenis kesadaran yang sedikit berada di atas tingkatan-nya dibanding dengan sebelumnya. Kesadaran naif dalam diri manusia baru sebatas mengerti namun kurang bisa menganalisa persoalan-persoalan sosial yang berkaitan dengan unsur-unsur yang mendukung suatu problem sosial. Ia baru sekedar mengerti bahwa dirinya itu tertindas, terbelakang dan itu tidak lazim. Hanya saja kurang mampu untuk memetakan secara sistematis persoalan-persoalan yang mendukung suatu problem sosial itu. Apalagi untuk mengajukan suatu tawaran solusi dari problem sosial.
  3. Kesadaran Kritis adalah jenis paling ideal di antara jenis kesadaran sebelumnya. Kesadaran kritis bersifat analitis sekaligus praksis. Seseorang itu mampu memahami persoalan sosial mulai dari pemetaan masalah, identifikasi serta mampu menentukan unsur-unsur yang mempengaruhinya. Disamping itu ia mampu menawarkan solusi-solusi alternatif dari suatu problem sosial.
  4. Kesadaran Transformative adalah puncak dari kesadaran kritis. Dalam istilah lain kesadaran ini adalah “kesadarannya kesadaran” (the conscie of the consciousness). Orang makin praksis dalam merumuskan suatu persoalan. Antara ide, perkataan dan tindakan serta progresifitas dalam posisi seimbang. Kesadaran transformative akan menjadikan manusia itu betul-betul dalam derajat sebagai manusia yang sempurna.
Setelah melewati proses penyadaran, pendidikan di HMI yang berbekal dari proses ideologisasi akan mampu membebaskan manusia dari belenggu hidup. Dalam proses akhir ini, pendidikan akan membebaskan kader sebagai manusia sekaligus mengembalikan pada potensi-potensi fitri. Arti “kebebasan” (liberation) adalah pembebasan manusia dari belenggu-belenggu penindasan yang menghambat kehidupan secara lazim. Disinilah peran pengader ditekankan demi mengungkap kesadaran kader dan melahirkan sikap kritis yang merupakan manifestasi dari sikap seseorang yang mampu memahami kondisi sosial serta dirinya dalam pergumulan secara langsung dengan manusia lain.

08 Desember 2009

ToR SC 81

Term of Reference Senior Course 81
Himpunan Mahasiswa Islam
Cabang Yogyakarta


TEMA : Syahadah Pengader Untuk Konsistensi dan Kesucian Perjuangan HMI

LANDASAN PEMIKIRAN

Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu (umat islam)”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya, melainkan agar kami mengetahui siapa yang mengikui rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh (pemindahan kiblat) itu sangat berat kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah maha pengasih, maha penyayang kepada manusia
(Al Baqoroh : 143)

Tela’ah Syahadah

Dalam agama Islam syahadah bernilai agung. Syahadah merupakan syarat dan tonggak bagi manusia yang mengikrarkan dirinya untuk berserah kepada Allah sang penguasa alam semesta. Dimana hal itu dibuktikan dengan kesungguhan pengakuan dan pengucapan dua kalimat syahadat (syahadatain) “aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”. Sebagai konsekuensinya, maka saksi atau kesaksian ini bukanlah tindakan pasif imajinatif. Saksi atau kesaksian ini merupakan tindakan aktif, rasional intuitif manusia sehingga mempunyai ruang dan waktu pertanggung jawaban dua dimensi tak terpisahkan. Yaitu dimensi teosentris (hablun minallah) dan dimensi antroposentris serta kosmosentris (hablun minal makhluk). Dalam dimensi yang pertama manusia secara individu akan mempertanggungjawabkan seluruh kesaksianya langsung – sebagai sebuah pertanggung jawaban final- di hadapan Allah SWT (Mahkamah Ilahiyah) . Sedang yang kedua manusia tidak saja sebagai individu atau subjek yang berfikir dan merasa (ter-sadar-kan) namun ia juga bermakna kolektivitas, keterkaitan-antar-manusia lainya, yang mempertanggungjawabkan seluruh kesaksianya dalam ruang dan waktu kesejarahan (Mahkamah Sejarah).

Dengan demikian syahadah yang berpangkal pada tauhid mempunyai kekuatan membentuk struktur yang paling dalam barupa akidah, ibadah, syariah, mu’amalah dan akhlaq. Hal ini senada dengan arti integratif syahadah – yang merupakan teks pragmatik dari keimanan – yaitu diyakini dengan hati, diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan (amal).

Sejarah pun mencatat syahadah para manusia terpilih dalam setiap gerak peradaban. Manusia-manusia itu dengan sungguh teguh mentransformasikan nilai yang diyakininya ke dalam ruang (ke)sejarah(an). Tentu (ke)sejarah(an) di sini tidak bermakna sebatas ruang ingat - cerita yang heroik maupun romantik bahkan melodramatik. Sesungguhnya ia merupakan ruang-tindak aktif manusia yang tersadarkan akan sebuah pertanggungjawaban nilai, yang senantiasa “ada” dalam peredaran waktu.

Peradaban Islam menjadi bukti nyata syahadah tersebut. Rasul mulia mencontohkanya dengan sempurna sebagaimana yang diikuti oleh para penerusnya. Perjuangan yang ditegakan merupakan syahadah mereka terhadap apa yang diyakini dan miliki. Mereka sepenuhnya sadar bahwa nilai –yang terintegrasi dalam system tauhid serta nilai turunanya itu harus di perjuangkan, dinyatakan dalam keduniawian sehingga menjadi titik beranjak dalam setiap tindakan manusia betapapun berat, rintang membentang, penuh pengorbanan harta, raga dan jiwa. Mereka pun sadar apa yang diperjuangakanya bukan untuk diri mereka semata namun juga untuk umat manusia setelahnya, yang melampaui zamanya. Ketika intimidasi terhadapnya semakin gencar, untuk meninggalkan keyakinanya yang dianggap gharib (asing) dan akan mengancam stabilitas ekonomi politik Arab jahiliyah, Nabi Muhammad berujar “Demi Allah, seandainya mereka letakan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku sekalipun, tidak akan pernah kutinggalkan keyakinan ini.” Sebelum tragedi karbala imam Husein putra Ali bin Abi Thalib menyatakan, “yang kucari bukanlah kemenangan semata, tetapi untuk membuktikan pada sejarah bahwa penerus Muhammad masih sanggup memekikan kebenaran”. Itulah syahadah yang telah jadi laku dan diajarkan, untuk dihayati serta diteladani. Bahwa syahadah akan berakhir dengan indah yaitu syahid.

Syahadah pengader dan Perjuangan HMI
Pengader adalah guru di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia menjadi tiang utama penyangga perkaderan dan perjuangan di HMI, organisasi yang telah mentasbihkan dirinya sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan. Karenanya Ia pun menjadi refrensi atau rujukan bagi seluruh kader. Referensi atau rujukan tersebut bukan hanya dipandang dalam aspek intelektualitas namun juga perpaduan utuh dari potensi dasar yang dimiliki setiap manusia yaitu, intelekual, emosional dan spiritual. Sehingga pengader mengemban tugas dan tanggung jawab besar yang harus dijalaninya atas dasar laku kesadaran dan keamanahan.

Tugas dan tanggung jawab pengader lahir dari fitrahnya yang terdiri dari pendidik, pemimpin dan pejuang. Trilogi ini menuntut adanya tindak rasional pengader sebagai proses objektifikasi nilai yang diyakininya. Nilai tersebut berasal dari khitoh perjuangan yang merupakan tafsir integral HMI terhadap Islam. Nilai-nilai yang telah di kritisi, dengan pembacaan dekonstruksi dan rekonstruksi harus mampu diendapkanya dalam diri lalu dimaknai dan diejawantahkan. Di sini pengader menemukan konteks syahadahnya yaitu pergumulanya dalam setiap ruang makna dan aksi yang ada di HMI. dengan demikian, dia tidak hanya sekedar meyakini nilai-nilai tersebut, tetapi dia juga melakukan transformasi nilai-nilai itu sekaligus siap untuk menjadi martyr dalam perjuangannya.

Syahadah pengader patut disertai dengan keyakinan tulus nan teguh, kerangka keilmuan yang holistik dan saja’ah yang kukuh mengingat medan perjuangan HMI tidaklah mudah, penuh tantangan dan hambatan. Perjuangan HMI merupakan perjuangan yang mempunyai nilai etis idealis berlandaskan pada kesucian Islam. Hal itu sebagaimana termaktub dalam frase tujuan HMI “terbinanya mahasiswa Islam menjadi insan ulul albab yang turut bertanggung jawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhai Allah SWT”, dan semua argument normatifnya yang berlandaskan pada Al-Quran dan as Sunah. Yang demikian merupakan cita-cita luhur dan mengandung makna yang sangat mendalam di mana setiap kader HMI diteguhkan kembali pemaknaan keimanannya melalui proses penyadaran terhadap makna ulil albab sebagai bentuk dari manusia pilihan yang mulia di sisi Allah SWT. Adapun kualifikasi dari karakter itu adalah: pertama, Mu’abid, insan yang tekun beribadah (mahdhah/ghoiru mahdhah). Kedua, sebagai sosok Mujahid, yang memiliki semangat juang yang tinggi da totalitas di dalamnya. Ketiga, Mujtahid, sosok yang senantiasa mereflesikan secara mendalam permasalahan keumatan dan kemanusian, sehingga segala tindakannya didasarkan pada pilihan sadar dan pertimbangan pemikiran yang benar. Dan keempat, menjadi sosok Mujaddid, yaitu sosok yang mampu memberikan pembaharuan-pembaharuan di setiap segi kehidupan, sehingga mampu melakukan dinamisasi di lingkungannya. Dari sini diharapkan bahwa organisasi ini memiliki kemampuan dalam melakukan perubahan menuju kehidupan yang lebih baik.

Setiap gerak juang HMI tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai luhur yang selama ini diyakininya. Namun tentu di sana, sebagaimana yang terjadi dalam siklus peradaban atau gerak perubahan, selalu saja ada anomali, adanya pergeseran nilai entah dengan sengaja ataupun tidak. Entah karena apatis atau pun sinis. Inkonsistensi akhirnya tumbuh dengan sejumput alasan apologetiknya tuntutan zaman. Sucinya perjuangan pun ternodai oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab dengan alasan semunya, perlu kontekstualisasi yang sesungguhnya di balik itu semua ada tendensi dan intrik, menjadi ironi tersendiri. Hal ini perlu dibenahi, dikembalikan pada khitohnya lalu memaknai kembali sesungguhnya perjuangan HMI. Maka pada tahapan ilmu tak tertulisnya, perjuangan HMI tidak saja transformasi sosial tapi lebih dari itu mampu mentransendensikanya sekaligus. Membawa bumi kembali ke langit, mampu memfanakan yang abadi sekaligus mampu mengabadikan yang fana, membebabaskanya dari segala kungkungan keduniawian yang reduksionis, eksploitatif dan alienatif.

Syahadah pengader kemudian menjadi satu motivasi dalam menjalani jalan perjuangan yang telah dipilih, jalan yang tak pernah kosong dari berbagai macam konsekuensi perjuangannya. Konsistensi harus tertanam kuat dalam setiap jiwa untuk menjaga perjuangan tidak melenceng dari jalanya. Ketika hal ini alpa, terkubur oleh berbagai kepentingan sesaat maka organisasi ini sedang menggali pekuburanya sendiri. jika di dalam jiwa mereka konsistensi sebagai sebuah kesaksian telah tertanam, sebuah tekad teguh tumbuh mengkristal bahwa jalan dan tujuan yang suci ini akan tetap ada dan akan terwujud bersama individu-individu yang konsisten serta komitmen pada perjuangan yang dilandaskan pada nilai-nilai syahadah.

