SELAMAT DATANG DI CYBER MEDIA KP HMI CABANG YOGYAKARTA

30 Desember 2009

Membangun Kesadaran Pengader

Oleh: Lidar Marjiyansyah

A. Hakikat Organisasi Perkaderan
Kader sebagai seseorang yang telah menyetujui dan meyakini kebenaran suatu tujuan dari suatu kelompok atau jama’ah tertentu, kemudian secara terus menerus dan setia turut berjuang dalam proses pencapaian tujuan yang telah disetujui dan diyakini itu (Imawan Wahyudi, 2002:9). Tentunya yang menjadi wadah utama seorang kader dalam beraktualisasi adalah organisasi. Organisasi adalah suatu kelompok orang yang memiliki tujuan yang sama. Berbagai golongan massa, seperti klas buruh, kaum tani, nelayan, intelektual progresif : pemuda dan pelajar, wanita dll, mengorganisasikan diri dalam organisasi-organisasi massa. Organissi massa (ormas) diperlukan untuk memperjuangkan kepentingan kepentingan mereka yang sederhana seperti kepentingan ekonomi, hak-hak dasar mereka dan sebagainya.

Himpunan Mahasiswa Islam yang juga sebagai sebuah organisasi kemahasiswaan, bukan hanya berfungsi sebagai organisasi massa tetapi juga merupakan organisasi pengkaderan. Dimana selain merupakan tempat berkumpulnya orang-orang dengan tujuan yang sama, organisasi pengkaderan juga memiliki tangung jawab untuk terus mencari kader-kader baru, mendidiknya dalam sebuah pelatihan, serta melakukan pengawasan dan aktivitas untuk mengembangkan potensi kader yang kesemuanya itu diatur dalam sebuah sistem yang diciptakan oleh organisasi pengkaderan itu sendiri.

B. Urgensi Pengader

Selanjutnya HMI berperan untuk melahirkan kader-kader yang berfungsi sebagai pemimpin umat dan bangsa. Kondisi ini mengharuskan HMI memiliki kualifikasi lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat terutama mahasiswa pada umumnya. Cerminan dari kualifikasi tersebut harus diaktualisasikan dalam ide-ide dan perjuangan HMI. Pengkaderan non sectarian menjadi syarat berikutnya, dimana kader HMI harus siap “dilempar” di masyarakat kebanyakan untuk mengarahkannya kepada nilai-nilai islam tanpa melihat perbedaan budaya dan ideology.

Pengader sebagai kader HMI yang mempunyai kualifikasi lebih tinggi, karena merupakan sosok kepribadian yang utuh sebagai pendidik, pemimpin dan pejuang (Pedoman Pengader, 2009). Sehingga harus dapat menentukan perlakuan yang sesuai terhadap kader yang pada umumnya berada di usia peralihan dari remaja ke dewasa, dimana rawan mengalami disorientasi hebat. Jangankan memastikan apa yang harus dikerjakan, angan tentang cita-cita saja makin dipenuhi ketidakpastian. Dalam hal menentukan cita-cita, kita kalah dengan anak SD yang bisa dengan gamblang menyebutkannya dengan penuh optimis. Itulah yang saya maksud dengan proses pengerdilan diri. Kita jadi merasa makin takut menatap masa depan hingga lupa ke mana akan pergi.

Rumus sederhana Kiyosaki untuk menggapai cita menarik untuk diterapkan dalam usaha seorang pengader . Rumusnya sederhana saja, dengan tiga variabel. “Do”,“have”,dan “be”. Melakukan, memiliki, dan menjadi sesuatu (atau seseorang). Untuk bisa menjadi seorang pengader sebenarnya setiap orang harus melakukan/mengerjakan apa-apa yang ditentukan dalam pedoman pengkaderan HMI, sekaligus merasa memiliki segala nilai yang menjadi landasan dan tujuan HMI yang termuat dalam AD/ART, secara khusus pada pedoman pengkaderan. Jika hanya “memiliki”, maka yang dipunyai hanya kepura-puraan tanpa dapat memberikan sumbangsih nyata bagi penanaman nilai-nilai ke-HMI-an. Demikian pula jika hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang pengader, maka itu hanya imitasi.

