SELAMAT DATANG DI CYBER MEDIA KP HMI CABANG YOGYAKARTA

23 Desember 2008

Kepemimpinan kaum muda?

Beberapa tahun ini kita dilarutkan dalam wacana kepemimipinan kaum muda, terlebih lagi menjelang Pemilu 2009 ini. “Bernarkan kaum muda siap memimpin negeri ini?” beigutlah pertanyaan yang diajukan oleh Maksun, S.H.i dalam orasi perkaderannya yang berlangsung di Ponggok Dua, Jetis Trimulyo, Bantul Minggu, 21 Desember kemarin. Orasi perkaderan tersebut merupakan wejangan bagi para pengader yang tergabung dalam Korps Pengader HMI Cabang Yogyakarta (KPC) sesaat setelah dilaksanakan pelantikan pengururs KPC tersebut.

Dalam acara yang diikuti oleh 30 anggota KPC tersebut Cak Sun, panggilan akrab Maksun, merasa pesimis jika kaum muda dapat memimpin negeri ini. Ada beberpa alasan yang diajukannya. Pertama, Sisitem pendidikan tinggi Indonesia yang tidak memberikan ruang aktifitas bagia mahasiswa. Universitas-universitas dengan sistem yang dibuatnya telah menjadikan mahasiswa yang hanya study oriented. Mahasiswa dikekang dari melakukan aktivitas-aktivitas di luar kegiatan akademik. Adanya sistem ini pula berdampak pada perkaderan di tingkatan organisasi pergerakan. Mungkin bangsa ini lupa bahwa tidak ada pemimipin besar bangsa ini yang lahir dari akademisi murni. Soekarno, Hatta, Syahrir, Natsir adalah orang-orang yang lahir dari pergerakan mahasiswa. Sebagai contoh terkini adalah Barack Obama. Dia adalah seorang yang aktif dalam gerakan-gerakan sosial saat dia masih menjadi mahasiswa.

Alsana kedua adalah rendahnya minat baca di kalangan mahasiswa. Prinsip ekonomi, menerut Cak Sun, bisa digunakan dalam hal ini. Dia bercerita, semasa dia masih kuliah di UIN (dulu IAIN) Sunan Kaliajaga, di sekitar kampus tersebut terdapat tidak kurang dari 6 penjual buku, dan itu selalu ramai oleh pembeli. Namun kini hanya terdapat dua toko, itu pun tidak rterlalu ramai. Hal ini menunjukkan rendahnya konsumsi buku sekaligus minat baca dikalangan mahasiswa. Dari hasil survei yang dimuat dalam SKH Kedaulatan Rakyat juga nampak bahwa pengeluaran mahasiswa Yogyakarta untuk membeli pulsa HP lebih besar ketimbang yang dibelanjakan untuk membeli buku.

Ketiga, hedonisme. Perilaku hedon ini sudah lama merasuk pada mahasiswa atau kaum muda. Dikatakan oleh Cak Sun, perilaku ini dapat dilihat bahwa orang lebih senang nongkrong di mall-mall besar atau kafe-kafe ketimbang berkumpul dan berdiskusi. Perilkau ini tidak terlepas dari penyakit jiwa lainnya yaitu individualisme. Perilaku ini yang menyebabkan mahasiswa atau kaum muda apatis dengan kondisi yang terjadi pada lingkungan, masyarakat dan bangsanya.

Namun demikian Cak Sun yakin bahwa kader-kader HMI masih bisa lepas dari itu. Syaratnya adalah pada pembenahan perkaderan di internal HMI. Selama ini perkaderan di HMI masih bergerak pada model pendidikan saja, dan itupun hanya pada pelatihan umum. Sementara model-model perkaderan lainnya belum terlaksanakan. Dengan demikian wajar jika HMI masih jauh dari cita-cita idealnya. HMI, tambahnya, jika konsisten dengan cita-citanya, dapat membentuk tiga kepemimpinan, yiutu kepemimpinan individu, kepemimpinan sosial dan kepemimpinan intelektual.

Rendahnya Kualitas Pengader

Problem terbesar dalam sistem perkaderan HMI saat ini adalah rendahnya kualitas pengader. Demikianlah wacana yang muncul dan berkembang dalam diaolog bersama pengurus baru bersama anggota Korps Pengader HMI Cabang Yogyakarta (KPC). Dialog yang dipimpin oleh Iqbal Hafidz Hakim selaku ketua KPC 2008-2009 dimaksudkan untuk menjaring gagasan dari anggota KPC untuk kepengerusan kedepan.

Dalam dialog yang dilaksanakan seusai pelantikan pengurus baru itu juga muncul gagasan bahwa KPC harus mampu menciptakan quantum gerak (movement quantum). Hal ini dapat dilakukan dengan pembinaan secara intens kepada para pengader. Selama ini intensitas pembinaan ditingkatan pengader dirasakan masih rendah, sehingga pengader, khususnya pengader baru, belum bisa secara optimal melaksanakan tugas-tugasnya.