Syahadah pengader inilah yang akan menjaga konsistensi dan kesucian perjuangan HMI. Menjaga HMI agar tetap berjalan pada khitohnya yang sarat dengan nilai-nlai ilahiah yang suci. Tidak mudah tergerus arus deras moderenitas yang bernalar partikularitas. Juga tidak tergiur dengan gerakan politik berhaluan pragmatis dan menjaga jiwa dari gila huru hara budaya massa. Yang menjadikan HMI –dalam sejarahnya- tegas menolak tunduk di hadapan tiran, melawan setiap kedzaliman.

Yakinlah HMI akan hidup bertahun-tahun lamanya, memberikan sumbangsih peradaban bagi umat dan makhluk semesta alam (sedulur papat limo pancer) ketika pengader bersyahadah atas fitrahnya, sebagai pendidik, pemimpin dan pejuang. Dan senior course ke 81 merupakan gerbang awal syahadah tersebut.

SYARAT-SYARAT MENGIKUTI SC
Lulus LK II, wajib dibuktikan dengan sertifikat
Membuat makalah sesuai tema : F4, margin all 3, arial, 11 pt, spasi 1,5.*
Membuat outline khittah perjuangan (berbentuk pointer, bukan resume)*
Hafalan Surat Ad Dhuha – An Nas + surat Al A’la, Al Ghasiyah dan As Shof
Mengikuti semua tes seleksi

*: Makalah dan outline KP dikumpul sebelum tes seleksi, maksimal tanggal 14 desember 2009

MEKANISME PENDAFTARAN
Pendaftaran maksimal tanggal 14 Desember 2009 pukul 00.00 wib, dapat melalui SMS : ketik REG (spasi) NAMA (spasi) KOMISARIAT. Kirim ke 085228065304 an. Awaluddin atau 0274 9277100

PELAKSANAAN
SC dilaksanakan pada hari Jum’at sampai Selasa, tanggal 20-25 Desember 2009. Bertempat di Yogyakarta.

KONTRIBUSI
Biaya Pelatihan Senior Course sebesar 65.000,00 dan pendaftaran sebesar 5000,00

TES SELEKSI
Jadwal tes seleksi sc ditentukan sebagai berikut :
Hari Rabu, 16 Desember 2009 pukul 19.30 – 24.00 :
Tes Pos I (Keislaman), Pos II (Ke HMI an), Pos III (Makalah)

Hari Kamis, 17 Desember 2009 Pukul 19.30-24.00 :
Tes Pos IV (Micro teaching). Semua calon peserta.

Catatan.
Ketentuan berlaku bagi semua Cabang
Pendaftaran setelah tgl 24, tidak diterima dan Bila tes diluar jadwal, tidak dilayani
Kehadiran tes masuk penilaian.

10 November 2009

Penindasan Negara Terhadap Umat Islam

Oleh: Moh. Syafe'i

Sangat susah untuk tidak mengatakan bahwa Negara tidak menindas umat Islam. Kita ketahui sampai saat ini berbagai survey di Indonesia masih secara tegas mengatakan bahwa umat Islam di Indonesia ialah mayoritas. Lebih 80% penduduk Indonesia dihuni oleh mereka yang beragama Islam. Walaupun pemegang kebijakan eksekutif, legislatif dan yudikatif ialah mereka juga yang mengaku Islam. Namun posisi mereka ialah pemegang kebijakan (state) sedangkan masyarakat muslim yang menjadi korban merupakan warga negara (civil society).

Memang harus kita akui bahwa masyarakat muslim tidak bisa digeneralisasi dalam satu kutub kekuatan. Misalkan beberapa pengamat baik dari barat maupun internal Islam masih berpandangan bahwa umat Islam terpecah menjadi beberapa kutub ; Islam modernis dan tradisionalis, Islam Kultural dan struktural, Islam priyayi, abangan dan santri. Bahkan Luthfi Assyaukanie seorang penggerak Islam liberal di Indonesia secara tegas menyatakan bahwa musuh utama dari gerakan pembaharuan Islam adalah kelompok konservatisme dan fundamentalisme. Konservatisme menjadi musuh karena menjadi penghalang dari gerakan liberalisme sejak pertama muncul. Sedangkan fundamentalisme menjadi musuh karena ia lahir dari konstelasi Islam politik.

Disamping itu kita harus akui bahwa gerakan Islam saat ini terpecah cukup banyak sekali. NU, Muhammadiyah, Persis, HTI, MMI, Anshorut-Tauhid dan sangat banyak lagi lainnya. Sangat susah untuk mengeneralisasi umat Islam. Tulisan ini tidak ingin terlibat dalam hiruk pikuk kutub-kutub gerakan keagamaan itu tetapi ingin meletakkan umat Islam sebagai warga sedangkan penguasa sebagai pemangku kebijkakan. Umat Islam mempunyai hak-hak dan Negara bertanggungjawab pemenuhannya.

Jika umat Islam mengalami kekerasan dan dilanggar hak-haknya oleh Negara maka umat Islam layak ditempatkan sebagai korban. Secara definisi dalam Deklarasi Prinsip Keadilan bagi Korban Kejahatan Penyalahgunaan kekuasaan yang disebut korban ialah orang yang secara individual maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk secara fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karena tindakan (by act) maupun karena kelalaian (by omission).

Dengan terminologi ini, penulis akan mencoba melukiskan sekian peristiwa kekerasan dan pelanggaran terhadap umat Islam yang dilakukan Negara khususnya di era orde baru. Karena di era orde baru inilah penghancuran umat Islam terjadi sistematik. Kekerasan dan pelanggaran ini cukup menghebohkan dimasanya. Tetapi kasus-kasus tersebut banyak yang tidak terekam dalam memori publik dan seakan dihapuskan dari jejak sejarah gelap kekuasaan Indonesia.

Kekerasan Sipil-Politik

Ada sebuah menarik berjudul “Derita Kaum Muslimin di Indonesia Sejak 1980-2000” ditulis oleh Al-Chaidar dan Tim Peduli Tapol Internasional. Buku ini merekam kejadian kekerasan yang menimpa kaum muslimin di Indonesia di era orde baru. Dikatakan dalam pengantarnya :

“…Kaum muslimin bangsa Indonesia, tinggal menuai badai-menghitung korban tragedi. Darah tertumpah, air mata pilu, wanita diperkosa, anak-anak menjadi yatim piatu, harta benda dijarah atau dibakar musnah. Semuanya berpadu dalam tragedi akibat bencana yang menimpa kaum muslimin, sejak peristiwa Tanjung Priok (1984), Lampung-Talang Sari Berdarah (1989), DOM di Aceh (1989) hingga Ambon (1999) dan Maluku Utara (2000). Seluruh peristiwa ini terjadi, bukan lantaran kaum muslimin ikut menabur angin, lalu akhirnya menuai badai, melainkan karena amanat kepemimpinan bangsa ini tidak berada di tangan mereka yang berhak menerimanya. Karena itu dia tidak menunaikan amanah tersebut secara benar, maka bencanalah yang akan timbul”

Uraian yang cukup menyayat hati. Tragedi kemanusiaan itu telah menelan korban yang cukup banyak. Ribuan bahkan. Selain kasus yang ada diatas masih banyak kasus kekerasan yang lain sebutlah Komando Jihad yang menelan ribuan korban aktifis Islam di seluruh Indonesia, Pembajakan Woyla, pembunuhan ulama’ di Banyuwangi, kasus usroh, penangakapan aktifis Islam akibat asas tunggal dan lainnya.

Berbagai peristiwa itu diliputi oleh penangkapan, kekerasan dan kesewenang-wenangan. Termasuk salah satunya terlihat dalam rekayasa putusan hukum para korban. Pengadilan yang menjadi tempat bergantungnya keadilan dan kebenaran ternyata telah menjadi alat kekuasaan yang lalim. Itu tergambar secara jelas dalam kasus Tanjung Priok, Komando Jihad, Pembajakan WOYLA (1982), Peledakan BCA (Oktober 1984), Pengeboman Candi Borobudur di Magelang, Peledakan Bis Pemudi Ekspres di Malang (1984), kasus Pesantren Kilat di Malang (1985), dan Gerakan Usroh di Jateng dan DIY tahun 1986.

Kasus kekerasan sipil yang menimpa umat Islam tidak bisa dilepaskan dari politik kekuasaan orde baru. Umat Islam yang mayoritas pasti mempunyai kekuatan politik yang besar. Pasca krisis orde lama dan dihancurkannya komunisme, tokoh-tokoh Islam secara sadar punya potensi maju dalam kepempimpinan Indonesia. Perihal inilah yang menjadi dasar rekayasa sistemik penghancuran umat Islam. Bahkan lembaga CSIS salah satu think-thank orde baru yang dibidani Ali Murtopo menyebut Islam sebagai faktor penghambat pembangunan di Indonesia. Ali Murtopo yang juga seorang OPSUS menyebut tahun 1970-an sebagai tahun yang menentukan untuk membangun Indonesia. Rekayasa-rekayasa penghancuran itupun dimulai. Aktifis Islam di era orde baru distigmakan sangat jelek dan menakutkan. Banyak tokoh dan aktifis Islam yagn dipinggirkan, ditangkapi dan dipenjara secara sewenang-wenang. State discourse dan terorisme betul-betul nyata terhadap umat Islam di era rezim orba.

Termasuk aktifitas politik tokoh-tokoh Islam dipantau sedemikian rupa. Aspirasi politik umat selama orde baru dikerdilkan habis-habisan. Ketika ada pemilu selalu ada pembohongan, rekayasa dan manipulasi data. Golkar sebagai partai penguasa tidak pernah terkalahkan. Walaupun kita tahu umat Islam di Indonesia adalah mayoritas. Negara dengan kekuatan militernya terlihat kuat, tertib dan tanpa kritik.

Bencana Ekonomi Publik

Kondisi Negara di era rezim orba yang begitu dominan dan hegemonic mengantarkan pada sistemiknya privatisasi Negara. Rezim orba menjelma sebagai Negara yang clientist dan koruptif. Otoritas dan kewenangan kenegaraan diarahkan untuk memperkaya elit dan keluarga besar penguasa. Perusahaan-perusahaan internasional dan nasional menjadi clien strategis Soeharto dan keluarganya. Diantara mereka ada Bob Hasan, Sudono Salim (Liem Siolong), Tutut, Tommy dan lainnya. Sedangkan di dunia internasional muncul pengusaha-pengusaha seperti CGI, IBRD, investor AS, Taiwan, Hongkong dan banyak lagi lainnya.

Umat Islam yang mayoritas di Indonesia jelas tidak lagi mendapatkan hak-hak ekonominya. Kekayaan Negara berputar dan menumpuk di area keluarga besar Soeharto dan clientnya. Ketimpangan kaya dan miskin mulai terlihat, aset-aset bangsa diperjual belikan blak-blakan, penggusuran atas nama pembangunan mulai terjadi, dan kebijakan ekonomi pasar dibangun serius oleh teknokrat Berkeley di kementrian. Atas skandal itu, rezim Soeharto dikasih sebutan “Macan Asia” dan dipuja-puja oleh clientnya Amerika.

Aktifis Islam yang mencoba kritis terhadap kebijakan ekonomi Soeharto ditangkapi. Kaum buruh yang menentang kesewenang-wenangan perusahaanpun dihancurkan. Mungkin kita masih ingat dangan kasus Marsinah, peristiwa Malari dan Waduk Kedungombo. Segelintir peristiwa yang terjadi akibat perlawanan dan pergolakan akibat ketidakadilan kebijakan negara. Hebatnya dalam kasus tersebut Negara menggunakan tangan besinya untuk membunuh penentangnya. Marsinah dibunuh tanpa ampun. Aktifis yang terlibat di Malari ditangkapi secara represif. Demikian juga terhadap warga di Waduk Kedungombo. Kebijakan developmentalisme di era rezim orba juga berjalan tanpa hambatan, horor dan sangat kejam.