Nilai intelektualitas sebagaimana yang diungkapkan oleh Jalaluddin Rakhmat, bahwa intelektual bukan hanya menunjukkan kelompok orang yang sudah melewati pendidikan tinggi dan memperoleh gelar sarjana, juga bukan sekedar ilmuwan yang berupaya mendalami penalaran dan penelitian dalam mengembangkan spesifikasi keilmuwannya. Intelektual adalah mereka yang merasa terpanggil hatinya untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang dapat difahami berbagai kalangan, kemudian menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalahnya. Inilah salah satu yang dapat dijadikan telaah pengader HMI dalam melakukan pembacaan atas pergeseran paradigma berpikir kader yang disebabkan oleh gagal karena tak punya potensi yang bisa dibanggakan, mungkin bukan jenis cerita yang istimewa. Tapi juga tak sedikit kader yang justru gagal karena dirinya menyimpan banyak potensi. Kader jenis ini biasanya lantas punya banyak ide dan keinginan. Keinginan dan ide yang terlalu berlimpah malah jadi bencana jika tak dikelola dengan benar. Harus ada skala prioritas dan pemikiran strategis pengader dengan nilai intelektualnya untuk membatasi lubernya ide.

C. Kesadaran Kritis

Pengader juga harus bisa berfungsi sebagai guru dalam artian menjadi menyelenggarakan pendidikan. Unsur pendidikan sendiri, Freire menggarisbawahi terdapat tiga unsur fundamental yakni; pengajar, peserta didik dan realitas dunia (Mansour Faqih, Roem Topatimasang, Toto Rahardjo : 2001 : 40) Hubungan antara unsur pertama dengan unsur kedua seperti halnya teman yang saling melengkapi dalam proses pembelajaran. Keduanya tidak berfungsi secara struktural formal yang nantinya akan memisahkan keduanya. Bahkan Freire mengidentifikasi bahwa hubungan antara pengajar dan peserta didik yang bersifat struktural formal hanya akan melahirkan “pendidikan gaya bank” (banking concept of education).

“Pendidikan gaya bank” merupakan pola hubungan kontradiksi yang saling menekan. Ketika pengajar (guru) ditempatkan pada posisi di atas, maka peserta didik (murid) harus berada di bawah dengan menerima tekanan-tekanan otoritas sang guru. Oleh karena itu pendidikan seperti ini hanya akan melahirkan penindasan dan tidak sesuai dengan fitrah. Freire lebih menghendaki bahwa hubungan antara guru dan murid (pengader dan kader) seperti halnya seorang teman atau partnership. Dengan model hubungan seperti ini memungkinkan pendidikan itu berjalan secara dialogis dan partisipatoris.

Posisi pengajar dan peserta didik oleh Freire dikategorikan sebagai subyek “yang sadar” (cognitive). Artinya kedua posisi ini sama-sama berfungsi sebagai subyek dalam proses pembelajaran. Peran guru hanya mewakili dari seorang teman (partnership) yang baik bagi muridnya. Adapun posisi realitas dunia menjadi medium atau obyek “yang disadari” (cognizable). Disinilah manusia itu belajar dari hidupnya. Dengan begitu manusia dalam konsep pendidikan Freire mendapati posisi sebagai subyek aktif. Manusia kemudian belajar dari realitas sebagai medium pembelajaran. Bekal inilah yang dapat digunakan untuk mengubah kondisi sosial masyarakat tertindas, yaitu Freire menggagas gerakan “penyadaran” (William A. Smith : 2001 : xvii). Sebagai usaha membebaskan manusia dari keterbelakangan, kebodohan atau kebudayaan bisu yang selalu menakutkan.

