SELAMAT DATANG DI CYBER MEDIA KP HMI CABANG YOGYAKARTA

05 Agustus 2008

Ilmu dalam Perspektif Integralisme

Oleh: M. Habibi

Pembicaraan tentang ilmu, dalam kajian filsafat sering disebut sebagai kajian epistemologi, yaitu bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Epistemologi seseorang tidak bisa lepas dari pandangan dia tentang ontologi. Dengan demikian, epistemologi di sini tentu tidak bisa lepas dari pandangan tentang kesatuan wujud sebagaimana dijelaskan di atas. namun sebelum berbicara tentang integrasi ilmu, akan dibicarakan terlebih dahulu tentang perspektif yang kita gunakan, yaitu integralisme.


Asal Mula Integralisme
Pada tahun 1970-an para pemuda Amerika berbondong-bondong memasuki daerah-daerah pedalaman. Hal ini terjadi karena krisis eksistensi diri yang disebabkan oleh serangan gaya hidup modern. Mereka meninggalkan kehidupan mewah mereka dan bergabung dengan suku-suku pedalaman. Mereka tinggal di pedalaman bersama komune-komune pedalaman tersebut.

Sekilas memang terasa aneh, karena secara ekonomi mereka telah menempati pada posisi yang mapan, tidak kekurangn harta benda yang bisa menjamin kelangsungan hidup mereka. Namun orang akan mengerti dan memahami fenomena tersebut setelah mengetahui apa sebenarnya yang mereka inginkan.

Kehidupan modern yang terlalu mengunggulkan akal dan menjadikannya raja membuat pemuda-pemuda ini terasa kering dan terasing, bahakan dengan diri mereka sendiri. Mereka melihat ada satu bagain kehidupan ini yang hilang, sehingga kehidupan mereka terasa parsial. Dan sesuatu yang hilang tersebut mereka temukan di masyarakat pedalaman, masyrakat tradisional. Yang mereka cari adalah spiriualitas yang membawa kesejukan dalam kehidupan mereka. Spiritualitas inilah yang hilang dalam kehidupan Barat modern, diakibtakan oleh pandangan saintifik positifistik.

Setelah bermukim beberapa lama di pedalaman bersama suku-suku Indian tersebut, para pemuda ini ternyata tidak hanya sekedar menemukan spiritualitas, dimensi yang hilang dalam kehidupan Barat modern, tetapi dengan spiritualitas ini pula mereka justru menemukan suatu pandangan yang lebih menyeluruh terhadap realitas. Di sini mereka mendapatkan kesadaran akan kemenyeluruhan atau sering disebut holon yang kemudian dikenal dengan holisme. Mereka kemudian membuat gerakan yang mereka sebut gerakan pasca-modernisasi. Berbeda dengan gerakan mereka sebelumnya yang meninggalkan modernitas dan masuk ke pedalaman, gerakan mereka kali ini justru mensintesakan yang tradisional dengan yang modern.

Secara aksiologi, holisme dibangun oleh para pecinta lingkungn. Secara epistemologis dibangun oleh para psikolog yang memasukan pengalaman mistik sebagai salah satu cara memperoleh pengetahuan. Sementara pada ranah ontologi dibangun oleh fisikawan Fritjof Capra yang mengatakan bahwa ada kesejajaran antara partikel material dengan kesadarn mistis Timur.

Setelah mengamati pandangan holisme tersebut, Armahedi Mahzar, seorang iteknosof dan pengajar di ITB, menyimpulkan bahwa sebenarnya umat Islam tidak perlu untuk meninggalkan dunia mereka dan beralih mencari dunia lain di pedalaman sebagaimana yang telah dilakukan oleh pemuda-pemuda Barat, karena Islam sendiri telah memiliki konsep kesatupaduan. Konsepsi kesatupaduan dalam Islam telah banyak ditafsirkan oleh pemikir di kalangan muslim sendiri, seperti Ibn Arabi dan Mulla Shadra. Namun sebagai filsafat tradisional Islam, kedua filsafat tersebut dan filsafat Islam tradisional lainnya tidak cukup untuk menampung perkembangan keilmuan saat ini. Dari sinilah kemudian lahir filsafat integralisme atau al-himah al-wahdatiyah.