Pembinaan para pengader, sebagaimana juga gagasan yang mencuat saat Musyawarah Korps Pengader (Musykorp) yang lalu, meliputi ranah pemikiran, spiritualitas, profesionalitas dan jaringan. Untuk itulah, menurut Iqbal, KPC telah membentuk dua bidang dalam periode ini, yaitu bidang Pengembangan Sumberdaya Pengader dan bidang Ukhuwah dan Silaturahmi.

Selain wacana tersebut, muncul juga gagsan untuk membuat satu badan khusus semacam wilayatul faqih bagi pengader yang bertujuan untuk dimintai pendapat khusus tentan kepengaderan.

Setelah acara dialog tersebut usai, acara dilanjutkan dengan Rapat kerja Korps Pengader peride 1429-1430 H atau 2008-2009 M.


Pengurus KP Baru

SUSUNAN PENGURUS KORPS PENGADER
HIMPUANAN MAHASISWA ISLAM CABANG YOGYAKARTA
PERIODE: 1429-1430 H/ 2008-2009 M

Ketua Umum : Iqbal Hafidz Hakim
Sekretaris Umum : Ita Farihayati
Bendara Umum : Yuli Lestari

Bidang Pengembangan Sumber Daya pengader : Ihab Habudin
Jam’ul Hasani
Ilham Amaliyati
Abdul Muizzu

Bidang Ukhuwah dan Jaringan : Mukhamad Habibi
Lukman Hakim
Muhammad Irfandi



12 November 2008

Menuju Kesadaran Tunggal

oleh: Maksun

Pendahuluan
Dalam perspektif Islam disebutkan bahwa manusia sesunguhnya terikat perjanjian primordial dengan Tuhan yang mendasari kehidupannya sendiri. (QS. Al-‘Araf 171-172). Hal itu terjadi ketika manusia masih berupa embrio yang berada dalam rahim. Saat itulah Tuhan mengambil kesaksian manusia tentang prinsip-prinsip ketuhanan.

Karena itulah seperti yang yang dinyatakan Syekh Suhrawardi Al-Maktul (pendiri filsafat israqiyah/iluminasi) bahwa dalam diri manusia terdapat sesuatu yang disebut akhirat al-azaliyah (olahan abadi) yang merupakan landasan eksistensial manusia. Hanya saja keberadaannya tersembunyi karena tumpukan fenomena kehidupan di dunia ini.

Dari diskripsi di atas sesungguhnya manusia sejak awal memiliki keyakinan terhadap Tuhan yang dalam Islam dikenal dengan Tauhid.

Apa yang kita pahami dari konsep tauhid sebagai prinsip dasar muslim sesungguhnya adalah upaya membangun kesadaran tunggal. Konsep tentang tahid meniscayakan adanya kesatuan wujud. Dengan konsep ini kita tidak semata meyakini bahwa Allah itu satu, tetapi juga meyakini realitas adalah satu juga, atau tunggal. Konsekwensi logis dari pemahaman tersebut adalah apa yang nisbi bukanlah realitas. Dia dinamakan realitas justru hanya karena dinisbatkan kepada Tuhan. Dus, segala aktivitas yang disandarkan selain Tuhan, maka itu bentuk “kemusrikan intelektual”, dan itulah noda besar yang tak termaafkan bagi kesucian Tauhid.

Sayyed Naquib Al-Atas menyatakan bahwa “hutang eksistensial” manusia tersebut-saat melakukan perjanjian primordial- hanya bisa ditebus jika manusia hidup untuk menghambakan (pasrah/ber-islam) hidupnya semata-mata kepada Allah. Sedangkan Ali Syariati memberikan gambaran aligoris tentang ibadah shalat yang menghadap kubus kosong (ka’bah), yang mengisyaratkan proses “peniadaan ego” dan kepentingan diri manusia, karena sesungguhnya yang benar ada (wujud mutlak)_ semata-mata hanya Allah.

Kalau kita kembali kepada posisi manusia di bumi yaitu tidak lain sebagai seorang hamba yang mengabdikan seluruh hidup kepada-Nya, maka keagungan kita tidak akan bisa terpahami tanpa keterkaitan denganTuhan. Bila ridha Tuhan tidak menjadi pusat orientasi kita dalam menjalani kehidupan ini, maka kualitas hidup kita akan menjadi rendah. Dengan menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhir, kita akan terbebaskan dari derita alienasi, karena Tuhan adalah pesona yang Maha Hadir dan Maha Mutlak. Eksisitensi yang relatif akan lenyap kedalam ekistensi yang absolut. Kesadaran akan kemahahadiran Tuhan akan membuat kita selalu memiki kekutan, pengendalian sekaligus kedamaian, sehingga merasa dalam orbit Tuhan, tidak dalam orbit dunia yang tidak jelas jluntrung-nya.

Sikap berserah diri kepada Tuhan tersebut secara inheren mengandung berbagai konsekuensi. Pertama, konsekewnsi dalam bentuk pengakuan yang tulus (ihklas) bahwa Tuhanlah satu-satunya sumber otoritas yang mutlak. Pengakuan ini kelanjutan yang mutlak, yang menjdai sumber semua wujud mutlak, yang menjadi sumber semua wujud yang lain.