Dalam hal ini Freire memetakan tipologi kesadaran manusia dalam empat kategori; Pertama, Magic Conscousness, Kedua Naival Consciousness; Ketiga Critical Consciousness dan Keempat, atau yang paling puncak adalah Transformation Consciousness.
  1. Kesadaran Magis merupakan jenis kesadaran paling determinis. Seorang manusia tidak mampu memahami realitas sekaligus dirinya sendiri. Bahkan dalam menghadapi kehidupan sehari-harinya ia lebih percaya pada kekuatan taqdir yang telah menentukan. Bahwa ia harus hidup miskin, bodoh, terbelakang dan sebagainya adalah suatu “suratan taqdir” yang tidak bisa diganggu gugat.
  2. Kesadaran Naif adalah jenis kesadaran yang sedikit berada di atas tingkatan-nya dibanding dengan sebelumnya. Kesadaran naif dalam diri manusia baru sebatas mengerti namun kurang bisa menganalisa persoalan-persoalan sosial yang berkaitan dengan unsur-unsur yang mendukung suatu problem sosial. Ia baru sekedar mengerti bahwa dirinya itu tertindas, terbelakang dan itu tidak lazim. Hanya saja kurang mampu untuk memetakan secara sistematis persoalan-persoalan yang mendukung suatu problem sosial itu. Apalagi untuk mengajukan suatu tawaran solusi dari problem sosial.
  3. Kesadaran Kritis adalah jenis paling ideal di antara jenis kesadaran sebelumnya. Kesadaran kritis bersifat analitis sekaligus praksis. Seseorang itu mampu memahami persoalan sosial mulai dari pemetaan masalah, identifikasi serta mampu menentukan unsur-unsur yang mempengaruhinya. Disamping itu ia mampu menawarkan solusi-solusi alternatif dari suatu problem sosial.
  4. Kesadaran Transformative adalah puncak dari kesadaran kritis. Dalam istilah lain kesadaran ini adalah “kesadarannya kesadaran” (the conscie of the consciousness). Orang makin praksis dalam merumuskan suatu persoalan. Antara ide, perkataan dan tindakan serta progresifitas dalam posisi seimbang. Kesadaran transformative akan menjadikan manusia itu betul-betul dalam derajat sebagai manusia yang sempurna.
Setelah melewati proses penyadaran, pendidikan di HMI yang berbekal dari proses ideologisasi akan mampu membebaskan manusia dari belenggu hidup. Dalam proses akhir ini, pendidikan akan membebaskan kader sebagai manusia sekaligus mengembalikan pada potensi-potensi fitri. Arti “kebebasan” (liberation) adalah pembebasan manusia dari belenggu-belenggu penindasan yang menghambat kehidupan secara lazim. Disinilah peran pengader ditekankan demi mengungkap kesadaran kader dan melahirkan sikap kritis yang merupakan manifestasi dari sikap seseorang yang mampu memahami kondisi sosial serta dirinya dalam pergumulan secara langsung dengan manusia lain.

08 Desember 2009

ToR SC 81

Term of Reference Senior Course 81
Himpunan Mahasiswa Islam
Cabang Yogyakarta


TEMA : Syahadah Pengader Untuk Konsistensi dan Kesucian Perjuangan HMI

LANDASAN PEMIKIRAN

Dan demikian pula kami telah menjadikan kamu (umat islam)”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya, melainkan agar kami mengetahui siapa yang mengikui rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh (pemindahan kiblat) itu sangat berat kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah maha pengasih, maha penyayang kepada manusia
(Al Baqoroh : 143)