Puncak Kekerasan Terhadap Umat

Setelah sedemikian lama Negara menindas rakyatnya. Kekerasan demi kekerasan telah dilakukan. Akhirnya itu memuncak ketika menjelang tahun 1998. Negara orde baru yang telah clientist dan koruptif mengantarkannya pada krisis ekonomi yang sangat akut. Kebijakan ekonomi pembangunan yang dirancang teknokrat ekonom berkeley hancur. Krisis moneter dunia meluluhlantakkan perekonomian Indonesia. Sembako dan kebutuhan publik menjadi sangat mahal sedangkan subsidi Negara tidak memungkinkan.

Krisis salah urus kebijakan inilah yang mengantarkan Soeharto menjual Indonesia kepada IMF yang dari dulu memang sudah menjadi partnernya. Soeharto meminta IMF pada tanggal, 8 oktober 1997 yang kemudian meminta Mar`ie Muhammad sebagai Menteri Keuangan dengan IMF bertanda tangan dalam sebuah Letter of Intens, dan oleh Gubernur BI Sudrajad Djiwandono dalam Memorandum on Economic and Finansial Polities pada tanggal, 31 Oktober 1997. Isi dari LOI ini ialah mempertegas posisi IMF untuk menjadi lokomotif lembaga yang diserahi menangani krisis ekonomi Indonesia.

Krisis yang bermula akibat pembangunan mikanisme pasar di era orba dan peneguhan positioning IMF kembali di tahun 1997, membuktikan kebegisan dan kekejaman rezim orde baru. Orde baru secara sadar telah menggadaikan Negara dan memperjualbelikan rakyatnya. Krisis demi krisispun terjadi sedemikian dahsyatnya. Mulai dari lepasnya Negara mengurus kebutuhan rakyatnya, asset-aset diperjualbelikan, dan proyek militer terus ditingkatkan.

Dampak kekerasan itu semua saat ini terjadi peningkatan kaum miskin yang sangat besar, eskalasi pembunuhan, kebodohan, eksploitasi bumi, pencemaran dan kekerasan yang semakin menggila. Efendi Sirajudin dalam bukunya “Memerangi Sidrom Negara Gagal “ menyatakan :

“Sudah lebih dari enam dasawarsa Indonesia Merdeka, tetapi perjalanan panjang bangsa tidak bergerak menuju tatanan kehidupan sebagaimana yang dulu dicita-citakan oleh para pendiri ripublik. Sejauhmata memandang, dihampir semua sektor kehidupan dewasa ini tersaji potret dengan wajah buram. Era reformasi yang sempat menerbitkan harapan bagi dimilikinya landasan kokoh untuk melakukan perubahan, ternyata tidak berjalan pada track yang benar. Indonesia bahkan terancam menjadi Negara gagal (failed states)”

Umat Islam sebagai mayoritas masyarakat di Indonesia dengan kondisi Negara yang menyedihkan ini tentunya mereka telah didzalimi dan dilanggar hak-haknya. Mereka dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang menindas dan penuh kekerasan. Minimal dua hal yang kita bisa lihat secara telanjang, pertama, saat ini umat Islam secara sistemik menjadi korban karena dipaksa hidup dalam manajemen dan sistem ekonomi negara yang sangat kapitalistik (ribawi). Agama Islam jelas menentang ideologi ribawi dan hukum seorang muslim yang melaksanakannya haram. Kedua, umat Islam sampai saat ini masih menjadi korban kekerasan Negara dengan masih dihidupkannya penstigmaan dan penangkapan sewenang-wenang dengan tuduhan terorisme. Sungguh menyakitkan.

08 November 2009

Nulis Yoo.!!!!


Sudah lama aku tidak menulis di blog. Menuis sebenarnya adalah terapi, terapi untuk kebekuan otak kita, juga untuk melatih konsentrasi kita. Menulislah, karena ilmu itu adalah laksana binatang buruan, dan pengikatnya adalah catatan atau tulisan, begitu kata Imama Ali. Karena peradaban harus ditulis. Itu adalah alasan lain.

Pramoedya Ananta Toer pernah bilang, setinggi apa pun sekolahmu, kamu tidak akan dikenang orang jika kamu tidak menulis. jadi menurutnya, dengan tulisan kita bisa diingat orang. tapi tentu ada orang yang telah menulis banyak hal namun tidak diingat orang alias dilupakan.

Pram pernah menyetir perkataan RA. Kartini bahwa menulis adalah kerja keabadian. mungkin maknanya hampir sama dengan apa yang dimaksudkan sebelumnya. initnya, mari kita menulis, apa saja yang bisa ditulis. tulisan itu bisa dalam bentuk catatan harian seperti Ahad Wahib (pergolakan pemikiran Islam) dan Soe Hok gie (Catatan Seoarang Demontran), bisa juga dalam bentuk cerita memoar seperti andrea yang kemudian jadi best seller, bisa juga dalam cerita pendek (cerpen ) terlalu bnayak contohnya, atau dalam bentuk puisi.

Tulisan gak mesti harus berat dan ilmiah. tulisan gak perlu memakai bahasa yang aneh-aneh. menulislah dengan bahsa sederhana, karena kekuatan tulisan sebenarnya sangat bergantung pada apa sebenarnya yang kita berikan dalam tulisan. dan yang paling kuat adalah alasan mengapa kita menulis, ketulusan hati kita untuk menulis. apa komentar gede prama terhadap novel-novel Andrea di acara Kick Andy tidak lain adalah karena Andrea menulis dengan penuh cinta dan ketulusan.

Catatan terakhir, ada yang mengatakan, menulis itu seperti orang buang buang air besar (BAB). orang BAB akan bergantung berapa banyak dia makan. semakin dia banyak dan sering makan, semakin banyak pula dia BAB. makanan bagi penulis adalah apa yang harus dia tulis. bisa buku atau pengalaman menarik. seberapa banyak buku yang kita baca pasti akan berpengaruh terhadap kualitas tulisan kita. itulah sebabnya Andrea dipesani oleh gurunya, tiga hal yang menjadi sumber inspirasi yaitu baca Al-Quran, Baca buku dan melancong. yang pertama jelas berkaitan dengan hubungan kita dengan kitab suci yang merupakan sumber nilai tata kehidupan. dia berhubungan dengan komunikasi dengan yang mutlak. Muhammad iqbal bilang, bacalah AL-Quran seakan-akan dia diturunkan kepadamu, maka kamu akan mendapat spirit sebenarnya. Kedua berkaitan dengan pemikiran-pemikiran orang lain yamg telah dibukukuan terlebih dahulu. sementara yang ketiga, melancong, kita akan banyak mennemukan peristiwa dan pengalaman-pengalaman baru. so, mari ita nulis. Nulis Yoo.!!!!

20 Oktober 2009

Dialog Perkaderan


Dialog Perkaderan:
“Menatap Perkederan HMI di Tengah Gejolak Pragmatisme”


Hari/ Tanggal : Ahad, 25 Oktober 2009
Waktu : 07.00 – 10.00 WIB (Setelah pengajian Ahad Pagi)
Tempat : Sekretairat HMI Cabang Yogyakarta
Pambicara : Ketua-ketua Korps Pengader HMI Cabang Yogayakarta, Sleman, Semarang, Wonosobo dan Purwokerto.

Tor:
Sejak awal, himpuanan Mahasiwa Islam (HMI) telah menetapkan dirinya untuk berdiri di atas perkaderan, sehingga menjadikan organisasi mahasiswa Islam tertua ini sebagai organisasi perkaderan, atao organisasi kader. Sebagai oeganisisi kader, maka fokus utama organisasi ini adalah kader, khususnya berkaitan dengan kualitas diri kader. Dan sebagai organisasi perkaderan juga menjadikan perkaderan sebagai landasan setiap aktivitas HMI.

Perkaderan adalah tulang punggung HMI yang menjadikan organisasi ini tetap eksis, karena perkaderan menyumbangknakan tiga hal yang fundamental bagi gerakan, yaitu pengkajian nilai-nilai dasar organisasi, mempersiapkan martyr-martyr bagi gerakan dan melakukan transmisi nilai-nilai dasar tersebut dalam lingkungan sosialnya. Ketika tiga hal ini telah hilang, maka gerakan ini akan mengalami sebuah kegamangan dan stagnasi. Tanpa pemahaman yang baik akan nilai-nilai dasar yang diyakininya, organisasi ini akan berjalan tanpa pijakan dan disorientasi. Tanpa adanya martyr-martyr atau orang-orang bersedia berkorban untuk menjalankan dan memperjuangkan nilai-niia dasar itu sekaligus mentransmikannya, maka organisasi ini tidak lebih dari sekumpulan orang-orang biasa saja yang tidak beda dari sekumpulan penggemar sepeda motor sebagaimana yang marak pada saat-saat ini.

HMI telah merumuskan konsepsi perkaderannya yang telah beberapa kali mengalami perubahan. Perubahan-perubahan tersebut tentu sebagai upaya agar perkaderan HMI bisa menjadi lebih baik. Perubahan itu juga tentunya atas dasar pengamatan terhadap perkembangan zaman. Konsepsi ideal perkaderan HMI selalu menghadapi problem-problem yang harus dijawab, dan sejauh ini HMI mampu menjawabnya. Namunun demikian, bukan berarti hal itu telah usai, konsepsi ideal itu kini masih harus menghadapi beberap problem, diantaranya adalah pragmatisme, yakni suatu pandangan yang melihat segala sesuatu dari segi kegunaan dan kepentingan sesaat.

Kemajuan sains dan teknlogi telah mengantarkan umat manusia pada satu putaran arus yang sangat cepat. Satu sisi hal ini memberi satu kemudahan tersendiri bagi umat manusia, namun di sisi lain hal ini menyebabkan semakin kekeringan pada diri manusia karena semakin sedikit dan dangkalnya perenungan yang dilakukan. Minimnya renungan feflektif akan berdampak pada pola pikir yang cekak dan tidak mampu berfikir jauh ke depan, sehingga yang dilakukan pun atas dasar kepentingan saat ini dan di sini, tidak untuk orientasi yang jauh ke depan. Apabila hal ini terjadi, aktivitas di HMI pun akhirnya akan menjadi seperti apa yang diproduksi oleh pragmatisme, yaitu mesin. Hal ini akan semakin menjauhkan kader-kader HMI dari cita idealnya, insan ulil albab.

Mejaga, menggali, menginterpretasi dan mengimplentasikan nilai dasar perjuangan HMI adalah tugas semua anggota HMI, sesuai dengan kemampuan pemahaman dan intensitas di HMI, dan yang menjadi palang pintu dari perkaderan ini adalah para pengader. Pengader (dalam hal ini orang yang telah mengikuti pelatihan khusu) mempunyai tanggung jawab besar, karena merak adalah pihak yang bertanggungjawab untuk membentuk dan membimbing kader-kader HMI sejak kader-kader tersbut bersinggunagn dengan aktifitas HMI di Latihan Kader I (LK I). Dari posisinya seperti itu, para pengader pun menjadi sorotan para kadernya, mereka menjadi teladan, karena mereka dianggap lebih tahu banyak tentang HMI. Kualitas kader HMI tentunya akan banyak bergantung pada kualitas pengadernya, bagaimana dia mampu mentrnsmisikian nilai-nilai dasa HMI dan konsistensi dia terhadap HMI, dan kualitas para pengader HMI tidak bisa lepas dari Korps Pengader (KP) sebagai lembaga yang membidangi dan bertanggungjawab terhadap para pengader. Di sinilah peran KP yang tidak ringan. KP harus mampu membuat satu desaian untuk membina anggotanya agar anggotanya mampu menterjemahkan nilai dasar organisai atau Khittah Perjuangan dalam kehidupan sehari-hari angotanya dan kader HMI secara keseluruhan. Lalu apa yang harus dilakukan KP untuk memenaj anggotanya agar mereka mampu menghadapi problem perkaderan HMI?