Konsekwensi kedua dari prinsip ketuhanan adalah bahwa umat manusia seluruh dunia adalah sama dari segi harkat dan martabat asasinya. Tidak seorangpun berhak merendahkan manusia yang lain, karena semuanya adalah sama di sisi Tuhan, kecuali takwanya. Tidak ada yang berhak menindas sesama manusia kecuali Tuhan.

Di sinilah fungsi ita sebagai “abid” (hamba). Maksudnya adalah kita mengembalikan segala aktivitas yang kita lakukan hanya ditujukan kepada Tuhan, ini konsekwensi logis dari persaksian kita, la ilha illallah (transendensi). Tiada yang berhak dijadikan sandaran di dunia ini kecuali hanya Allah.

Tetapi ternyata Tuhan tidak hanya menjadikan manusia sebaga hamba yang mengabdi kepadanya, melainkakn Tuhan juga memberikan tanggungjawab kepada manusia untuk menjadi khalifah-Nya di bumi, inilah peran kita. Dan karena itu, sebagai mandatarisnya di muka bumi, maka nilai ilahiyah (implikasi dari keyakinan kepada Tuhan bahwa manuisa adalah hamab) tersebut harus memberi maslahah kepada manusia lain (kemanusiaan). Keyakinan demikian meupakan koneskwensi logis dari persaksian kedua kita Asyhadu anna muhammadar rasulullah.
Hanya saja dalam menjalani peran yang kita lakukan-dokter-pedagang-insinyur, ekonom, nelayan, petani atau apapun- itu adalah semua perintah Tuhan dan harus dioreintasikan hanya kepada Tuhan. Maka tanggungjawab kita adalah menjalani peran-peran tersebut dengan sebaik-baiknya (amanah), selama hal itu mendorong proses aktualisasi Tauhid, misi kekhalifahan dan kebebasan kita. Karena itu, apakah dan bagaimanakah kehidupan di dunia atau peran kita baik atau buruk, sangat tergantung sejauh mana kita bersignifikansi dengan proses aktualisasi orientasi dan misi kita hidup di dunia.

Implikasi Keyakinan Muslim
Keyakinan muslim tidak berhenti pada keyakinan pada Tuhan an sich. Dalam artian keyakinan tersebut tidak mempunyai implikasi terhadap diri dan lingkungan sosialnya. Tetapi keyainan tersebut harus menjadi landasan kebudayaan dalam rangka perubahan sosial kemanusian. Seperti Muhammad SAW, ketika beliau sampai pada puncak spiritualitasnya , naik ke langit tertinggi, bukannya malah berpaling dari tanngungjwab kemanusiaannya, melainkan terjalin hubungan antara kehendak suci dari langit dengan orientasi manusia di bumi. Dengan kata lain, spectrum Ilahi dengan spectrum kemanusian di sisi lain secara metafisis tidak di letakkan dalam ruang yang kita pahami dalam hidup keseharian. Tetapi keduanya menyatu dalam kesadaran, sehingga bagi seseorang yang sampai pada tingkatan spiritualitas tertentu, perilaku kemanusiaanya merupakan cerminan dari kualitas ilahiyah.

Kesadaran akan dimensi ketuhanan dan kemanusiaan dalam diri kita adalah suatu keniscayaan. Keduanya tidak bisa dipisahkan, bersifat integrlastik. Inilah prinsip dasar tauhid. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa aktivitas atau peran yang kita lakukan tanpa menjadikan Tuhan sebagai orientasi atau titik pusat, maka kualitas aktivitas hidup kita menjadi rendah. Begitu pula sebaliknya, jika hubungn ketuhanan kita tinggi sementara sisi kemanusian kita rendah bahkan tidak memilki implikasi sosial sama seklai, maka kita sebenarnya hanya sedang beragama tetapi tidak ber-Tuhan (kafir).

Kesadaran kita tentang Tuhan pada tingkat tertentu, akan memanifestasi dalam aksi kebudayaan kita. Laku kita menjadi laku Tuhan, omongan kita menjadi omongan Tuhan. Kalau Tuhan memiliki Al-Khaliq, (Maha Pencipta), Ia mencipta dari tiada menjadi ada, maka kita harus mencipta pula dari ada menjadi lebih baik atau sempurna. Kalau Tuhan maha Ar-Raziq (Pemberi Rezeki), maka kita juga harus memberi rezeki kepada orang lain, bukan malah menghalangi orang lain untuk mendapatkan rezeki. Jika Tuhan Ar-Rahman kepada siapa saja, kita juga harus memberikan rahman-rahim kita kepada siapa saja, sekalipun kepada orang yang memusuhi kita dan lain sebagainya. Seperti yang disabdakan Muhammad “takhalaqu bi akhlaqillah”, berakhlakalah dengan akhlak Tuhan. Dalam artian bagaimana kita menumbuhkan dalam diri kita sifat-sifat Tuhan.