Integralisme adalah filsafat yang konsep sentralnya adalah integralitas, yaitu keseluruhan bagian-bagian yang bersatu padu berdasarkan suatu struktur tertentu. Dengan kata lain, integralisme merupkan wawasan kemenyeluruhan dalam memandang segala sesuatu: baik sain dan teknologi dan seni, maupun budaya dan agama. Integralisme melihat semua itu sebagai satu kesatupaduan yang tak bisa dipecah ataupun dipisahkan dari kesepaduan realitas.

Berbeda dengan integrasi pada pandangan holisme, integralisme menyarankan dua integrasi yang internal dan yang eksternal. Integrasi internal adalah upaya menyelarasikan tubuh kita dengan ruh kita melalui rantai instink, inteligensi dan intuisi. Sedangkan integrasi eksternal adalah menghubungkan diri kita dengan Tuhan melalui lingkungan hidup, alam semesta dan alam gaib.

Dari sini nampak jelas bahwa basis keilmuan Armahedi serta pandangan dia tentang kesatupaduan menempatkan dia pada sayap kanan dalam pemikiran kaum posmodernisme. Istilah integralisme sendiri sebenarnya telah dipakai oleh Sri Aurobindo (1872-1950), yang terkenal dengan integral yoganya. Selain itu, istilah ini juga dipakai oleh Ken Wilber, seorang filosof yang menggabungkkan antara sains modern dan spiritualitas tradisional, sehingga Armahedi sering menyebut filsafatnya sebagai Integralisme Islam. Dikatakatan integralisme Islam karena Armahedi menambahkan deminsi-dimensi keislaman pada integralisme universal Wilber.

Armahedi juga menyebut filsafatnya sebagai pos-strukturalisme timur. Menurutnya ada dua alasan mengapa integralsime disebut sebagai Pos-struktrukturalisme Timur ,

karena lahirnya di Indonesia yang di Asia yang menurut orang Barat ada di Timur. Saya sebut pos-strukturalisme karena integralisme memang bermula dari strukturalisme yang diterapkan untuk filsafat Eropa, bukan mitologi Indian seperti yang diterapkan oleh Levi-Strauss, lalu dilampaui dalam suatu filsafat Integralisme. … Alasan kedua: integralisme universal yang dikembangkan Ken Wilber, sebagai posmodernisme konstruktif melampaui postrukturalisme, sebagian besar berdasarkan filsafat India: Budhisme dan Vedantisme.

Dengan demikian, kemunculan filsafat integralisme ini merupakan kelanjutan sekaligus sintesis dari filsafat tradisional Islam dan filsfat Barat moder.

Integrasi Ilmu
Pembicaraan tentang ilmu, dalam kajian filsafat sering disebut sebagai kajian epistemologi, yaitu bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Epistemologi seseorang tidak bisa lepas dari pandangan dia tentang ontologi. Dengan demikian, epistemologi di sini tentu tidak bisa lepas dari pandangan tentang kesatuan wujud sebagaimana dijelaskan di atas. Konsepsi wujud yang mengakomodir dunia metafisik di atas menjadi pondasi bagi terbangunnya sebuah epistemologi, karena sebagai muslim yang mempunyai kepercayaan penuh pada dunia metafisik, maka seorang ilmuwan muslim harus menyusun atau memiliki sebuah epistemologi yang cocok dengan kepercayaan yang dianutnya.

Berbicara tentang ilmu, maka ada beberapa hal yang harus dibahas, yaitu sumber, objek, struktur dan konteks ilmu. Keempat hal ini akan menjadi satu kesatuan yang utuh.

1. Sumber Ilmu
Sebagai seorang muslim, Armahedi meyakini bahwa dalam Islam sumber semua ilmu adalah satu, yaitu Allah SWT. Yang Maha Esa, Kepercayaan seorang muslim akan Allah sebagai Tuhan Yang maha Esa mempunyai implikasi yang sangat luas. Keyakian yang menandaskan akan ke-esa-an Tuhan dalam Islam disebut dengan tauhid.

Menurut Musa Asy’arie, tauhid yang seakar dengan angka satu, wahidah, tidak merujuk pada pada makna angka satu saja, tetapi lebih dari itu, juga berkaitan dengan problem subtansial tunggal dan proses. Subtansi tunggal artinya dia tidak terbagi-bagi. Ia menjadi sumber realitas yang ada. Lebih jauh lagi dia mengatakan bahwa tauhid ini bukanlah satu kepercayaan yang dinyatakan dalam pengakuan saja, akan tetapi merupakan suatu pandangan hidup yang selalu diwujudkan dalam realitas kehidupan muslim.