Tentu problem KP dan perkaderan HMI secara umum tidak hanya itu, masih banyak lainnya, setiap KP di cabangnya masing-masing bisa jadi mempunyai permaslah yang berbeda.namun problem di atas bisa dijadikan sebagai simpul. Dan setiap Kp pasti mempunayai solusi dan pola menejemen yang berbeda sesuai dengan kondisi di lingkungannya, namun tidak menutup kemungkinan satu solusi di salah satu KP HMI cabang tertentu bisa juga diterapkan di KP HMI cabang lainnya, untuk itulah perlu diadakan dialog perkaderan untuk bertukar ide dan gagasan sebagai problem solving masalah perkaderan, khusunya tentagn kepengaderan. Semoga hal ini bisa bermanfaat bagi KP HMI Cabang Yogyakarta khusunya, dan bagi KP-KP lain serta HMI secara keseluruhan. Amin.

12 September 2009

Al-Quran; Sumber dan Spirit Perubahan

Ada seorang hafidz (penghafal Al-Quran) yang berkata kepada gurunya: “ wahai guruku, aku telah mengkhatamkan Al-Quran”. Gurunya berkata: ‘coba kmau bacakan seoalah-olah aku ada di sana dan melihatmu”. Keesokannya sang murid dating lagi kepada gurunya dan berkata: “saya hanya mampu membacanya separo guru”. Gurunya pun berkata: “coba kamu baca, seolah-olah rasulullah ada di sana dan menyaksikannya”. Keesokannya sang murid datang lagi dan berkata “saya hanya mampu membacaya satu surat, guru. Gurunya pun berkata kembali: “coba baca seolah-olah Allah ada di sana dan melihatmu”. Keesokannya murid tersebut kembali dan berkata: “susah unutk menyelesaikannya, meski itu hanya satu ayat. Terlalu banyak ayat-ayat Allah yang aku sepelekan dan aku abaikan

Itulah kisah sufi yang disampaiakn oleh Eko Prasetyo dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Korps Pengader HMI Cabang Yogyakarta Sabtu, 12 September 2009 di sekretariat HMI Cabang, karangkajen, Yogyakarta, . Diskusi ini dilaksanakan dalam rangka memperingati dan refleksi Nuzulul Quran. Eko Prasetyo menyayangkan bahwa Al-Quran yang turun dengan spirit perubahan kini telah mengalami penyempitan fungsi, yaitu hanya dibaca ketika ada orang yang meninggal dunia, seolah-olah Al-Quran adalah sesuatu yang hanya patut pada acara-acara tertentu saja. Bahkan gerakan-gerakan Islam juga jarang menjadikan Al-Quran sebagai sumber dan spirit perubahan. Dengan membaca Al-Quran dan memahaminya, seorang aktivis muslim sebenarnya akan memperoleh satu gagasan-gagasan dan strategi gerakan. Hal in ibis dilakukan dengan memahami kisah-kisah yang ada di dalam Al-Quran. Direktur PUSHAM UII ini mencontohkan, nabi Musa adalah aktivis sejati. Dia berjuangan menegakkan kebenaran melawan orang yang telah membesarkan dirinya. Dia membawa lari kaumnya, meski setelah seruannya tidak juga didengarkan oleh kaumnya yang telah dia bela.

Selain itu, Eko Prasetyo juga menjelakan bahwa Ibrahim adalah sorang aktivis kebenaran yang cerdas. Dia mampu bermain logika dengan seorang raja lalim, meski waktu itu usianya belum genap 17 tahun. Dan yang tidak kalah penting adalah kehidupan Nabi Muhammad sendiri. Muhammada adalah penegak HAM sejati. Sebagai orang yang menyampaikan kebenaran, Nabi Muhammad SAW pernah diberi steritip penyihir, dukun dan pembual. Selain itu dia juga di boikot, dasingkan dan dikucilkan, sebagaiman musa juga, dia jadi buronan untuk dibunuh oleh orang Qurais. Bahkan, Menurut penulis buku Islam Agama Perlawanan ini, kondisi gerakan mahasiswa saat ini sama kondisinya dengan periode thaif, yaitu ketika Nabi hendak hijrah ke thaif. Masyarkat Thaif yang semula diharapkan menerima seruan nabi, justru malah mengusir dan melamparinya dengan bebatuan. Itulah kondisi sekarang, gerakan mahasiswa tidak memiliki kader yang secara kuantitas bias dibilang banyak. Ini tidak lain karena gerakan mahasiswa diidentikkan dengan kemiskinan. Selain itu, kebijakan kampus telah banyak menutup peluang mahasiswa untuk berorganisasi. Dia dikucilkan oleh kampus, bahkan oleh mahasiswa sendiri, gagasan-gagsannya diabaikan.

Untuk itu, menurut Eko Prasetyo, gerakan mahasiswa harus kembali mengokohkan gerakannya, memupuk idiologinya, sehingga terhujam sangat dalam. Karena, menurutnya, bahaya yang paling besar adalah ketika aktivis-aktivis gerakan mengalami frustasi dan gerakan dan idiloginya itu dikhianati oleh aktivisnya sendiri. Selan itu, penguatan hubungan emosional sesame kader perlu digalang kembali. Hal ini dilakukan agar bias saling mendukung, menyokong untuk membina dan mengembangkan diri. Mengutip sebuha hadis ia berujar: “sebaik-baik teman adalah apabila kamu mamandang wajahnya, mengingatkanmu pada Allah, apabila kamu berbicara padanya, bertambah ilmumu, dan dia selalu mengingatkanmu pada akhirat dan amal-amalmu untuk hari itu”. Dan itu hanya mungkin, jika gerakan menjadikan Al-Quran sebagai sumber dan spirit perubahan, sebagaimana awalnya Al-Quran diturunkan.

Mempersiapkan Bekal Mudik

Menjelang akhir Ramadhan, kita selalu menyaksikan, betapa masjid-masjid yang pada awal Ramadhan dipenuhi dengan jamaah, kini mulai sepi. Jamaah semakin sedikit. Ini sudah menjadi satu fenomena umum dan tidak mengherankan lagi. Setidaknya ada dua alasannya, pertama, sebagaimana Ramadhan ini adalah sebagai bulan madrasah, atau sekolah, tempat untuk menempa diri, tentu tidak semua orang yang masuk sekolah akan lulus, ada yang bahkan tidak sampai pada ujung tahun ajaran. Begitu juga ibadah dalam bulan Ramadhan. Kedua, banyak jama’ah yang telah pulang kampung atau mudik, sehingga jamah semakin sedikit. Meskipun hal ini kurang relevan juga, karena jamaah di masjid-masjid kampung juga semakin sepi. Tapi buka itu intinya, di sini saya hanya akan berbicara tentang tradisi yang telah mengakar di masyarakat kita, yaitu tradisi mudik.

Mudik atau pulang ke kampung halaman pada hari raya idul fitri adalah tradisi di Indonesia. Pada akhir Ramadhan, orang berduyun-duyun kembali dari tempat perantuan. Segala Sesutu telah dipersiapakan jauh hari sebelum mudik, termasuk tiket untuk di perjalanan. Orang rela menunggu seharian untuk mendapatkan tiket mudik. Tidak hanya itu, mereka pun siap untuk berdesak-desakan dengan oarng lain yang sama-sama akan mudik juga. Apapun dilakukan, termasuk mencari hutangan kepada teman, tetangga, atau menggadaikan harta benda yang dimilkiki, demi untuk mudik.

Dalam tradisi tahunan ini, kita akan sangat jarang mendapatkan orang yang mudik dengan membawa tas kecil, rata-rata mereka membawa tas besar, berisi pakaian dan tetek bengek sebagi oleh-oleh untuk keluarga di kampong, agar yang mudik dan yang dikampung merasakan kebahagian. Berkumpul bersama, apalagi di hari raya, adalah suatu kebahagian tersebdiri yang harus ditempuh dengan segala resikonya. Tapi, bagi perantau, itulah yang harus ditempuh, untuk sebuaah kebahagian.

Pada hakikatnya semua manusia akan “mudik”, pulang kampung halaman, berkumpul kembali dengan Kekasihnya. Ke mana lagi kalau bukan kepada yang dengan sinar kasih-Nya telah menciptakan kita? Bukankah hidup ini adalah sebuah perantauan? Bukankah kita ini hanyalah para musafir? Dan musafir pastilah dia tidak akan tinggal lama di persinggahan, dia akan segera berkemas dan berjalan kembali ke tempat tujuan akhirnya? Sebagai orang yang akan mudik sudahkah kita menyiapkan bekal untuk mudik? Sudahkah kita punya ongkos? Sudahkah kita membeli tiket? Sudahkan kita menyediakan oleh-oleh untuk yang kita cintai? Jika kita mudik ke kampong halaman, yang kita bawa biasanya adalah pakaian dan makanan. Ketika kita mudik kepada Allah, apa yang akan kita bawa? Apa yang akan kita persembahkan?

Dalam surat Al-baqarah 197 Allah berfirman yang artinya: Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.

Sebenarnya, ayat tersebut berbicara dalam konteks ibadah haji, namun saya kira juga relevan kalau kita tarik pada ranah kehidupan yang lebih luas. Dalam ayat di atas, Allah menyerukan kepada hamba-Nya untuk membekali diri dengan takwa. Dalam ayat lain dikatakan libasu at-taqwa khair, pakaian takwa iitu adalah pakaian yang terbaik jadi kita harus mudik dengan membawa bekal dan pakaian takwa.Apa takwa itu?

Takwa, umunya didefinisikan dengan menjalankan segala perintah Allah dan meninggalkan segala apa yang dilarang-Nya. Tentu ini masih sangat umum sekali. Namun Allah kemudian merinci cirri-ciri orang yang bertakwa. Dalam surat Al-Baqarah ayat 3-5 Allah menjelaskan orang yang bertakwa adalah orang yang 1) beriman kepada yang ghaib, 2) mendirikan shalat, 3) menafkahkan sebagian hartanya di jalan Allah, 4) beriman kepada apa yang duturunkan kepada Muhammad SAW (Al-Quran) dan nabi-nabi sebelumnya, dan 5) beriman kepada hari akhir. Dari beberapa poin tersebut, takwa sikaitakn dengan iman. Iman kepada yang ghaib, yaitu Allah, malaikat, dan jin. Iman terhadap hal-hal tersebut berarti mengakui keberadaanya, meskipun tidak tampak secara kasat. Iman kepada Allah memberikan konsekwensi bagi kita untuk menjalankan perintahnya dan meninggalkan larangnnya. Iman kepada-Nya juga mengharuskan kita sadar bahwa segala tindak tanduk kita tidak mungkin luput dari pengawasan-Nya. Sehingga dalam ibdah kita dianjurkan “beribadahlah kamu seakan-akan kamu melihat Allah, seandainya pun kamu tidak melihat-Nya, niscaya Allah melihatmu”. Orang melakukan kejahatan dan kecurangan seirngkali karena merasa tidak ada orang yang melihat dan mengawasi dirinya, sehingga dia bebas berbuat semaunya, namun dia lupa bahwa Gusti ora sare, Allah itu tidak tidur. Dia mengetahui apa yang terjadi di langit dan di bumi.

Dalam ayat lain, yaitu surat Ali Imran 133-135 Allah menjelaskan ciri-ciri lain dari orang yang bertakwa, yaitu: 1) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, 2) orang-orang yang menahan amarahnya, 3) mema'afkan (kesalahan) orang, 4) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka.