Hanya saja pencapaian kesadaran tunggal atau komitmen ketuhanan dan kemanusian dalam diri kita itu sangat bergantung pada seberapa besar usaha kita mengakses caha Tuhan. Suhrawardi al-Maqtul menggambarkan realitas tunggal tersebut adalah cahaya (israq). Cahaya itu memebentang dari cahaya di atas cahaya (Nur ‘ala Nur) sampai cahaya yang paling redup. Semakin dekat kita dengan Cahaya Maha Cahaya, maka terangnya semakin cemerlang, aksi kebudyaan kita semakin baik dan semakin peka pula terhdap kondisi sosial. Sebaliknya, semakin jauh kita dengan cahaya-Nya, maka terangnya semakin redup. Cahaya yang paling redup adalah cahaya yang paling jauh dengan Tuhan, maka aksi kebudayaan yang kita lakukan bukan cerminan laku ilahiyah sehingga tidak memeberi maslahah bagi orang lain , tetapi malah memberi madharat.

Di sini ketuhanan dan kemanusian adalah poros untuk mengevaluasi prilaku kita. Dengan meminjam teori cerminnya al-Ghazali, aktivitas kemanusian yang tidak diterangi cahaya keilahian bagaikan orang yang berjalan di lorong gelap. Sebaliknya, orang yang dekat dengan cahaya Tuhan tetapi tidak menumbuhkan nilai agung ketuhanan dalam dirinya , bagaikan iblis.

Bagimana Menuju Kesadaran Tunggal
Tuhan adalah realitas yang mutlak, maka ia tidak mungkin diketahui. Yang bisa kita lakukan adalah usaha terus menerus dan penuh kesungguhan untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada-Nya. Hal ini dilakukan dengan melakukan amal perbuatan. Dalam amal itulah kita mendapatakan eksistensi dan esensi diri-Nya. Dan dalam amal yang ikhlas itulah kita menemukan tujuan penciptaan diri kita, yaitu kebahagian karena pertemuan dengan Tuhan dengan mendapatkan ridha-Nya.

Sebagai jalan manusia untuk menyempurnakan jati diri itu, Tuhan jnuga menampilkan diri melalui “berita” (baca: Al-Quran) yang dibawa nabi dalam bentuk kualitas moral. Melalui persepsinya terhadap kualitas Ilahi, seperti sifat kasih sayang, pengampun, adil da lainnya dan kita mengerti nilai tersbut dengan penghayatan yang intensif, maka akan membukakan jalan dalam diri kita nilai tersebut untuk diinternalissasi. Manusia tidak akan menjadi tuhan, tetapi dengn rasa ketuhanan yang mendalam ia tumbuh menjadi makhluk akhlaki yang meresapi unsur kualitas ilahiyah.

Meskipun perjuangn manusia menyempurnakan jati dirinya berpedoman kepada Tuhan dan menuju kepada-Nya, namun tidaklah berarti untuk kepentingan Tuha, melainkan untuk kepentingn diri manusia sendiri. Karena itu kita harus mengaktualisasikan diri dalam sikap hidup yang menempatkan diri sebagai bagian dari kemansuiaan universal, dan dengan nyata menunjukan kepedulian kepada kehidupan manusia yang lain.

Hanya saja, untuk membangun kepedulian dan kecintaan terhadap kemanusiaan, kia harus mengenal diri kita sendiri. Jika ini gagal kita lakukan, maka mengenal orang lain juga gagal. Menarik ajaran klasik yang mengatakan bahwa kita hanya dapat memahami orang lain (sisi kemanusiaan), jika kia mengenal diri kita. Bahkan kitannya dengan Tuhan pun, Nabi pernah besabda “siapa yang mengenal diniya, maka dia akan mengenal Tuhannya. Jadi pemahaman mengenai yang lain akan bergantung pada pemahaman kita mengenai diri sendiri. Tanpa kerja batin ini atau berhubungna dengan kekutann yang lebih tinggi yang tidak dapat dimanipulasi sebagai basisi aksi kebudayaan, maka kehidupan mansia akan penuh dengan pengobjekan orang lain, manipulasi, penindasan, dan kekejaman yang muncul bukan saja hanya karena kita mengenal batin orang lain, tetapi justru kita tidak mengenal diri sendiri.

Dari gambaran di atas jelas sekali bahwa menuju kesadaran tunggal adalah dengan jalan “mensemesta”. Maka, mensemestalah!!! Di situ kamu akan menemukan Tuhan dalam bentuk eksistensinya (Wujud). Kita hanya bisa sampai mengenalnya lewat wujudnya yang berserakan di semesta ini. Sedangkan esensinya (mahiyah) hanya Tuhan sendiri mengetahuinya. Wallahu ‘alamu bishshawab.

Maksun: Pecinta Ilmu dan Kebijaksanaan.

27 Oktober 2008

Membangun Surga

Oleh: Muhammad Al-Mahbub

Al-Quran bukanlah kitab sejrah, kitab dongeng atau semcam primbon, meskipun kita mendapati ayat-ayt di dalamnya menceritakan tentang umat-umat terdahulu, seperti kisah kaum Ad, Tsamud, Negeri Tsaba, atau kisah-kisah umat nabi-nabi lainnya. Al-Quran juga menceritkan tentang kekalahan Romawi oleh tentara Parsi. Selang beberpa masa, Romawi ternya memeperoleh kemenangan sebagaimana dikabarkan oleh Al-Quran. Selain itu Al-Quran juga memeberikan gamabaran akan kehidupan-kehidupandi masa mendatang (eskatologi).