Allah sebagai sumber segala ilmu dapat dilihat dari bagaimana Allah mengenalkan diri-Nya sebagai `Aliim atau Yang Maha Mengetahui, bahkan Allah sendiri adalah ilmu itu sendiri.

2. Objek dan Praksis Ilmu
Dalam melihat objek ilmu, Armahedi melakukan pengamatan terhadap ayat-ayat Al-Quran. Menururtnya, meski Al-Quran menyebut ilmu dalam kontek yang berda, namun objeknya dijelaskan secara gamblang, yaitu “al-Quran” dan “al-Bayan”. Hal ini terdapat dalam firman Allah SWT sebagai surat Ar-rahman 1-4:
Artinya: (Tuhan) yang Maha pemurah. Yang Telah mengajarkan Al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara. (QS. Ar-Rahman 1-4).


Al-Quran yang dimaksud oleh Armahedi bukan al-Quran sebagaimana artian firman Allah SWT yang telah terkodifikasikan, tetapi al-Quran dalam artian yang lebih luas yang merujuk pada makna asalnya, yaitu bacaan. Bacaan dalam arti lebih luas lagi adalah pengumpulan atanda-tanda atau “ayat”. Untuk memahami ayat ini dibutuhkan alat, yaitu bahasa atau al-bayan.

Terkait dengan “ayat”, Allah SWT menjelaskan dalam firman-Nya dalam surat Fushshilat :53. Artinya: Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?.

Dalam ayat Quran suci di atas jelas Allah SWT menegaskan bahw ayat-ayat itu adalah cakrawala (afaq) dan di dalam diri-diri (anfus) manusia. Selanjutnya ayat ini menjelaskan bahwa ayat-ayat tersebut diciptakan agar manusia memahami kebenaran (al-Haq) yaitu Yang Maha Pencipta, Allah SWT dan firman-Nya Al-Quran. Dengan demikian di sini ada tiga entitas yang berbeda yang merupakan obyek limu pengetahuan.

Pertama adalah al-afaq atau cakrawala. Hal ini berkaitan dengan objek material yang berada di eksternal diri manusia yaitu gejala-gejala alam. Menurut Mulyadhi Kartanegara, objek-objek material inilah yang memungkinkan munculnya ilmu-ilmu alam, seperti fisika, biologi dan kimia.

Kedua adalah anfus atau sesuatu yang berada dalam diri manusia. Pada bagian ini terkait dengan ilmu-ilmu kemanusia atau humaniora, seperti pskiologi, sosiologi dan antropologi. Ketiga adalah al-Haq atau Allah dan Al-Quran. Pada sisi ini akan melahirkan ilmu-ilmu keagamaan seperti fiqih, teologi, dan tashawuf.

Pembagian objek ilmu Armahedi ini sama dengan pembagian yang dilakukan oleh Ibn Shina. Sebagaimana dikutip oleh Mulyadhi Kartanegara, Ibnu Shina membagi objek ilmu dalam tiga hal, yaitu entitas-entitas yang bergerak dan berkaitan dengan materi spesies partikular, entitas-entitas yang terpisah dari materi spesies partikular dalam pemahaman kognitif, tetapi tidak dalam dunia nyata, dan entitas-entitas yang terpisah dari gerak dan materi baik di dunia nyata maupun dalam pemahaman kognitif.

Sementara pada ranah praksis ilmu, Allah dalam firman-Nya menegaskan ada tiga macam alat manusia yang memungkinkan manusia memanusiakan dirinya melalui ilmunya; yaitu pendengaran, penglihatan, dan penghayatan. Hal ini tercermin dalam firman Allah dalam Al-Quran surat as-Sajadah : 9 yang artinya: “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.”

Dari sini dapat dilihat potensi-potensi manusia yang merupakan alat untuk memeperoleh pengetahuan. Pertama: as-sama` atau pendengaran yang berarti terkait dengan kemampuan verbal. Sementara kemampuan verbal sendiri sangat erat hubungannya dengan kemampuan rasional. Dengan demikian as-sama’ juga berarti kemampuan manusia untuk berfikir rasional. Bahasa lain yang digunakan untuk kata ini adalah al-‘aql atau akal.