Tela’ah Syahadah

Dalam agama Islam syahadah bernilai agung. Syahadah merupakan syarat dan tonggak bagi manusia yang mengikrarkan dirinya untuk berserah kepada Allah sang penguasa alam semesta. Dimana hal itu dibuktikan dengan kesungguhan pengakuan dan pengucapan dua kalimat syahadat (syahadatain) “aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”. Sebagai konsekuensinya, maka saksi atau kesaksian ini bukanlah tindakan pasif imajinatif. Saksi atau kesaksian ini merupakan tindakan aktif, rasional intuitif manusia sehingga mempunyai ruang dan waktu pertanggung jawaban dua dimensi tak terpisahkan. Yaitu dimensi teosentris (hablun minallah) dan dimensi antroposentris serta kosmosentris (hablun minal makhluk). Dalam dimensi yang pertama manusia secara individu akan mempertanggungjawabkan seluruh kesaksianya langsung – sebagai sebuah pertanggung jawaban final- di hadapan Allah SWT (Mahkamah Ilahiyah) . Sedang yang kedua manusia tidak saja sebagai individu atau subjek yang berfikir dan merasa (ter-sadar-kan) namun ia juga bermakna kolektivitas, keterkaitan-antar-manusia lainya, yang mempertanggungjawabkan seluruh kesaksianya dalam ruang dan waktu kesejarahan (Mahkamah Sejarah).

Dengan demikian syahadah yang berpangkal pada tauhid mempunyai kekuatan membentuk struktur yang paling dalam barupa akidah, ibadah, syariah, mu’amalah dan akhlaq. Hal ini senada dengan arti integratif syahadah – yang merupakan teks pragmatik dari keimanan – yaitu diyakini dengan hati, diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan (amal).

Sejarah pun mencatat syahadah para manusia terpilih dalam setiap gerak peradaban. Manusia-manusia itu dengan sungguh teguh mentransformasikan nilai yang diyakininya ke dalam ruang (ke)sejarah(an). Tentu (ke)sejarah(an) di sini tidak bermakna sebatas ruang ingat - cerita yang heroik maupun romantik bahkan melodramatik. Sesungguhnya ia merupakan ruang-tindak aktif manusia yang tersadarkan akan sebuah pertanggungjawaban nilai, yang senantiasa “ada” dalam peredaran waktu.

Peradaban Islam menjadi bukti nyata syahadah tersebut. Rasul mulia mencontohkanya dengan sempurna sebagaimana yang diikuti oleh para penerusnya. Perjuangan yang ditegakan merupakan syahadah mereka terhadap apa yang diyakini dan miliki. Mereka sepenuhnya sadar bahwa nilai –yang terintegrasi dalam system tauhid serta nilai turunanya itu harus di perjuangkan, dinyatakan dalam keduniawian sehingga menjadi titik beranjak dalam setiap tindakan manusia betapapun berat, rintang membentang, penuh pengorbanan harta, raga dan jiwa. Mereka pun sadar apa yang diperjuangakanya bukan untuk diri mereka semata namun juga untuk umat manusia setelahnya, yang melampaui zamanya. Ketika intimidasi terhadapnya semakin gencar, untuk meninggalkan keyakinanya yang dianggap gharib (asing) dan akan mengancam stabilitas ekonomi politik Arab jahiliyah, Nabi Muhammad berujar “Demi Allah, seandainya mereka letakan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku sekalipun, tidak akan pernah kutinggalkan keyakinan ini.” Sebelum tragedi karbala imam Husein putra Ali bin Abi Thalib menyatakan, “yang kucari bukanlah kemenangan semata, tetapi untuk membuktikan pada sejarah bahwa penerus Muhammad masih sanggup memekikan kebenaran”. Itulah syahadah yang telah jadi laku dan diajarkan, untuk dihayati serta diteladani. Bahwa syahadah akan berakhir dengan indah yaitu syahid.