Perlu diingat, bahwa hal-hal tersebut bukanlah inti dari pewahyuan Al-Quran. Tujuan pewahyuan Al-Quran adalah sebagai petunjuk (huda) dan penjelas (bayan) dari apa yang harus dilakukakn manusia. Quraishshihab membagi fungsi petunjuk Al-Quran ini ke dalam tiga hal, yaitu petunjuk tentang akidah dan kepercayaan(tauhid), petunjuk mengenai akhlak murni (etika) dan petunjuk yang berkenaan dengan syariat. Manakala Al-Quran becerita tentang peristiwa-peristiwa masa lampau atau pun masa akan datang semata-mata sebagai petunjuk bagi manusia tentang kebesaran dan kekuasaan Allah. Sebagai muslim haruslah kita mengimani apa yang telah diberitakan oleh Al-Quran, terlepas dari bagaimana bentuk penafsiran kita yang beragam.
Begitu juga ketika Al-Quran bercerita tentang proses penciptaan dan kejatuhan Adam AS, bapak manusia. Tidak lain adalah bagiamana kita bisa mengambil hikmah di dalamnya.

Proses penciptaan Adam terlebih dahului diawali dengan dialog Tuhan dengan malaikat. Atau lebih tepatnya, Tuhan telah terlebih dahulu membeitahukan rencana penciptaan Adam kepada malaikat. “dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, sesunguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi, malaikat pun berkata: apakah engkau akan menjadikan makhluk yang akan membuat kerusakan di muka bumi dan menumpahkan darah, sedangkan kami selalu bertasbih kepada-Mu dan selalau mensucikn-Mu. Kemudian Allah berfirman: sesungguhnya aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (QS. Al-Baqarah: 30).

Dari ayat tersebut dapat kita ketahui bahw tujuan penciptaan manusia selain sebagai hamba yang secara totalitas mengabdikan diri kepada-Nya, juga sebaga khalifah yang menjadi mandataris Allah untuk memakmurkan muka bumi.

Pertanyaan yang menarik adalah, jikalau memang manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di muka bumi, mengapa harus melalui proses kehidupan surga, yang kemudian karena tipu daya Iblis Adam dan Hawa harus terlempar ke bumi? Jika kita berkata bahwa itu adalah semata-mata kehendak Allah benar adanya. Namun satu hal yang perlu diingat adalah, Allah melakukan semua itu tentu tidaklah sia-sia, tanpa maksud tertentu. Bukankah Allah menciptakan sesuatu juga tidak sia-sia. ada udang di balik batu. Ada kepentingan Allah di sana. Ada hikmah dari semua peristiwa tersbut.

Surga dalam Al-Quran selalu disandarakan pada gambaran tentang kehidupan yang penuhdengan kenikmatan, kesenangan yang tiada henti. Surga lasana sebuah taman yang indah yang bertaburan bunga-bunga nan wangi. Mengalir di bawahnya sungai yang jernih. Pohon-pohon buah-buahan tumbuh subur dengan buahnya yang randum yang jika kita menginginkannya tinggal memetik begitu saja, tanpa harus bersusah payah. Gelas-gelas dan piring terbuat dari emas dan perak berisikan makanan dan minuman yang lezat melebihi kelezatan sewaktu di dunia. Pakaian ahli surga terbuat dari sutra yng indah-indah, sedangkan ahlu surga selalu ditemani bidadari yang selalu perawan.

Demkianlah Al-Quran memberikan gambaran tentang surga dengan sesuatu yang bersifat materi sehingga ketika kita membaca ayat-ayat Al-Quran yang terlintas dalam benak kita adalah segala kenikmatan. Dan tentulah terbesit dalam hati kita untuk segera berada di tempat tersebut. Dalam ayat lain dijelaskan pula bahwa surg adalah satu tempat yang di dalamnya tidak pernah ada kata-kata yang sia-sia (lagw), tidak ada kebohongan (kadzb), tidak ada umpatan, tiada tangis, tiada penderitaan, tiada ketimpangan. Itulah surga, di aman konon Adam pernah tinggal di dalamanya sebelum terlempar ke bumi, tempat yang jauh berbeda dengan surga. Kehidupan yang berteman dengan kerasnya alam, yang kemudian menjadi tempat tinggal anak cucu Adam (manusia). Dan inilah permata hikmah tersebut.

Singgahnya Adam di surga adalah bagian dari tarbiyah yang Alah berikan kepadanya. Tugas manusia sebagai khalifah adalah menjalankan titah Allah untuk memakmurkan bumi. Utuk itu dibutuhkan satu pengalaman yang nantinya digunakan untuk menjalankan tugasnya tersebut. Dalam proses tarbiyah inilah, Allah memberikan gambaran kehidupan yang ideal, yang dengan itu dihaarapkan manusia mamapu menciptkan satu kehidupan yang yang harmonis, kehidupan surgawi.