Kedua: al-bashar atau penglihatan. Hal ini terkait dengan fungsi mata, yang berarti pengamatan terhadap entitas material. Sementara ketiga: al-fuad atau hati, merupakan kemampuan manusia mengetahui sesutu yang inmaterial. Ada kemungkinan bahwa ilmul yaqin sebenarnya puncak dari pemahaman verbal, ‘ainul uaqin sebenarnya puncak dari pemahaman visual dan haqqul yaqin sebagai puncak dari pemahaman aktual atau penghayatan ilmu.
Jika dirangkum menjadi satu maka dapat dilihat seperti ini. Objek ilmu pertama adalah afaq atau cakrawala yang berarti gejala-gejala alam. Hal ini bersesuain dengan al-bashara (penglihatan). Dengan demikian alat untuk mencerap pengetahuan tentang gejala-gejala alam adalah al-abshara, Karena objek pertama ini adalah alam, maka kebenarannya adalah kebenaran yang berkaitan dengan hal-hal fisik dan material semata, sebuah kebenaran yang dapat dipahami dan dikuasai dengan menggunakan metode empiris.

Objek kedua ilmu penegtahuan adalah anfus yang berkaitan ilmu-ilmu humaniora. Hal ini bersesuaian dengan al-sama’ atau kemampuan verbal yang juga berkait dengan kemampuan rasional. Maka sama’ ini merupakan alat unutk memahami keilmuan humaniora. Dan metode yang digunakan adalah rasional demonstratif.

Sementara objek ilmu yang ketiga adalah al-haq. Untuk memahami yang al-Haq tadi adalah dengan hati atau fuad, karena di sanalah ruh ilahiah berada. Metode yang digunakan adalah metode intuitif, atau dzauqiyah. Metode ini sering berkaitan dengan pengalaman mistik seseorang. Metode ini dilakukan dengan jalan perenungan atau kontemplasi secara intens mendalam. Dengan kontemplasi jiwa mansia makin dibersihkan dan berhasil naik ke sumber kenyataan, dengan semuanya diemanasikan dari-Nya.

3. Struktur dan Konteks Ilmu
Struktur ilmu dalam Islam dapat diketahui dalam firman Allah SWT QS. An-Nisa 113 yang artinya: “… Allah Telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan Telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.

Berdasarkan ayat ini jelas terdapat hirarki al-Kitab, al-Hikmah dan al-‘Ilmu yang merupakan kesatupaduan atau integralitas ilmu. Jadi dalam Islam ilmu mempunyai landasan al-Hikmah, sedangkan al-Hikmat harus berlandasakan al-Kitab sebagai kumpulan wahyu sabda Ilahi pada para rasul-rasul-Nya.

Ilmu yang dimaksud oleh Armahedi dalam konteks ini adalah sains, sehingga sains harus berlandaskan pada al-Hikmat atau paradigma keilmuan, dan al-hikmah harus berlandaskan pada nilai-nilai Al-Quran.

Pada konteks keilmuan Barat saat ini, Armahedi melihat ada suatu dikotomi yang kemudian berujung pada prinsip ilmu bebas nilai. Hal ini menurutnya bertentangan dengan paradigma kelimuan dalam Islam. Karena dalam Islam terdapat kesatupaduan ilmu, etika dan agama. Dalam hal ini Armahedi merujuk pada QS. Luqman : 20. “Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.

Urutan Penyebutan al-‘ilmu, al-huda dan al-kitab menyarankan adanya hirarki ilmu – etika - religi. Dengan demikian tidak ada penggunaan iilmu yang menyimpang dari etika dan agama, karena semua itu sesengguhnya adalah sebagai upaya untuk mensyukuri nikmat Allah SWT.

Dengan menggunakan metode analisis strukturalisme Levi Strauss, Armahedi mencoba untuk melihat paradigma keilmuan modern. Di sini Armahedi menemukan struktur-struk keimuan modern. Struktur pertama terdiri dari ilmu pengetahuan-seni-teknologi. Dan yang kedua adalah filsafat-misti-etik. Mistik menjadi fondasi bagi seni. Filsafat menjadi fondasi bagi ilmu pengetahuan, sementara teknologi harus berlandaskan pada etika.