Syahadah pengader dan Perjuangan HMI
Pengader adalah guru di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia menjadi tiang utama penyangga perkaderan dan perjuangan di HMI, organisasi yang telah mentasbihkan dirinya sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan. Karenanya Ia pun menjadi refrensi atau rujukan bagi seluruh kader. Referensi atau rujukan tersebut bukan hanya dipandang dalam aspek intelektualitas namun juga perpaduan utuh dari potensi dasar yang dimiliki setiap manusia yaitu, intelekual, emosional dan spiritual. Sehingga pengader mengemban tugas dan tanggung jawab besar yang harus dijalaninya atas dasar laku kesadaran dan keamanahan.

Tugas dan tanggung jawab pengader lahir dari fitrahnya yang terdiri dari pendidik, pemimpin dan pejuang. Trilogi ini menuntut adanya tindak rasional pengader sebagai proses objektifikasi nilai yang diyakininya. Nilai tersebut berasal dari khitoh perjuangan yang merupakan tafsir integral HMI terhadap Islam. Nilai-nilai yang telah di kritisi, dengan pembacaan dekonstruksi dan rekonstruksi harus mampu diendapkanya dalam diri lalu dimaknai dan diejawantahkan. Di sini pengader menemukan konteks syahadahnya yaitu pergumulanya dalam setiap ruang makna dan aksi yang ada di HMI. dengan demikian, dia tidak hanya sekedar meyakini nilai-nilai tersebut, tetapi dia juga melakukan transformasi nilai-nilai itu sekaligus siap untuk menjadi martyr dalam perjuangannya.

Syahadah pengader patut disertai dengan keyakinan tulus nan teguh, kerangka keilmuan yang holistik dan saja’ah yang kukuh mengingat medan perjuangan HMI tidaklah mudah, penuh tantangan dan hambatan. Perjuangan HMI merupakan perjuangan yang mempunyai nilai etis idealis berlandaskan pada kesucian Islam. Hal itu sebagaimana termaktub dalam frase tujuan HMI “terbinanya mahasiswa Islam menjadi insan ulul albab yang turut bertanggung jawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhai Allah SWT”, dan semua argument normatifnya yang berlandaskan pada Al-Quran dan as Sunah. Yang demikian merupakan cita-cita luhur dan mengandung makna yang sangat mendalam di mana setiap kader HMI diteguhkan kembali pemaknaan keimanannya melalui proses penyadaran terhadap makna ulil albab sebagai bentuk dari manusia pilihan yang mulia di sisi Allah SWT. Adapun kualifikasi dari karakter itu adalah: pertama, Mu’abid, insan yang tekun beribadah (mahdhah/ghoiru mahdhah). Kedua, sebagai sosok Mujahid, yang memiliki semangat juang yang tinggi da totalitas di dalamnya. Ketiga, Mujtahid, sosok yang senantiasa mereflesikan secara mendalam permasalahan keumatan dan kemanusian, sehingga segala tindakannya didasarkan pada pilihan sadar dan pertimbangan pemikiran yang benar. Dan keempat, menjadi sosok Mujaddid, yaitu sosok yang mampu memberikan pembaharuan-pembaharuan di setiap segi kehidupan, sehingga mampu melakukan dinamisasi di lingkungannya. Dari sini diharapkan bahwa organisasi ini memiliki kemampuan dalam melakukan perubahan menuju kehidupan yang lebih baik.

Setiap gerak juang HMI tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai luhur yang selama ini diyakininya. Namun tentu di sana, sebagaimana yang terjadi dalam siklus peradaban atau gerak perubahan, selalu saja ada anomali, adanya pergeseran nilai entah dengan sengaja ataupun tidak. Entah karena apatis atau pun sinis. Inkonsistensi akhirnya tumbuh dengan sejumput alasan apologetiknya tuntutan zaman. Sucinya perjuangan pun ternodai oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab dengan alasan semunya, perlu kontekstualisasi yang sesungguhnya di balik itu semua ada tendensi dan intrik, menjadi ironi tersendiri. Hal ini perlu dibenahi, dikembalikan pada khitohnya lalu memaknai kembali sesungguhnya perjuangan HMI. Maka pada tahapan ilmu tak tertulisnya, perjuangan HMI tidak saja transformasi sosial tapi lebih dari itu mampu mentransendensikanya sekaligus. Membawa bumi kembali ke langit, mampu memfanakan yang abadi sekaligus mampu mengabadikan yang fana, membebabaskanya dari segala kungkungan keduniawian yang reduksionis, eksploitatif dan alienatif.