Indunisia qith’atu minal jannah nuqilat ila al-radl. Demikanlah ungkapan Syekh Shaltuth, seorang ulama besar Mesir ketika dia berkesempatan untuk mengunjungi Indonesia. Indonesia adalah serpihan surga yang diangkat dan dipindahkan ke bumi. Memang gambaran yang terdapat dalam Al-Quran tersebut menjelma dalam alam Indonesia ini. Air yang jernih mengalir mengikuti sungai-sungai yang meleok-leok membelah hutan yang rimbun, atau menyusuri tepian perkampungan. Flora fauna yang beraneka ragam dan keindahan alam lainnya terdapat di bumi pertiwi yang kaya raya ini. Itu karena buminya yang subur, dank arena suburnya, kata Koes Plus, tongkat kayu pun menjadi tanaman. Ikan pun menghampiri jala nelayan karena begitu kayanya laut kita.

Namun sangat di sayangkan, serpihan sorga itu kini telah terkoyak laksana kapal-kapal Adipati Unus yang diterjang oleh peluru-peluru meriam Portugis. Seperti rumah yang hancur oleh terpaan angin puting beliung. Air sungai yang dulu jernih kini berubah warna menjadi hitam dan bercampur limbah industri atau konsumsi runah tangga. Tak jarang kemudian meluap membanjiri kota-kota dan perkampungan. Tak ada lagi lambaian bayur yang merayu manja di bawah kepakan sayap burung-burung yang beraneka warna. Karena tanaman itu telah berganti ilalang. Zamrud itupun tiada Nampak lagi, entah kemana menghilangnya, yang Nampak adalah barisan gunung yang gundul tiada berambut. Burungpun enggan dan tak sempat bernyani karena diburu oleh rasa takut akan kematian.

Kondisi masyarakatnya pun bertolak punggung dengan masyakat madani, apalagi surgawi. Masyarakatnya yang dulu dikenal sebagai masyarakat yang santun, ramah, dan menjunjung tinggi toleransi, kini berubah menjadi masyarakat yang buas, saing membunuh, saling sikut, saling tendang, saling menipu, saling mencurigai. Hal tersebut tak lain hanya untuk kepentingan pribadi, kepentingan materi. Dan selalu, yang merana adalah orang-orang yang lemah. Mereka yang menjadi umpan dari karakusan orang-orangyang serakah, mereka yang tertabrak kepentingan para pemburu materi, mereka yang tergilas oleh kebijakan struktural. Padahal mereka lahir di negeri ini, mereka lahir di bumi ini, mereka adalah manusia anak cucu Adam yang dizhalimi oleh saudaranya sendiri.

Sudah saatnya kita membangun kembali serpihan surga ini, membangun dengan kesadaran bahwa di sinilah kita dan anak cucu kita lahir dan dibesarkan, hidup dan tinggal, lalu mati. Mari kita benahi taman ini tanpa harus meruskanya dengan kerakusan kita, dengan terlebih dahulu memebenahi diri kita, hati kita. Cara pndnag kita terhadap Tuhan alam dan sesama manusia. Kita jalin pergaulan sebagai manusia, sebagai sesama makhluk Tuhan yang tidak sedikitpun berbeda di depan-Nya. Kita benahi masyarakat kiat, bermula dari keluarga kita, masyarakat yang berpegang teguh pada nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Masyarakat yang terbebas dari penyakit kesia-siaan, (laghw), kedustaan (kadzb), ketamaakan dan penyakit kedirian lainnya yang menafikan kita sebagai makhluk Tuhan, kita bangun keharmonisan sehingga negeri ini kembli menjadi serpihan surga yang terlempar yang kemudian akan kembali ke surga dan pemiliknya. Satu negeri yang dalam isitlah qurani baldatun thayibatun wa rabbun ghafur.

13 September 2008

Ra Yang Kurindu

Oleh: M. Habibi

Ra, apa kabr ra? Setalah berpisah, akhirnya kini kita telah dipertemukan kembali. Satu tahun memang waktu yang tidak lama ya, Ra. Tapi beda bagi seorang yang sedang menanti, seminggu terasa sewindu, setahuan serasa seabad. Seperti aku yang selalu menanti kedatanganmu. Memang benar, penantian selalu membawa pada rasa kejemuan. Kekhawatian juga tentunya. Khawatis dan rasa takut, saat engkau datang engkau bukan milikku lagi. Begitulah penantianku. Waktu seakan berjalan lamabat. Sehari seakan tidak lagi duapuluh empat jam, dan sepanjang tahun sekana hanya satu musim, kemarau. Yah, aku kekeringan tanpamu, aku tandus tanpamu, aku gersang tanpamu. Dan kini engkau telah datang. Tapi mengapa ada yang berbeda dengan pertemuan kita kali ini.