Setelah menelusuri paradigma keilmuan barat tersebut, Armahedi melihat masih adanya perpisahan antara kelimuan tersebut, bahkan kadang sering bertentangan satu sama lainnya. Terlebih lagi paradigma tersebut masih bersifat skular. Untuk itu dia malakaukan penelusuran dalam paradigma keilmuan Islam dan menemukan struktur tauhid-tasawuf-fiqih. Karena Islam menekankan keseimbangan antara yang lahir dan batin, individu dan kolektif, maka struktur ini menjadi penengah antar ilmu pengetahuan-seni-teknologi dan filsafat-mistik-etika. Ketiga struktur ini harus menjadi satu kesatuan yang utuh dan seimbang.

Kaki Ilmu pengetahuan-tauhid-filsafat menyangkut pikiran-pikiran manusia. Seni-tasawuf-mistik berkaitan dengan perasaan. Sementara tekonologi-fiqh-etika berkaitan dengan tingkah laku manusia. Jika diperhatikan dengan seksama, kaki struktur di atas menyangkut fungsi-fungsi “kognitif”, “afektif” dan “konatif” (psikomotorik-penulis) dari kesadaran manusia. Atau dalam bahasa lain fikr, dzikr dan ‘amal.

Dalam pandangan integralisme, realitas pastilah mempanyai kelima struktur wujud sebagaimana dijelaskan di atas, yaitu sumber, nilai, informasi, energi dan materi. Begitu juga dengan ilmu yang juga mempunyai ontologinya sendiri. Ilmu juga harus mempunyai kelimanya. Dengan demikian akan didapatkan satu struktur keilmuan Islam sebagai berikut:


Struktur Keilmuan Islam

Kategori Integral Disiplin Keilmuan
Sumber Ilmu-ilmu Al-Quran
Nilai Ilmu-ilmu keagamaan
Informasi Ilmu-ilmu kebudayaan
Energi Ilmu-ilmu terapan
Materi Ilmu-ilmu kealaman

Dengan demikian Al-Quran menjadi sumber dan ruh bagi keilmuan-keilmuan yang lainnya. Dia menjadi sumber karena dalam Al-Quran terdapat prinsip-prinsip keilmuan sosial, budaya, alam dan terapan yang akan bermanfaat dalam kehidupan manusia

04 Agustus 2008

Menyegarkan Kembali Keyakinan Muslim

Oleh: Zubaer At

Keyakinan adalah pengikat esensi manusia dengan Tuhan. Yang disebut Pengikat adalah sesuatu yang lebih kuat dari rasa lapar, rasa sakit, keinginan, rasa marah, rasa sedih, rasa prihatin, rasa frustasi dan apapun. Agar teruji sejauh mana keyakinan atau kepercayaan kepada sesuatu yang Maha dari lainnya.

Sebagai contoh tradisi jepang, ketika seseorang membuat kesalahan yang berakibat menyakiti orang lain apalagi bangsanya, maka orang tersebut dituntut secara tradisi dan kepercayaan untuk bunuh diri, sebagai penebusan dosa mesti tidak sebanding dengan kesalahan.tapi bunuh diri dalam konsep tradisi jepang adalah suatu kepercayaan Adiluhung yang harus dipertahankan untuk menjaga keimbangan kosmologi.

Berbeda dengan orang Islam, seorang muslim ketika meyakini betul akan keber-Islam-an, maka dia harus rela dan ikhlas melepaskan jasadnya untuk meluhurkan batinnya agar diberikan kepada sang pencipta. karena segala sesuatu yang berikan kepada manusia dari Tuhannya merupakan fasilitas dan sarana untuk beribadah,tidak kurang dan tidak lebih, ketika ada peluang berkorban, maka seorang muslim haruslah Fastabikul khoirot dalam menyambutnya. hal ini dalam Islam merupakan hadiah diatas hadiah yakni bertemu dengan wajah pengikat Awal-akhir sewaktu berikrar setia dimana saat masih berupa janin yang suci.