Syahadah pengader kemudian menjadi satu motivasi dalam menjalani jalan perjuangan yang telah dipilih, jalan yang tak pernah kosong dari berbagai macam konsekuensi perjuangannya. Konsistensi harus tertanam kuat dalam setiap jiwa untuk menjaga perjuangan tidak melenceng dari jalanya. Ketika hal ini alpa, terkubur oleh berbagai kepentingan sesaat maka organisasi ini sedang menggali pekuburanya sendiri. jika di dalam jiwa mereka konsistensi sebagai sebuah kesaksian telah tertanam, sebuah tekad teguh tumbuh mengkristal bahwa jalan dan tujuan yang suci ini akan tetap ada dan akan terwujud bersama individu-individu yang konsisten serta komitmen pada perjuangan yang dilandaskan pada nilai-nilai syahadah.

Syahadah pengader inilah yang akan menjaga konsistensi dan kesucian perjuangan HMI. Menjaga HMI agar tetap berjalan pada khitohnya yang sarat dengan nilai-nlai ilahiah yang suci. Tidak mudah tergerus arus deras moderenitas yang bernalar partikularitas. Juga tidak tergiur dengan gerakan politik berhaluan pragmatis dan menjaga jiwa dari gila huru hara budaya massa. Yang menjadikan HMI –dalam sejarahnya- tegas menolak tunduk di hadapan tiran, melawan setiap kedzaliman.

Yakinlah HMI akan hidup bertahun-tahun lamanya, memberikan sumbangsih peradaban bagi umat dan makhluk semesta alam (sedulur papat limo pancer) ketika pengader bersyahadah atas fitrahnya, sebagai pendidik, pemimpin dan pejuang. Dan senior course ke 81 merupakan gerbang awal syahadah tersebut.

SYARAT-SYARAT MENGIKUTI SC
Lulus LK II, wajib dibuktikan dengan sertifikat
Membuat makalah sesuai tema : F4, margin all 3, arial, 11 pt, spasi 1,5.*
Membuat outline khittah perjuangan (berbentuk pointer, bukan resume)*
Hafalan Surat Ad Dhuha – An Nas + surat Al A’la, Al Ghasiyah dan As Shof
Mengikuti semua tes seleksi

*: Makalah dan outline KP dikumpul sebelum tes seleksi, maksimal tanggal 14 desember 2009

MEKANISME PENDAFTARAN
Pendaftaran maksimal tanggal 14 Desember 2009 pukul 00.00 wib, dapat melalui SMS : ketik REG (spasi) NAMA (spasi) KOMISARIAT. Kirim ke 085228065304 an. Awaluddin atau 0274 9277100

PELAKSANAAN
SC dilaksanakan pada hari Jum’at sampai Selasa, tanggal 20-25 Desember 2009. Bertempat di Yogyakarta.

KONTRIBUSI
Biaya Pelatihan Senior Course sebesar 65.000,00 dan pendaftaran sebesar 5000,00

TES SELEKSI
Jadwal tes seleksi sc ditentukan sebagai berikut :
Hari Rabu, 16 Desember 2009 pukul 19.30 – 24.00 :
Tes Pos I (Keislaman), Pos II (Ke HMI an), Pos III (Makalah)

Hari Kamis, 17 Desember 2009 Pukul 19.30-24.00 :
Tes Pos IV (Micro teaching). Semua calon peserta.

Catatan.
Ketentuan berlaku bagi semua Cabang
Pendaftaran setelah tgl 24, tidak diterima dan Bila tes diluar jadwal, tidak dilayani
Kehadiran tes masuk penilaian.