Ra, aku minta maaf. Aku tidak bisa ikut menyambut dan merayakan kedatanganmu. Tapi bukan berarti rasa ini telah pudar. Sebenarnya kau malu pada diriku sendiri. Aku yang selalu ngomong bahwa aku orang yang mencintaimu, merindukanmu, dan mengharap kedatangmu, namun justru aku tidak ikut serta menyambutmu, menyalamimu.

Sebenranya aku tahu akan kedatangamu. Siapa yang tidak mengenalmu, sehingga semua orang mengabarkan kedatanganmu. Dan berjubel orang menyambutmu. Aku takut ketika aku ikut menyambutmu, akankah kau menemukan dan mengenaliku di antara berjubel orang itu. Apalagi mereka menyambumu tidak selayaknya seorang muslim menyambut kekasihnya sebagaimana diajarkan oleh agama kita. Ah, mungkin itu hanya apologiku aja, dan bisa jadi aku lebih buruk dari mereka karena aku tidak turut menyambutmu. Maaf karena aku lebih sibuk dengan urusan pribaduku. Tapi sesungguhnya dalam hati aku tetap menyambutmu, dengan cara lain, caraku sendiri.

Ra, aku dengar dari beberapa orang yang ikut manyambutmu, kata mereka kau datang dengan sedikit masam. Apa benar itu, Ra? Ada apa gerangan, Ra? Apakah sebenarnya kau tidak ingin datang? Tapi bukankah sudah janjimu untuk datang, menemuiku? Atau ada masalah lain? Apakah engkau tidak puas dengan penyambutan mereka, Ra? Bukankah mereka telah menggelontorkan segudang uang untuk menyambutmu, menjamumu? Mereka menyiapkan hidangan yang mewah untukmu, khusus untukmu. Asal kamu tahu aja Ra, hidangan semacam itu tidak akan bakalan ada tanpa engkau hadir di sini. Dan juga acara-acara itu, yang diadakan saben malam, pembacaan puisi dan narasi yang menggambarkan kecantikanmu, kemolekanmu, keanggunanmu, kebaikanmu, keagungan dan kemulianmu, itu tak pernah ada jika kau tidak di sini. Tapi mengapa engkau, kata mereka, datang dengan sedikit masam?

Ra, meski aku tidak perca sepenuhnya kepada mereka, tapi aku jadi ingin tahu juga, agar tenang jiwa ini. Namun aku yakin, itu bukan karena aku tidak ikut menyambutmu, bukan? Aku sadar betapa kecilnya aku di depanmu sehingga tanpaku pun engkau akan datang ke sini. Atau mungkin engkau kecewa melihat aku yang begini-begini saja, tidak berubah sejak pertemuan terakhir kita dulu. Aku masih aku yang angkuh, sombong, bakhil, dengki, pendendam, apatis, egois. Yah, kalau engkau memang datang dengan sedikit masam, aku yakin karena hal itu. Ah, maafkan aku ya, Ra. Sungguh aku menyesal. Aku malu. Aku akan berubah, Ra. Asal jangan kau tinggalkan aku lagi!

Ra, aku lebih malu lagi, meski aku tak menyambutmu, kau tetap datang menemuiku. Dengan wajah cerahmu, tidak seperti yang mereka bilang. Benar kataku, kau tidak peduli apakah aku berubah atau tidak, kmau tak pernah ingkar, kau tetap datang. Senyum manis tersungging di bibirmu, dan selalu suasana syahdu yang menyertaimu. Itulah yang selalu mengingatkanku padamu. Aku ingat pada perjumpaan kita yang lalu. Tiada hari yang aku lalui tanpamu. Kita berjalan bersama, mengahabiskan malam-malam kita dalam senandung kesyahduan. Kau memelukku erat dalam kehangatannya cintamu, membelaiku dengan mesra seakan itu yang terakhir. Malam itu aku rasakan bumi berhenti berputar, angin tiada berhembus, jangkrik berhenti berkerik, margasatwa tak bersuara, awan tertahan, dan alam pun terdiam. Malam itu begitu sunyi, tapi syahdu. Ah, indah sekali malam itu. Aku rindu malam itu, malam-malam saat bersamamu. Dan kini kau telah bersamaku. Mungkin telat, namun aku ingin tetap menyambutmu, menyalamimi, marhaban ya Ramadhan.

05 Agustus 2008

Ilmu dalam Perspektif Integralisme

Oleh: M. Habibi

Pembicaraan tentang ilmu, dalam kajian filsafat sering disebut sebagai kajian epistemologi, yaitu bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Epistemologi seseorang tidak bisa lepas dari pandangan dia tentang ontologi. Dengan demikian, epistemologi di sini tentu tidak bisa lepas dari pandangan tentang kesatuan wujud sebagaimana dijelaskan di atas. namun sebelum berbicara tentang integrasi ilmu, akan dibicarakan terlebih dahulu tentang perspektif yang kita gunakan, yaitu integralisme.


Asal Mula Integralisme
Pada tahun 1970-an para pemuda Amerika berbondong-bondong memasuki daerah-daerah pedalaman. Hal ini terjadi karena krisis eksistensi diri yang disebabkan oleh serangan gaya hidup modern. Mereka meninggalkan kehidupan mewah mereka dan bergabung dengan suku-suku pedalaman. Mereka tinggal di pedalaman bersama komune-komune pedalaman tersebut.