Apabila dalam surat Al-Baqarah 2-5 tadi sebagian besar mengaitkan ketakwan dengan keberimana, itu berarti takwa ditarik ke dalam dimension internal diri manusia, maka pada ayat-ayat di Surat Ali Imran di atas mengaitkan takwa dengan prilaku sosial. Sama dengan pada surat Al-Baqarah ayat 2, dalam hal ini menginfakkan sebagian harta kita kepada fakir miskin adalah ciri dari orang-orang yang bertakwa. Selain itu orang bertakwa adalah orang yang mau berlapang hati, bukan hanya untuk tidak marah, tetapi juga memberikan maaf kepada orang lain. Bias jadi jika ada orang lain memojokkan kita, kita tidak akan marah, karena secara power kita tidak lebih kuat dari dia. Namun seringkali, meski tidak marah, ada orang yang masih mendendam, dan mencari kesempatan untuk membalas, atau minimal akan merasa puas dan bahagia apabila orang yang memojokkan tadi terpojook, meski bukan oleh orang itu sendiri. Sesuai ayat di atas, ini bukanlah sifat orang bertakwa. Dan orang berrtakwa bukanlah orang yang tidak pernah melakukan kesalahan, tetapi orang yang apabila melakukan kesalahan dia segera sadar, bertobat, memohon ampun kepada Allah, lalui melakukan perbuatan baik untuk menutupi keburukkannya itu. Ini sesuia perintah Rasulullah SAW, ittaqillaha haitsu ma kunta, wattabi’s as-sayiata hasanata tamhuha, bertakwalah kepada Allah di mana saja, dan ikutilah perbuatan burukmu dengan perbuatan baik yang akan menghapus perbuatan buruk tersebut. Apabila perbuatan buruk kita bersangkutan dengan hak-hak anak Adam, maka hak-hak tersebut haruslah ditunaikan terlebih dahulu.

Dalam ayat lain Allah menjelaskan orang yang bertakwa adalah mereka di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan, mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar dan memberikan sebagaian harta-harta mereka untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (Ad-Dzariat 16-19). Ketakwaan, selain dikaitakan dengan berinfak, dalam ayat tersebut di atas juga dikaitkan dengan bangun malam. Begitu dahsyatnya bangun malam, dalam surat Al-Muzammil Allah memerintahkan untuk bangun bangun malam, mengisinya dengan shalat, membaca Al-Quran dan berdzikir, meskipun hanya sejenak.

Begitulah yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat, terlebih-lebih pada malam-malam bulan ramadhan, di mana segala amalan ibadah di dalamnya akan dilipatgandakan pahalanya. Ini berarti akan berlipat ganda pula kecepatan gerak kita menuju Allah. Ini berarti bahwa perjalanan mudik akan lancar, dan semakin cepat sampai kepada Sang Kekasih. Semoga, di usia kita yang tersisia ini, kita bisa mempersiapkan lebih banyak lagi bekal untuk mudik.

31 Agustus 2009

Reformulasi Gerakan Mahasiswa

Oleh: M. Habibi

Apa arti kemenangan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) bagi gerakan mahasiswa? Mungkin pertanyaan ini bisa menjadi titik pijak bagi tulisan ini, sekaligus juga sebagai titik pijak gerakan mahasiswa untuk menatap masa depan.

Kemenangan SBY dalam satu putaran secara logis tentu menimbulkan tanda tanya, apakah kemenangan ini benar-benar murni atau ada kecurangan di dalamnya? Apa sebenarnya yang telah dilakukan selama perido 2004-2009 sehingga SBY mampu meraup suara yang demikian fantastis?

Jika kita flas back. Tidak banyak sebenarnya yang dilakukan oleh pemerintahan SBY-JK selama ini. Bahkan bisa dikatakan terjadi stagnasi dalam perkembangan kehidupan sosia politik, termasuk juga pada permasalahan korupsi, hukum dan keamanan. Bahkan terakhir, pada pelaksanaan pesta demokrasi, yaitu pemilu legislatif dan prsiden 2009 ini, sejatinya tidak lebih baik dari pemilu sebelumnya. Banyak kekisruhan di sana sini. Kekisruhan yang oleh sebagian pihak kecurangan yang dilakukan secara sistematis, meskipun secara hukum tidak bisa dibuktikan. Namun kita tidak bisa menutup mata, kecurangan itu ada. Dan pemilu yang carut marut itu telah mengantarkan SBY maju kembali sebagai presiden didampingi oleh Budiono, seorng profesional yang secara politik dia tidak mempunyai basis masa. Budiono, yang selama ini bergelut dengan lembaga keuangan, dianggap oleh sebagian pihak sebagai kaki tangan neo-liberalisme. Namun apa mau dikata, kenyataannya dialah yang mendampingi presiden SBY memimpin negara ini.

Kemenangan satu putaran telah membuat kita menggeleng-gelengkan kepala, ditambah lagi kabar yang cukup melukai hati demokrasi. Para kontetstan pemilu yang semula menjadi rival SBY kini justru berduyun-duyun mendekat kepada SBY. Dimulai dari partai Golongan Karya (Golkar), yang memang sedari dulu tidak pernah siap untuk oposisi, kemudian Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan terakhir yang mulai merapat adalah Prabowo Subiyanto dari Gerindra. Lalu siapa yang akan menjadi oposisi, penyeimbang, pada periode pemerintah SBY-Budiono mendatang? Lalu apa arti sebuha pesta demokrasi? Mungkin inilah yang pernah penulis ungkapkan dalam tulisan yang lain, Teater Demokrasi.

Kemengan penuh SBY dan bergabungnya semua partai kontestan Pemilu 2009 semakin membenarkan satu anggapan munculnya otoritarianisme baru, pemerintahan otoriter yang baru, yang tentu berbeda dengan otoritarianisme Orde Baru. Jika pada Orde Baru otoritarianisme menggunakan kekuatan represif, maka otoritarianisme kali ini justru terjadi di alam keterbukaan. Modus yang digunakan adalah bagimana menguasai ruang-ruang publik, lalu dijadikan sebagai propoganda terhadap kebijakan-kebijakan SBY-Budiono. Hal ini bisa dilakukan dengan membiayai lembagai-lembagai survei sebagaimana yang telah dilakuakn saat kampanye. Dan semua itu tidak bisa dilakukan oleh SBY ketika dia tidak mempunayi dana. Dia membutuhkan modal, dari itu dia menggandeng para pemodal, baik pribumi mapun asing. Akan sangat logis bila nantinya kebijakan-kebijakan SBY, sebagaimana juga pada periode sebelumnya, berpihak kepad para pemodal, bukan kepada rakyat, wong cilik.

Tantangan Gerakan Mahasiswa
Kondisi demikian itu menjadi tantangan bagi gerakan mahasiswa (GM). Sepatutnya GM mulai menata diri dan membaca kembali arah geraknya. Dengan tidak adanya opsisi pada pemerintah SBY-Budiono kedepan akan membahayakan nasib demokrasi, karena ketiadaan oposisi berarti juga tidak ada kontrol terhadap jalannya pemerintah ke depan. Di sinilalah GM harus menempatkan diri sebagai oposisi pemerintah. Sebenarnya ini telah dilakukan sedari dulu, namun pasca reformasi, gerakan semacam ini mulai mengendur, untuk itu harus ada langkah perbaikan. GM harus melakukan kritk terhadp penyelenggaraan pemerintahan, memunculkan ide-ide alternatif sebagai penyeimbang dari gagasan-gagasan pemerintah yang tidak pro rakyat.

Ini tentu saja bukan tugas mudah bagai GM, karena kondisi internal di semua GM juga sedang mengalami satu problem tersendiri. Gagasan-gagasan alternatif hanya muncul dengan pemikiran dan perenungan yang mendalam. Perenungan ini akan mendalam hanya dengan adanya banyak kajian-kajian yang mendalam pula yang dilakukan. Pengkajian intensif terhadap permasalahan-permasalah keumatan dan kebangsaan ini akan memberikan satu pijakan berfikir dan bertindak bagi GM. Suatu komunitas, atau gerakan, jika sudah lemah dan jarang melakukan pengkajian dan perenungan yang mendalam terhadap permasalahan yang dihadapinya, pastilah akan mengalami disorientasi, terasing dari dirinya sendiri. Sedikit meminjam perkataan mendiang Pramoedya, kemenangan pertarungan pada hakikatnya adalah kemenangan filsafat atau pemikiran yang mendalam dan sekaligus prinsip.

Sekali lagi ini bukanlah hal yang mudah, karena orang-orang yang berada pada sektor-sektor kekuasaan itu tidak lain adalah senior-senior GM itu sendiri. Mekipun tidak ada ikatan formal organisatoris, namun hubungan antara senioritas dalam GM masih sangat erat sekali. Bahkan, senior-senior ini tidak jarang yang menjadi simpul-simpul GM. Di sinilah GM sudah semestinya mengembalikan semua persoalan pada landasan filosofis-idiologis yang mereka miliki. Siapa pun yang memilki cara pandang yang sama dengan idiologi yang dimilki, maka mereka layak dan berhak untuk dirangkul, berjuang bersama. Namun, siapa pun, jika dia tidak mempunyai cara pandang dan idiologi yang sama dengan GM, tidak selayaknya dia berada dalam baris perjuangan GM, karena dia hanya akan menunggangi GM, menjadi benalu, sekalipun dia adalah senior yang juga pernah ikut membesarkan GM tersebut.

Satu hal lagi yang menjadi problem GM, yaitu kemahasiswaan itu sendiri. Masa tempuh studi yang relatif cepat, menuntut GM juga harus melakukan revlousi perkaderan. Jika selama ini GM merasa terbebani karena dia dituntut untuk bergerak pada ranah masyarakat umum, sehingga banyak GM yang terjun ke sana, ini perlu diperhatikan kembali. Minimnya kader, akan sangat berpengaruh terhadap hal itu. Selain itu pada ranah pengerahan massa, pemberdayaan masyarakat, GM kalah gaung dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kiranya yang sangat penting bagi GM adalah kembali pada basis masanya sendiri, yaitu mahasiswa. Jargon back to campus, kiranya tidak begitu salah. GM harus mampu membentuk martyr-martyr nya lagi, orang-orang yang benar-benar memahami landasan idiologis sekaligus tujuan perjuangannya. Itulah para idiolog-idiolog, yang saat ini semakin sedikit. Menipisnya idiolog-idiolog ini tidak lain karena semakin dangkal pemahaman filsafatnya dan pembacaan mereka terhadap realitas sosial. Inilah tanggung jawab Gerakan Mahasiswa.

Keagungan Ramadhan

Oleh: Ihab Habudin

Ramadhan adalah bulan utama. Dalam bulan ramadhan Allah menurunkan al-Qur’an. Dalam Ramadhan, tepatnya 17 Ramadhan tahun ke dua hijarah terjadi perang Badar. Perang pertama yang dimenangi kaum muslim sekaligus menambah kepercayaan diri bagi umat Islam untuk melakukan dakwah islamiyah. Tanggal 20 Ramadhan tahun ke delapan hijrah terjadi penaklukan kota mekah hingga umat Islam bertamnbah kuat. Dalam Ramadhan pula, hamba-hamba Allah seperti isteri Nabi Khadijah binti Khuwailid dan puteri Nabi tercinta Ruqayyah wafat dijemput oleh Allah yang Maha Kuasa.

Selain itu, pada bulan Ramadhan diwajibkan berpuasa dan ditetapkan shalat tarawih. Ramadhan satu-satunya bulan yang di dalamnya terdapat lailatul kadar, malam istimewa, karena dalam malam itu Allah melipatkgandakan pahala; pahala ibadah yang dilakukan pada malam itu lebih baik dari pahala ibadah dalam seribu bulan yang lain. Ramadhan juga bulan yang ditutup dengan idul fitri sebagai balasan bagi yang berpuasa, dan diikuti puasa enam hari dalam bulan Syawal sebagai penyempurna puasa Ramadhan. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa barangsiapa yang berpuasa dalam bulan Ramadhan dan diiringi dengan enam hari dalam Syawal, seakan-akan ia berpuasa sepanjang tahun.

Bulan Ramadhan juga mempunyai banyak nama; di antaranya Syahrul Qur’an (bulan turunnya al-Qur’an), Sahrun Najah (bulan menyelamatkan diri dari adzab Allah), Syahrus Syiam (bulan puasa), Syahrur Rahmah, dan lain-lain. Ramadhan sendiri berasal dari bahasa Arab, yaitu ar-Ramdhu, yaitu hujan yang datang setelah musim kering, sehingga tanah terasa panas terbakar. Sebagian ulama mengatakan bahwa ar-ramdhu berarti panas yang terik. Karena itu, disebut bulan Ramadhan sebagai bulan yang membakar dosa dan meleburkannya dengan amal shaleh. Oleh karena itu, bila ada orang yang pada bulan ramadhan masih senang melakukan ghibah, fitnah, bohong, sumpah palsu dan menuruti nafsu, setidaknya hal itu tidak mencerminkan nama Ramadhan sendiri.