Wajar, ketika Umat Islam mengajarkan rukun Islam, pertama adalah syahadatain; ashadu alla ilaha illallah, waanna Muhammad Rasulullah yang mempunyai dua makna pokok, pertama, bahwa manusia bersaksi, berjanji dan bersumpah tidak ada apapun yang dapat menjadi tuhan selain Allah. Syahadah pertama ini sebagai pengikat seseorang dengan sesuatu yang abtrak atau ghaib, maka ketahuilah bahwa yang ghaib tidak bisa didekati dengan sesuatu yang material,maka haruslah didekati dengan keghaiban yang kita miliki, hal ini sering disebut dengan mistisisme atau spiritualitas.

Kedua, mempunyai makna lebih kongkrit dari yang pertama yakni Muhammad yang berbentuk manusia sebagaimana kita harus kita percayai sebagai pembawa risalah Allah di bumi, sehingga manusia tidak ada alasan lagi untuk menolak ataupun tidak melaksanakan perintah/ajaran yang diajarkan beliau sebagai hukum atau norma agar keseimbangan manusia dengan alam, manusia dengan sesamanya dan Tuhannya dapat terwujud.sebaliknya, ketika manusia melanggar maka kehancuran dan bencana akan terjadi dimana-mana. percayalah dari pernyataan diatas menyatakan bahwa apapun yang terjadi dalam diri manusia dhahir dan batin, internal ataupun eksternal adalah perbuatan manusia itu sendiri.

Kembali lagi kepada keyakinan, manusia akhir-akhir ini secara fenomenologis telah banyak meninggalkan atau melanggar janji-janji kepada sang pengikat, wajar jika manusia semakin hari semakin tidak menunjukkan kediriannya, tapi sebaliknya menunjukkan wajah garang seperti segala sesuatu dihadapannya adalah makanan.tanpa aturan.tanpa memperdulikan satu sama lain.

Sebagai muslim yang baik, untuk mengetahui lebih dalam tentang keyakinan maka yang harus dilaksanakan adalah memahami secara konseptual-akliyah tentang kesadaran keber-tuhanan. Kesadaran ini akan dapat dimengerti seseorang ketika dia mau dan sungguh-sungguh mempelajari sejarah-sejarah konsepsi akan kebertuhanan bukan tuhan.sebagaimana karen amstrong dalam buku-bukunya,mesti non-muslim, dia sangat bagus memberikan eksplorasi akan kebertuhanan berbagai agama walau secara pengalaman mistis keberislaman tidak banyak ditampilkan. Kita tahu, bahwa mistis adalah inti ajaran,salah satu contohnya adalah manunggal.
Nah, ketika telah mengerti tentang kesadaran kebertuhanan, seseorang harus dapat mempelajari atau menjelaskan akan pengaruh dan perkembangan kebertuhan tadi dalam mempengaruhi manusia yang berimplikasi kepada perubahan di masing-masing zaman. Hal ini penting, untuk mengetahui sejauhmana suatu konsepsi diterapkan dalam keseharian.dan juga sejauhmana memberikan kesadaran baru akan keberanekaragaman ekspresi keberagamaan manusia.kalau ini terjadi, maka tidak ada lagi klaim kebenaran satu ekspresi, yang ada adalah kesalingmengertian sehingga spiritualitas dapat dikembangkan dan diaplikasikan dalam keseharian.

Kalau kita masih ingat, bagaimana isu-isu islamisasi dikembangkan, bagaimana pengilmuan Islam ditunjukkan, bagaimana liberalisasi hidup dan bagaimana reaksi masyarakat muslim tentang hal-hal tersebut diatas. Nyata, aneh atau menggembirakan,hanya orang yang mempunyai kesadaran keagamaanlah yang akan tertawa dan berkata "alhamdulillah", sambil mengatakan dalam hati dengan mengutip hadis nabi;"baik-baik seorang muslim bukan orang yang dekat dengan aku (nabi) sekarang,bukan orang soleh sekarang, tapi seorang muslim yang hidup diakhir zaman dan jauh dari saya tapi tetap konsisten menjalankan sunnah-sunnahku secara keseluruan".

Jika, isu-isu, konsepsi dan perkembangan keberislaman telah ditangkap menjadi kesadaran keseharian, maka waktunyalah seorang muslim yang berkaitan dengan keyakinan dapat mengeksplorasi pengalaman-pengalaman religiusitasnya serta mengpresiasikan dengan muslim yang lain, agar dari pengalaman tersebut dapat membuahkan hikmah-hikmah yang dapat mengembangkan religiusitas yang lainnya. kadang memang pengalaman lebih penting daripada konsepsi pengetahuan.apalagi yang terkait dengan rasa.