Begitu mulianya bulan Ramadhan, bulan ini banyak dinanti-nantikan oleh umat Islam. Ucapan selamat datang, marhaban ya ramadhan menggema di mana-mana, pesantren-pesantren dan mesjid-mesjid, dari selebaran di pinggir jalan hingga iklan-iklan di televisi, dari para kiai hingga politisi. Semua menyambut datangnya bulan yang suci ini.

Meskipun demikian, menyambut bulan Ramadhan harus diiringi dengan pengasahan jiwa dan raga. Karena dengan berpuasa sebenarnya kita sedang berjalan menuju Allah Swt. Dalam perjalanan itu ada gunung tinggi yang harus didaki, digunung itu terdapat jurang yang curam, hutan lebat, bahkan perampok yang dapat mengancam, serta iblis yang merayu, agar perjalanan tidak dilanjutkan. Semakin tinggi gunung didaki, bertambah besar ancaman dan rayuan, semakin curam dan ganas pula perjalanan. Mulai pagi sampai pagi kembali, banyak tantangan yang menghadang.

Dalam menghadapi tantangan itu, banyak orang berpuasa tanpa mampu meninggalkan dosa-dosanya. Dalam sebuah hadis disebutkan: “Betapa banyak orang yang berpuasa sedangkan sedangkan ia tidak mendapat sesuatu dari puasa itu selain rasa lapar dan dahaga.”

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan orang yang berpuasa sementara yang didapatnya hanya lapar dan dahaga adalah orang yang berpuasa tapi tidak mencegah puasanya dari perbuatan-perbuatan dosa. Orang yang demikian sungguh tidak beruntung karena lapar dan dahaga bukanlah tujuan puasa. Tujuan puasa sendiri adalah takwa. Menurut Muhammad Abduh, takwa berarti menghindari siksa atau hukuman Allah, diperoleh dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarangnya serta mengikuti apa yang diperintahkan-Nya. Hal ini dapar terwujud melalui rasa takut dari siksaan dan atau takut dari yang menyiksa (Allah Swt).

Ramadhan adalah bulan latihan bagi kita untuk menggapai sedapat mungkin derajat takwa tersebut. Untuk melakukannya, takwa karus diupayakan secara terus-menerus. Takwa tidak terikat tempat dan waktu. Termasuk hanya pada bulan Ramadhan. Orang yang bertakwa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dengan istiqamah atau teguh pendirian. Karena itu orang bertakwa tidak hanya menjalankan kebaikan dan mencegah kemungkaran hanya pada bulan ramadhan saja, lebih dari itu ia konsisten melakukannya di bulan yang lain.
Ada yang mengatakan bahwa Ramadhan seperti gerbong utama bagi bulan bulan lainnya. Bulan Ramadhan merupakan pemimpin bagi bulan-bulan lainnya. Apabila demikian, maka kebaikan yang dilakukan di bulan Ramadhan harusnya diikuti oleh bulan-bulan lainnya.

Tapi, seringkali kita menyaksikan bulan Ramadhan hanya ajang memperbaiki diri untuk tujuan sementara. Banyak kita temukan orang yang menjalani kehidupan Ramadhan hanya dengan ganti kostum, seperti jilbab, tetapi setelah bulan Ramadhan kembali lagi ke dunia gelapnya. Bukan masalah memakai dan tidaknya jilbab, lebih jauh dari itu adalah pertanggungjawaban moral kepada Allah bahwa puasa bukan ajang kepura-puraan atau taubat sambal. Maka benar seorang kiai menyebutkan bahwa kemenangan bulan Ramadhan terlihat dalam kemenangan di sebelas bulan lain selain bulan Ramadhan.

Nabi Muhammad Saw adalah manusia yang konsisten. Maka marilah kita berusaha mencontoh Nabi. Nabi Muhammad itu selalu peduli dengan kehidupan masyarakat di sekelilingnya. Sikap seperti ini tampak jelas sejak Nabi masih remaja. Sejak remaja Nabi khawatir terhadap kecurangan para penjual yang seenaknya menakar dagangan, sejak remaja Nabi menentang perlakuan seenaknya orang kaya terhadap orang miskin, sejak remaja juga Nabi khawatir terhadap perpecahan umat. Rasa kepedulian terhadap masyarakat ini dimiliki oleh Nabi hingga akhir hayat. Dalam sejarah kita mengetahui bahwa sampai nyawa ditenggorokan, kepedulian Nabi pada umatnya tidak pernah pudar. Hal ini dibutikan, ketika nyawa sampai ditenggorokan, Nabi masih sempat mengucap ummatii, ummatii.

Nabi itu hidup sederhana. Sejarah menunjukan betapa Nabi tidur hanya di atas pelepah kurma. Meski tawaran kekayaan dari berbagai pihak datang, Nabi tidak menerimanya. Kesederhanaan ini secara konsisten dilakukan Nabi, sampai-sampai diriwayatkan hanya dua lah pusaka yang ditinggalkan Nabi, yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Ini menunjukan bahwa secara materi Nabi sangat sederhana. Dan itu dilakukan secara konsisten.

Semoga keteguhan Nabi seperti itu dapat kita teladani. Wallahu ‘alam.

Krapyak: 31/08/09

28 Agustus 2009

Politik dan Budaya Kekerasan

Oleh: M. Habibi

Belakangan ini kita terlalu sering disuguhi oleh pemberitaan tentang kekerasan-kekerasan, khususnya yang terjadi di Indonesia, baik melalui media cetak maupun tayangan-tangan di media elektronik audio-visual. Saben hari kita “dipaksa” untuk menonton pemberitaan-pemberitaan tentang pembunuhan, pemerkosaan, penggusuran para pedagang kaki lima (PKL), perkelahian antar warga sampai tawuran antar pelajar atau mahasiswa. Contoh kasus terkini adalah penembakan di Papua, pengeboman yang terjadi di Mega Kuningan, tepatnya di Hotel JW. Marriot dan Ritz-Carlton. Peristiwa pengeboman tersebut juga mengingatkan kita kembali pada peristiwa pengeboman yang terjadi di tempat yang sama beberapa tahun yang lalu, kemudian di Bali, baik itu Bom Bali I maupun Bom Bali II yang telah banyak memakan korban jiwa. Belum lagi konflik antar daerah, antara suku yang terjadi di beberapa wilayah negeri ini. Dan entah, berapa banyak lagi kekerasan-kekerasan yang terjadi dengan berbagai macam bentuknya.

Dalam satu forum budaya di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Emha Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Cak Nun melontarkan satu pertanyaan, apakah konflik, kekerasan yang terjadi di Indonesia ini adalah merupakan geniun budaya Indonesia, atau ada faktor lain yang di luar itu yang menyebabkan manusia Indonesia melakukan kekerasan?

Mendefinisikan Kekerasan

Kekerasan biasa diterjemakan denan kata violence yang berkaitan erat dengan gabungan kata latin “vis” (daya, kekuatan) dan “latus” (yang berasal dari feree, membawa) yang kemudian berarti membawa kekuatan. Dalam kamus Bahasa Indonesia kekerasan berarti sifat atau hal yang keras; kekuatan; paksaan.

Johan Galtung mendefinisikan kekerasan sebagai segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar. (I Marsana Windhu: 1992). Definisi ini berpijak pada pikiran bahwa manusia mempunyai potensi-potensi dalam dirinya yang merupakan bahan untuk pertumbuhan pribadinya. Sementara pertumbuhan pribadi merupakan integritas diri (self) soma, dan fisik manusia. Apabila potensi-potensi diri manusia tersebut tidak teraktualisasi, maka di sanalah terjadi kekerasan. Aktualisasi tersebut bisa dalam bentuk aktifitas berfikir, termenung dan aktifitas yang nampak oleh kasat mata. Aktualisasi potensi juga menuntut terpenuhinya prasyarat pertumbuhan pribadi berupa kebebasan, persamaan, keadilan dan kesejahteraan, karena hanya dengan itulah potensi-potensi manusia dapat teraktualisasi dan pribadi akan tumbuh secara manusiawi.

Macam-Macam Kekerasan

Dari pengertian di atas, segala sesatu yang menghalangi proses aktualisasi diri dan pertumbuhan pribadi bisa disebut sebagai kekerasan. Dari sinilah Galtung membagi kekerasan menjadi dua jenis. Pertama kekerasan langsung. Kekerasan ini juga sering disebut sebagai kekerasan personal, yaitu kekerasan ini yang dilakukan oleh satu atau sekelompok actor kepada pihak lain (“violence-as-action) (Mohtar Mas’oed:1997). Kekerasan langsung, dengan demikian, dilakukan oleh seseorang ata sekelompok orang dengan menggunakan alat kekerasan dan seringkali berakibat fisik. Dalam kekerasan ini juga jelas siapa subjek dan siapa objek, siapa pelaku siapa korban.

Kedua kekerasan tidak langsung. Galtung menyebut kekerasan ini sebagai kekersan struktural. Kekerasan ini merupakan “built-in” dalam suatu struktur (“violence-as-structure). Kekerasan ini lebih banyak terjadi pada ranah pskis, meski beberapa juga pada ranah fisik. Apabila dalam kekerasan langsung jelas siapa subjek dan objeknya, maka dalam kekerasan tidak langsung atau struktural tidak jelas siapa subjek atau pelakunya. Adanya kasus gizi buruk yang berujung pada ketidaknormalan pertumbuhan diri atau bahkan kematian, bukanlah disebabkan oleh kejahatan seseorang atau sekelompok orang, melainkan akibat dari struktur sosial, struktur ekonomi dan struktur politik yang timpang dan tidak adil. Inilah kekerasan stuktural.

Kekerasan di Indonesia
Tulisan ini tidak akan cukup jika penulis harus mendata kekerasan yang terjadi di Indonesia, meski itu sebatas kurun waktu pasca reformasi. Namun untuk membicarakan kekerasan perlu kita melacak akar kesejarahan kekerasan di negeri ini.

Berbicara kekerasan di Indonesia, seringkali kita mengacungkan jari telunjuk menunjuk pada rezim Orde Baru sebagai biang keladi semua kerusuhan yang ada. Namun cukupkah segala kesalahan itu dilemparkan hanya kepada orde baru? Belum tentu, kita ahrus menilik pada masa sebelumnya sampai pada masa colonial.

Kekerasan memang tidak dimulai dari masa colonial, tetapi kolonialisme secara signifikan telah memproduksi kekerasan ke dalam sistemsistem yang berdaya jangkau lebih luas dari pada sekedar lokalitas kerajaan-kerajaan tradisional, berdaya paksa lebih kuat, dan lebih tahan lama. Henk Schulte Norholt melacak bahwa kekersan yang terjadi berawal dari penggunaan jago (preman desa) untuk menjaga wibawa, menghadapi perlawanan rakyat. Pemerintah colonial bekerja sama dengan kriminal untuk kepenting-kepentingannya, sementara para preman dibiarkan untuk beroprasi asal tidak jelas-jelas melanggar hukum (B. Bahri Juliawan: 2003). Model semacam inilah kemudian yang diwarisi oleh penguasa pasca kolonial sampai dengan saat ini. Pada pemerintahan Orde Baru, preman-preman dipelihara sebagai kendali kebijakan pemerintah, namun setelah tentara kuat, para preman ini dibasmi. Tentara kemudian menjadi alat kekerasan negara. Pada masa-masa akhir 80-an banyak orang-orang yang hilang misterius dikarenakan mereka dianggap menentang pemerintah. Semua itu dilakukan atas nama stabilitas nasional.

Penggunaan militer sebagai alat kekerasan negara pasca reformasi memang berkurang, namun bukan berarti penggunaan-penggunaan kekuatan semacam itu tidak ada. Kekuatan-kekuatan tersebut bermutasi menjadi kekuatan sipil yang menyerupai militer sebagai alat negara untuk tameng negara untuk melakukan kekerasan, penggusuran dan hal yang serupa.

Jika dicermati masa pasca kolonial tadi, dapat dilihat bahwa kekerasan digunakan untuk melanggngkan kekuasaan. Kekersan telah menyatu dengan kekuasaan. Pada masa Orde Baru, kekerasan seperti ini sengaja dipelihara. Inilah yang oleh Jean Baudrillard sebagai simulakrum kejahatan, yaitu kekerasan, horror, dan terror yang diciptakan sedimikian rupa, sehingga ia tampak seolaholah terjadi secara alamiah, padahal direkayasa (Yasraf A. Piliang: 2005). Kekerasan-kekerasan tersebut dilakukan untuk menunjukkan bahwa pemerintah bisa menjamin keamanan rakyatnya. Kekerasan diciptakan sedemikian rupa, sehingga muncul imag kelompok tertentulah yang melawan pemerintah, melawan negara, dan meraka harus dibasmi.

Akibat semakin majunya teknologi dan ilmu pengetahuan, kekerasan pun semakin kompleks. Kekuasan dan kekerasan yang ada dibaliknya dilengkai teknologi tinggi, manajemen tinggi, dan politik tinggi. Kekerasan ditutup topeng dan tirai. Kekerasan yang mutakhir yang didukung oleh kecanggihan teknologi adalah terorisme. Bukan hanya karena dia menggunakan bom, tetapi manajemen perencanaan juga dengan manajemen tinggi. Sampai saat ini baru diketahui siapa yang melakukan peledakan bom, namun tidak diketahui siapa dalang sebenarnya. Kalaupun ada, itu sebatas tuduhan, karena pada kenyataan ada missing link. Terorisme, ketika sudah bersentuhan dengan teknologi informasi, menjadi satu simbol yang melahirkan makna. Makna itu misalnya bahwa Indonesia adalah sarang teroris. Makna ini bisa ditukar misalnya dengan akses investigasi Negara lain ke wilayah Indonesia. Di sini kemudian terjadi erseingkuhan antara Negara dan kepentingan asing. Hal ini biasanya merugikan rakyat, karena sebagaimana Undang-Undang anti teror yang diadopsi dari Negara lain ternyata memberikan kesempatan kepada aparat untuk melakukan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri.

Secara psikologis, kekejaman yang dilakukan secara berulang-ulang dalam waktu yang lama dapat meimbulkan trauma pada korban, pada orang yang menyaksikan, atau bahkan pada pelaku sendiri. Lewat perjalanan yang panjang, setiap orang didik untuk mempunyai inisiatif sendiri dalam menghadapi ancaman-ancaman keamanan. Kekerasan telah menjadi bagian akrab dari keseharian kita, seolah-olah setiap kali hendak menyelesaikan masalah serta persoalan satu-satunya pilihan adalah kekerasan (B. Bahri Juliawan: 2003). Kekerasan telah menjadi kebiasaan. Inilah yang oleh Hannah Arendt disebut sebagai banalitas kejahatan atau kejahatan yang banal, yaitu praktik kejahatan yang dijalankan bagaikan menjalankan aktivitas sehari-hari yang tidak disadari (Sindhunata: 2007). Hal ini mungkin dapat dilihat dari siaran-siaran media masa. Hampir setiap hari masyarakat kita mendengar berita tentang pembunuhan. Tidak hanya sebatas itu, kita juga disuguhi modus dan cara-cara pembunuh itu melakukan aksinya menghabisi korban. Kita disuguhi bagaimana pembunuh itu menyembelih korbannya, menguburnya.

Banalitas kejahatan ini akan semakin berkembang di masyarakat seiring adanya krisis legitimasi. Menurut Jurgen Habermas, krisis legitimasi (moral) ini menyebabkan tidak didengarnya lagi oleh masyarakat imbauan-imbauan moral pihak berwenang (khususnya penguasa), oleh karena mereka sendiri yang justru dianggap sering mempercontohkan tindakan-tindakan melanggar moral (Yasraf A. Piliang: 2007). Rakyat tidak lagi percaya kepada Presiden, DPR, ABRI, Polisi, Gubernur, Bupati, Camat atau kepala desa. Berapa banyak contoh-contoh perilaku amoral yang dilakukan oleh para penguasa. Sebagai contoh adalah perilaku anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang korup, suka bermain wanita, adu otot dengan anggota dewan lainnya, sehingga Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menganggap DPR sebagai Taman Kanak-kanak, atau malah Play Group.

Mungkin puisi kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana karya Musthofa Bisri atau Gus Mus cukup untuk menggambarkan hal tersebut. Gus Mus menulis:Aku harus bagaimana //Aku Kau suruh menghormati hukum // Kebijaksanaanmu menyepelekannya // Aku kau suruh berdisiplin Kau mencontohkan yang lain. . . . Kau ini bagaiman // Kau suruh aku menggarap sawah // Sawahku kau tanami rumah-rumah // Kau bilang aku harus punya rumah // Aku punya rumah kau meratakkannya dengan tanah // Aku harus bagaimana // Aku kau larang berjudi // Permainan spikulasimu menjadi-jadi // Aku Kau suruh bertanggungjawab // Kau sendiri terus berucap wallahu a’lam bish shawab.

Secara puitis Gus Mus menggambarkan bagaimana mungkin rakyat akan mengikuti imbauan-imbaun penguasa, pada saat yang sama para penguasa itu melanggar apa yang mereka katakan. Diibaratkan tangan kanan pemerintah membawa roti sementara tangan kirinya membawa pukulan. Rotia tiada seberapa mengenyangkan, namun kepala babak belur oleh pemukul. Dari kutipan terakhir pusi tersebut, Gus Mus ingin mengatakan bahwa penguasa tidak mau bertanggungjawab atas keputusan dan kebijakannya, atas nasib rakyatnya. Inilah yang menyebabkan rakyat acuh-tak acuh lagi terhadap seruan penguasa.

Di samping itu, krisis legitimasi terjadi karena negara telah banyak melakukan, kembali pada definisi Galtung, kekerasan struktural. Kekerasan ini menampakkan diri sebagai kekuasaan yang tidak seimbang yang menyebabkan peluang hidup tidak sama. Hal ini nampak pada ketimpangan yang merajalela: sumberdaya, pendapatan, kepandaian, pendidikan, serta wewenang untu mengambil keputusan mengenai distribusi sumberdaya pun tidak merata (I Marsana Windhu: 1992). Berkumpulnya sekitar 80 persen rupiah di Jakarta adalah bukti tidak meratanya pembangunan. Daerah-daerah yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah, seperti Papua dan Aceh, justru menjadi daerah paling miskin dan tertinggal. Berpuluh-puluh jalan tol dibangun di Jakarta yang luasnya tidak seberapa, tetapi berapa puluh kilo meter jalan di Kalimantan dan Papua masih tanah yang ketika hujan berlumpur dan ketika musim kemarau ditutupi oleh debu. Desentralisasi politik memang telah dilakukan, tetapi tidak demikian dengan desentralisasi kesejahteraan. Kita masih sering mendengar berita tentang busung lapar, gizi buruk di bagian negeri ini yang kono adalah negeri gemah ripah loh jenawi, toto tentren kerta raharja. Busung lapar, gizi buruk adalah penghambat proses aktualisasi potensi diri manusia, padahal sebenaranya hal tersebut dapat dicegah atau diatasi. Karena hal ini berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar yang berkaitan dengan kelangsungan dan kelestarian hidup, kebebasan, kesejahteraan maka hal ini termasuk pada kekerasan struktural.

Kekerasan struktural, sebagaiman sifatnya, dia mencakup lingkup yang luas. Namusn selalu saja, masyarakat bawah yang selalu menjadi korban. Para petani telah sekian lama mengalami kekerasan ini. Lahan pertanian yang semakin sempit, karena lahan-lahan tersebut kini beralih fungsi sebagai perumahan, perkantoran atau jalan tol. Mereka lebih sengsara oleh karena mahal dan minimnya pupuk. Dan laksana jatuh tertimpa tangga, ketika panen hasil penen mereka dibeli dengan harga oleh pemerintah atau oleh monopoli para pemodal.

Masyarakat bawah yang sering menjadi korban adalah kaum miskin kota. Mereka tidak mendapat akses pekerjaan. Pengangguran merajalela. Dalam kondisi seperti ini mereka sering mendapatkan terror, penggusuran oleh aparat, dengan dalih keindahan dan kebijakan. Dalih untuk kebaikan dan kesejahteraan ini juga yang sering digunakan untuk melakukan penindasan kepada rakyat. Kasus tukar guling sebuah sekolah di Sampang Siantar menjadi satu bukti bahwa sebenarnya kebijakan pemerintah tidak benar-benar memihak kepada rakyat, tetapi kepada pemodal. Ini diketahui setelah ternyata lokasi sekolah tersebut akan dijadikan sebagai pusat perbelanjaan. Sepanjang kekuasaan mengabdi kepada pemodal, bukan kepada rakyat, maka kekerasan struktural ini akan masih tetap eksis, karena rakyat hanya bagian dari mesin penghasil uang, dan pemerintah tidak ubahnya panitia dari hajatan besar bernama pasar bebas. Masyarakat yang berorientasi pada kapital, pasar, maka gaya hidupnya pun akan beroreintasi pada materialisme. Orientasi masyarakat ini adalah menumpuk keuntungan yang sebesar-besarnya lewat produksi dan konsumsi, tanpat terlalu ambil pusing dengan persolan-persoalan moral, idiologi, dan spiritual dalam proses produksi dan konsumsi tersebut.

Kekerasan dan Masa Depan Bangsa
Kekerasan yang telah lama terjadi dan dilakukan secara terstruktur menjadikan bangsa ini lupa terhadap nilai-nilai luhur yang dimilikinya. Di kalangan masyarkat yang tersisa adalah rasa saling curiga. Masyarakat yang semacam ini akan sangat mudah tersulut konflik dan akan terjadi kekerasan sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Dan bangsa ini akan terus dihantui oleh horor-horor kekerasan. Untuk itu perlu segera ada langkah untuk mencegah terulang sejarah-sejarah kelam bangsa ini. Harus ada pendekatan yang holistic terhadap peristiwa kekerasan. Segala kekerasan harus dilihat dalam rangka kekerasan yang lebih luas, yaitu kekerasan politik, kekerasan ekonomi, kekerasan cultural, kekerasan simbol, kekerasan media dan kekerasan lainnya.

Dalam hal ini, Richard A. Falk, sebagaimana dikutip I Marsana Windhu (1992), mengajukan empat nilai yang akan menjadikan kehidupan lebih baik, yaitu a) Usaha meminimalisasi kekerasan Kolektif, b) maksimalisasi sosial dan ekonomis, c) realisasi hk-hak asasi dan keadilan politik dan d) rehabilitasi, menjaga dan melestarikan alam. Selain itu, penggalian kepada kearifan-kearifan budaya lokal. Lembaga-lembaga moral, cultural, spiritual dibutuhkan unutk menjembatani dialog dan membuka ruang public, sehingga terwujud kedewasaan demokrasi.

M. Habibi, Kabid Ukhuwah dan Jaringan KP HMI Cab. Yogyakarta.
Tulisan ini telah dimuat dalam MAJALAH "ISRA" PUSHAM UII Edisi Juli 2009.

11 Juli 2009

Senior Course Ke 80


Revivalisasi Fitrah Pengader Untuk Progresifitas Gerak HMI

Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama yang hanif, fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan atas ciptaan Allah. Itulah agama yang benar, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
(QS. Ar-Rum: 30)

Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang begitu cepat. hampir tidak ada sedikit ruang pun yang luput dari jamahan perkembangan tenologi ini. Alfin Toffler dalam future Shock memberikan gambaran bagaiman pengaruh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga membawa perubahan besar bagi kehidupan manusia, tatanan sosial, pola kumunikasi dan hampir seluruh aspek kehidupannya. Kehidupan manusia pun berlangsung begitu cepat dan dinamis. Namun, seiring perkembangan ilmu pengetahun dan teknologi itu, muncul pula permasalahan manusia yang semakin kompleks.