Sampai ke Rasa inilah, seorang muslim menguji keyakinannya.apakah betul-betul menyakini akan Tuhannya hanya sekedar ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan yang omong-kosong,hampa dan tidak bermakna atau mutiara. Buktinya kongkritnya sederhana, yakni apakah seseorang tersebut istiqomah, konsisten dan berpegangteguh terhadap keyakinan tersebut dengan amal soleh atau apa!.artinya, orang tersebut selalu dan dimanapun melakukan tindakan-tindakan yang tidak mementingkan diri sendiri atau serakah apalagi sampai-sampai tidak mau berbagi dengan yang lain, dengan kesadaran bahwa alam semesta terbatas sedang kita hidup bersama maka berbagi adalah keniscayaan.

Rasa dalam keyakinan bukanlah selera yang dapat seenak perut kita memilih dan mencicipi, tapi rasa dalam keyakinan muslim adalah kedekatan atau kemelekatan selalu dengan tuhannya, tanpa mempedulikan apa yang Dia kasih atau wujud apa yang kita terima.kita hanyalah debu yang menempel dibebatuan lalu kena hujan, tak bermakna dihadapan tuhan.
Sampai sejauh inikah keyakinan kita diujikan!.

Rasa itupun tidaklah cukup untuk menjelaskan keluasan dan pentingnya suatu keyakinan, karena setelah rasa ada kerinduan yang mendalan akan inti kehakikatan wujud kemanusian, bukan meniadakan potensi atau unsur hawa setanian yang ada dalam diri manusia itu salah,tapi bagaimana seoarang selalu mengatakan "tidak" kepada melupakan Allah. Dan selalu ingin dan ingin bersama.

Satu tingkat lagi dari kehakikatan keyakinan adalah kema’rifatan yang didambakan. Kema’rifatan bukanlah pelajaran yang dapat dipelajari secara tekstual dalam buku-buku tapi lebih banyak berbentuk Riyadho atau latihan-latihan ketiadaan diri atau lebih tepatnya penyingkapan tirai-tirai keilahian yang ada dalam keinsanian.
Wallahu a’lam.

Bagaimana menjelaskan
Dari penjelasan diatas, saya ingin mengatakn bahwa materi keyakinan muslim yang harus disampaikan adalah pertama,makna dasar dari keyakinan dan implikasinya. Kedua,konsepsi-konsepsi kebertuhanan manusia dari masa-kemasa. Ketiga,sejauhnya pemahaman konsepsi kebertuhanan mempengaruhi zaman dan coraknya. Keempat,bagaimana kita memahami isu-isu atau fenomena keagamaan yang terjadi disini (Indonesia) dengan wilayah lain seperti timur tengah, malaysia dll.kelima, bagaianmana kita dapat menumbuhkan peserta untuk shering tentang pengalaman religiusitas agar dapat memetik hikmah-hikmah. Keenam, pemateri dapat menumbuhkan imajinasi-kereatif kepada peserta bagaimana para salik menempuh jalan menuju ilahi.

Adapaun metode menjelaskan harus sesuai dengan kemampuan pemateri dalam arti keilmuan yang ditekuni. tapi harus diingat jangan sampai satu corak pemikiran saja yang ditampilkan.contohnya, dalam menjelaskan pemikiran ada baiknya menggunakan filsafat sebagai media, menjelaskan pengalaman dengan tasawwuf, menjelaskan realitas dengan fakta-fakta sosial yang sedang berkembang, dan jangan lupa dengan dalil-dalil al-Qur’an seminimal mungkin dapat juga di tunjukkan.

Disampaikan pada Trainer of Trainer KPC HMI Cabang Jogjakarta pada tanggal 15 Maret 2008

Kita Di Hari Kemudian[1]

Iqbal Hafidz Hakim [2]

Maka tidak mengherankan bila fisikawan sekaliber Albert Enstein dalam puisi Spinoza Ethic[3] memberikan pujian bagi Spinoza. Tidak sebatas pujian, Enstein pun menjadi makmum baginya dalam hal keyakinanan pada yang satu. Yang tak terdefinisikan. Segala sesuatu bersumber dari yang satu, karenanya Dia ada bukan dari tiada, awal dan akhir. Sehingga bukan bualan enstein untuk selanjutnya terkait eksplorasi kosmos, baik mikro maupun makro mengatakan ‘ Tuhan tidak bermain dadu “.