Kompleksitas permasalahan ini akan bertambah bagi umat Islam. Mereka akan dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan baru tentang ajarannya, tentang apa yang diyakini selama ini. Hal ini menuntut umat Islam untuk segera merespon berbagai persoalan tersebut dan dengan segera mencari solusi-solusi dari kompleksitas permasalahan tersebut. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah bagian dari uamat Islam ini, dengan demikian HMI juga dituntut untuk melakukan gerak juang yang progresif.

HMI secara sadar telah menentukan pilihannya sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan sebagai identitasnya. Sebagai organisasi perkaderan, HMI melakukan pembinaan kepada kadernya melalui sebuah usaha yang terkonsep, sistematis, strategis dan berkesinambungan. Dari pembinaan ini nantinya diharapkan akan lahir sosok ideal atau kader cita HMI yang terkonsepsikan sebagai sosok ulil albab. Kader cita inilah yang kemudian menjadi motir-motir bagi perjuangan HMI, yaitu satu usaha untuk merealisasikan nilai-nilai Islam di alam semesta ini.

Adalah sebuah keniscayaan bagi insan-insan organisasi yang mencirikan dirinya sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan ini untuk senantiasa selalu tekun dan bekerja dalam menjalankan amanah yang diembanankan kepadanya. Perkaderan dan perjuangan ibarat dua sisi mata uang yang saling terkait dan tak bisa dipisahkan. Seluruh usaha perkaderan untuk melanggengkan HMI adalah demi perjuangan menggapai tujuan dan begitu juga perjuangan mensyaratkan kokohnya perkaderan. Dinamisasi antara perkaderan dan perjuanganlah satu-satunya motor penggerak bagi organisasi mahasiswa Islam tertua di Indonesia ini untuk meraih tujuannya “Terbinanya mahasiswa Islam menjadi insan ulul albab yang turut serta bertanggungjawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang dirihoi Allah SWT”. Dari sini nampak bahwa HMI mengedepankan pembinaan dan pengembangan potensi manusia sebagai subjek pembangun peradaban.

Fitrah manusia
Ibnu ‘Arabi sering mengunakan istilah fithrah manusia dengan arti ‘kecondongan dasar ‘. Banyak para musafir yang menafsirkan fitrah manusia adalah ini elem ajaran agama yaitu iman kepada Allah atau Tauhid. Menurut Ibnu ‘Arabi, kecondongan primordial manusia tersebut dilengkapi dengan sejumlah sifat-sifat kesempurnaan yang dimiliki oleh ruh manusia pada saat penciptaannya. (William C. Chittick : 2001). Selain itu, manusia juga dibekali dengan perangkat diri berupa jasad, akal dan ruh. Manusia akan tetap pada kesempurnaannya ketika ketiga elemen tersebut berkembang dan berjalan secara sinergis.

Dengan kesempurnaan yang dimiliki tersebut, manusia mengemban tanggung jawab yang besar. Selain sebagai abdi, manusia juga memiliki peran sebagai khalifah di mika bumi ini, satu amanah yang tidak bisa ditanggung oleh makhluk selainnya. Tanggungjawab. sebagai abdi manusia dituntut totalitas peribadahannya kepada-Nya, sedangkan sebagai khalifah manusia bertanggungjawab memakmurkan bumi ini.

Sebagai makhluk, perkembangan manusia ditentukan oleh potensi-potensi yang dibawa dan pengaruh-pengaruh lingkungan.dan seringkali kecondongan-kecondongan dasar manusia tersebut diselimuti oleh kabut lingkungannya. Untuk itu, yang diperukan adalah Usaha-usaha itu adalah untuk mengingatkan kembali manusia pada fitrahnya, menyibak kabut-kabut yang menutupi fitrah tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara pembinaan yang tersistematis dan berkesinambungan. Di HMI, hal ini disebut sebagai perkaderan.

Fitrah Pengader
Dalam sistem perkaderan, setidaknya terdapat dua subjek penting di sana, kader dan pengader. Kader secara umum adalah orang yang dididik untuk melanjutkan estefet suatu organisasi. Sementara kader HMI adalah anggota HMI yang telah mengikuti model perkaderan organisasi secara menyeluruh dan optimal, sehingga memiliki integritas pribadi yang utuh, beriman, berilmu dan beramal shaleh yang siap mengemban tugas dan amanah keumatan. Lahirnya kader ideal sangat ditentukan oleh sistem yang ada dan juga pengader yang berkualitas. Pengader adalah orang yang melakukan pembinaan secara intens. Dia adalah sosok dengan kepribadian utuh sebagai pendidik, pemimpin dan pejuang. Itulah fitrah pengader. Itu pula adalah sibghah atau blue print sosok pengader.

Sebagai pendidik, pengader HMI adalah pembawa dan penjaga nilai-nilai Islam. Sebagai pendidik, pengader HMI haruslah memahami bahwa pendidikan adalah usaha yang dilakukan secara sitematis untuk mengembangkan potensi peserta didik. Tujuannya adalah lahirnya manusia paripurna yang memiliki keimanan, akhlak mulia, dan ilmu pengetahuan. Untuk itu, pengader HMI harus memiliki kemampuan metodologi, strategi dan operasional dalam pendidikan. Selain itu, dia juga harus bisa memahami subjek didiknya, meletakkannya sebagai manusia yang sadar dan membawa potensi kebaikan. Yang paling utama bagi seorang pendidik adalah dia bisa menjadi tauladan (uswatun hasanah) bagi subjek didiknya. Pendidik adalah integritas kepribadian antara iman, ilmu dan amal.

Sebagai pemimpin, pengader HMI merupakan penjaga ukhuwah islamiyah. Dan sebagai pejuang, dia merupakan pelopor dalam amar ma’ruf nahi munkar, yaitu menyerukan kepada nilai-nilai kebaikan dan kebenaran serta melarang dari perbuatan yang merusak dan prilaku-prilaku yang akan menghadirkan murka Allah. Sebagai pejuang, dia adalah mujahid, orang yang mengerahkan seluruh daya dan kemampuannya, baik secara aqliyah, fikriyah maupun jasadiyah. Sebagai mujahid, dia mengetahui benar konsekwensi dari jalan juang yang ditemupuhnya. Dia adalah sosok yang mempunyai kesadaran idiologis dan mampu mengungkapkan segala apa yang dia yakini secara lisan maupun perbuatan. Al-Quran juga menyatakan bahwa kehidupan ini adalah media perjuangan bagi manusia untuk mencapai kehidupan yang sempurna dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, manusia harus bersiap pula untuk berkorban, tidak saja harta benda, tetapi juga nyawa sekalipun.

Konsekuensi dari tiga sosok potensi yang padu, yakni pendidik, pemimpin dan pejuang, maka pengader adalah insan yang memiliki kesadaran ideologis yang tinggi, ikhlas berjihad di jalan Allah SWT, istiqomah, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang relefan dengan tugasnya sebagai pengelola latihan HMI”. (Muqodimah Pedoman Pengader). Dari sinilah, HMI akan melakukan gerak juang yang progresif. Dan Senior Course ke 80 ini diharapkan mampu menjadi langkah awal untuk melakukan gerak tersebut.



Pelaksanaan


SC Ke 80 akan dilaksanakan pada tanggal 25 - 30 Juli 2009 di Yogyakarta


Syarat-syarat mengikuti SC
Lulus LK II

Membuat Makalah sesuai tema min. 3 Lembar kertas kuarto Time New Romans spasi 1,5
Membuat out line (pointer-pointer) khittah perjuangan
Hafalan surat Adh-dhuha sampai An-Nas ditamabah Al-‘ala, Al-Ghasyiyah dan As-shof
Mengikuti seleksi yang meliputi: ke-Islaman, Ke-HMI-an, makalah dan Micro Teaching.
Menyerahkan past poto 3x4 sebanyak 2 Lembar.
Membayar kontribusi sebesar Rp. 75.000,00 dan pendaftaran Rp. 5.000,00 dengan fasiliatas Kaos, stiker, buku dan CD hasil pelatihan.

Waktu Seleksi
seleksi dilaksanakan tanggal 21-22 Juli 2009

Pembekalan
Pembekalan dan Studium General 24 Juli 2009

Pendaftaran
Pendaftaran melalui SMS: REG (spasi) NAMA (spasi) KOMISARIAT dikirim ke No. 085959070782 an. Fauzan S, atau ke No. 0274 6567900 An. HMI Cab, Yogyakarta Maksimala tanggal 19 Juli 2009

Renungan ke-HMI-an


Judul : HMI: Keabadian dan Inovasi Gerakan
Editor : Ahmad Nuralam dan Ahmad Sahide
Penerbit : The Phinisi Press Yogyakarta
Tahun terbit : 2009
Hal. : ix + 201

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sejak awal berdirinya telah menyakan komitmennya terhadap ajaran Islam. Komitmen terhadap Islam inilah yang menjadi ruh gerak HMI. Dengan ruh ini pula, HMI membina kader-kadernya menjadi manusia yang berkualitas, kader yang militan. Kemampuan HMI dalam membina kadernya dapat dilihat sejauhmana organisasi itu mampu menjelaskan nilai-nilai kebenaran yang diyakninya dalam satu sistem yang lugas dan mudah dipahami. Dan HMI akan tetap eksis apabila kader-kadernya mampu mengembangkan kapasistas dirinya untuk melesat menuju gerakan spiritual yang disebarkan dalam bentuk amal Soleh.

Demikian beberapa pikiran yang tertuang dalam buku HMI: Keabadian dan Inovasi Gerakan. Buku yang merupakan hasil kumpulan tulisan ini mengupas banyak hal di dalamnya, segala tetek bengek HMI. Secara gasisr besar, buku ini dibagi ke dalam empat bab, yang mereprensitasikan tenang pemikiran keabadian dan inovasi gerkan. Bab I, berbicara tentang HMI dan Pemikiran Keislaman yang memuat dua tulisan. Bab II berisi tentang HMI dan Modrnitas yang antara lai berbicara tentang HMI di tengan Arus Globalisasi, HMI dan Politik Citra yang merupakan tema-tema hangat saat ini. bab III buku ini berisi pemikiran-pemikiran HMI-wati yang menyoroti tentang keberadaan, pembinaan dan gerak Koprs HMI-wati (KOHATI), diantaranya menghadirkan tenatng kepemimpinan dalam perspektif feminis. Dan Bab IV membincang masalah Dinamika Politik Kontemporer yang antara lain berisikan tentang permasalah Golput dan sistem keindonesia. Adapun buku sebagai penutup adalah tulisan Masyhudi Muqarrabin Ph.D yang ketika masih aktif di HMI pernah menjabat sebgai ketua PB HMI.

Sebagai buku yang ditulis secara keroyokan oleh 17 penulis yang kebanyakan adalah orang yang didik dan di besarkan oleh kulut Karangkajen (sekretariat HMI Cabang Yogyakarta), secara ide buku-buku ini bisa dikatakn kurang sistematis, apalagi penyusunannya terburu-buru, yaitu dalam rangka Kongres HMI ke 27 di Yogyakarta. Ini berakibat pula pada tata letak si buku. Namun, keunggulan buku ini adalah dia ditulis oleh orang dalam (sebagaian masih aktif di struktur kepengurusan), yang mengetahui seluk beluk dan ruang dapur HMI. Selain itu, tulisan yang reflektif juga memberikan ruh tersendiri bagi buku ini, selain membeberkan berbagai persoalan yang dihadapi, para penulis juga menwarkan alternatif-alternatif pemecahannya. Dengan demikian, buku ini akan cocok untuk dibaca oleh mereka yang masih aktif ngurus HMI dan juga merka yang berminat terhadp studi tentang HMI. Selamat membaca.