Yang Satu itu disebut kawan Yang Agung oleh filosof eksistensialis William james. Kawan yang Agung menjadi mutlak keberadaannya bagi manusia sebagai kawan dalam mencipta (co creator). Menurutnya manusia tidak akan pernah hidup tentram sebelum ia berteman dengan Kawan yang Agung. Dengan memahami dan menjalani hal tersebut manusia tidak akan menglami kekosongan eksistensial (existential vacuum). Hidup ini tidak nihil, bukanlah sesuatu yang absurd. Hidup ini penuh makna.

Apa hidup itu ?
Dari mana hidup itu ? Inna Lillahi Wainna Ilaihi Rajiun
Untuk apa hidup ?

Ya, memahmai apalagi menginternalisasi nilai tersebut tidaklah mudah, karenanya berjuang dan berkorban adalah jawaban yang tersisa. Bahwa orientasi subtansial hidup kita dalam ruang perjuangan dan pengorbanan adalah yang satu dalam bahasa Spinoza atau kawan yang agung bagi James. Dengan begitu konsepsi kita mengenai hari kemudian tidak lah semata-mata konsepsi ruang dan waktu setelah di dunia (pasca sejarah) atau kita sering menyebutnya hari qiyamah, hari akhir atau pun hari-hari yang menyeramkan lainya. Hari kemudia juga merupakan hari-hari sebagaimana kita melaluinya di dunia ini (sejarah). Dimana aktivitas berpikir sebelum bertindak adalah konsekuensi logisnya.

……Namun semua janji itu bukan untuk menjadikan manusia takut atas ancaman juga tidak membuat manusia berharap imbalan di hari kemudian, namun agar sadar atas pilihannya yang memiliki akibat di hari kemudian.[4]

Aktivitas berpikir tadi mengantarkan kita pada tindak rasional (pilihan sadar) yang menekankan akan adanya pertanggung jawaban di hari kemudian dalam rentang sejarah maupun pasca sejarah. Sehingga potensi-potensi yang diberikan oleh Tuhan mampu diaktualisasikan kita sebagai makhluk terindah secara optimal, tidak terjatuh pada silap fatalis, yaitu sikap yang menolak kehendak manusia, bahwa segala perbuatan berasal dari Allah.
Konsekuensinya kehidupan di dunia bukanlah sesuatu yang harus di tinggalkan. Manusia harus berusaha mendapatkan apa yang harus ia dapatkan, bahkan Allah memperkenankan manusia untuk beroleh kebahagian darinya[5]…

Kenyataan tersebut menjadi penting karena islam memang tidak mengajarkan faham yang menuntut agar kehidupan manusia selalu menderita di dunia untuk mencapai kebahagian di akhirat. Islam mengajarkan keharmonisan yang dinamis.

Dan dua jam yang lalu saya masih berdiri di tengah kota, di tengah-tengah orasi yang membahana sepertinya mengguncangkan arsyi. Gelegar teriak “hidup rakyat”. Sahut menyahut suara lantang “kapitalisme”, “imperealisme”…….. Hancurkan, musnahkan. Tiba-tiba saya teringat sebuah lagu :

Aku bisa menjadi raja yang paling ditakuti
Aku bisa taklukan semua bangsa-bangsa di dunia
Tapi apa artinya bila Kau tak cinta
Apa artinya dunia yang bisa kugenggam bila tak ada cinta dari MU untuk ku
Aku bukanlah siapa-siapa bila tak ada cinta dari MU untuku.[6]

Sekian, terima kasih. Selanjutnya mari kita diskusikan…………….

Catatan Kaki:
[1] Disampaikan pada Batra kolektif uin sunan kalijaga, tangggal 30 April 2008
[2] Tukang nongkrong di HMI
[3] Puisi ini pernah dibacakan di kota gede (narti silver) dalam rangka memperingati keruntuhan Andalusia yang diselenggarakan oleh komunitas Jadzab tanggal 28 April.
[4] Khitoh perjuangan.
[5] ibid
[6] Dinyanyikan Ahmad Dhani dengan judul aku bukan siapa-siapa