Sekilas memang terasa aneh, karena secara ekonomi mereka telah menempati pada posisi yang mapan, tidak kekurangn harta benda yang bisa menjamin kelangsungan hidup mereka. Namun orang akan mengerti dan memahami fenomena tersebut setelah mengetahui apa sebenarnya yang mereka inginkan.

Kehidupan modern yang terlalu mengunggulkan akal dan menjadikannya raja membuat pemuda-pemuda ini terasa kering dan terasing, bahakan dengan diri mereka sendiri. Mereka melihat ada satu bagain kehidupan ini yang hilang, sehingga kehidupan mereka terasa parsial. Dan sesuatu yang hilang tersebut mereka temukan di masyarakat pedalaman, masyrakat tradisional. Yang mereka cari adalah spiriualitas yang membawa kesejukan dalam kehidupan mereka. Spiritualitas inilah yang hilang dalam kehidupan Barat modern, diakibtakan oleh pandangan saintifik positifistik.

Setelah bermukim beberapa lama di pedalaman bersama suku-suku Indian tersebut, para pemuda ini ternyata tidak hanya sekedar menemukan spiritualitas, dimensi yang hilang dalam kehidupan Barat modern, tetapi dengan spiritualitas ini pula mereka justru menemukan suatu pandangan yang lebih menyeluruh terhadap realitas. Di sini mereka mendapatkan kesadaran akan kemenyeluruhan atau sering disebut holon yang kemudian dikenal dengan holisme. Mereka kemudian membuat gerakan yang mereka sebut gerakan pasca-modernisasi. Berbeda dengan gerakan mereka sebelumnya yang meninggalkan modernitas dan masuk ke pedalaman, gerakan mereka kali ini justru mensintesakan yang tradisional dengan yang modern.

Secara aksiologi, holisme dibangun oleh para pecinta lingkungn. Secara epistemologis dibangun oleh para psikolog yang memasukan pengalaman mistik sebagai salah satu cara memperoleh pengetahuan. Sementara pada ranah ontologi dibangun oleh fisikawan Fritjof Capra yang mengatakan bahwa ada kesejajaran antara partikel material dengan kesadarn mistis Timur.

Setelah mengamati pandangan holisme tersebut, Armahedi Mahzar, seorang iteknosof dan pengajar di ITB, menyimpulkan bahwa sebenarnya umat Islam tidak perlu untuk meninggalkan dunia mereka dan beralih mencari dunia lain di pedalaman sebagaimana yang telah dilakukan oleh pemuda-pemuda Barat, karena Islam sendiri telah memiliki konsep kesatupaduan. Konsepsi kesatupaduan dalam Islam telah banyak ditafsirkan oleh pemikir di kalangan muslim sendiri, seperti Ibn Arabi dan Mulla Shadra. Namun sebagai filsafat tradisional Islam, kedua filsafat tersebut dan filsafat Islam tradisional lainnya tidak cukup untuk menampung perkembangan keilmuan saat ini. Dari sinilah kemudian lahir filsafat integralisme atau al-himah al-wahdatiyah.

Integralisme adalah filsafat yang konsep sentralnya adalah integralitas, yaitu keseluruhan bagian-bagian yang bersatu padu berdasarkan suatu struktur tertentu. Dengan kata lain, integralisme merupkan wawasan kemenyeluruhan dalam memandang segala sesuatu: baik sain dan teknologi dan seni, maupun budaya dan agama. Integralisme melihat semua itu sebagai satu kesatupaduan yang tak bisa dipecah ataupun dipisahkan dari kesepaduan realitas.

Berbeda dengan integrasi pada pandangan holisme, integralisme menyarankan dua integrasi yang internal dan yang eksternal. Integrasi internal adalah upaya menyelarasikan tubuh kita dengan ruh kita melalui rantai instink, inteligensi dan intuisi. Sedangkan integrasi eksternal adalah menghubungkan diri kita dengan Tuhan melalui lingkungan hidup, alam semesta dan alam gaib.

Dari sini nampak jelas bahwa basis keilmuan Armahedi serta pandangan dia tentang kesatupaduan menempatkan dia pada sayap kanan dalam pemikiran kaum posmodernisme. Istilah integralisme sendiri sebenarnya telah dipakai oleh Sri Aurobindo (1872-1950), yang terkenal dengan integral yoganya. Selain itu, istilah ini juga dipakai oleh Ken Wilber, seorang filosof yang menggabungkkan antara sains modern dan spiritualitas tradisional, sehingga Armahedi sering menyebut filsafatnya sebagai Integralisme Islam. Dikatakatan integralisme Islam karena Armahedi menambahkan deminsi-dimensi keislaman pada integralisme universal Wilber.

Armahedi juga menyebut filsafatnya sebagai pos-strukturalisme timur. Menurutnya ada dua alasan mengapa integralsime disebut sebagai Pos-struktrukturalisme Timur ,

karena lahirnya di Indonesia yang di Asia yang menurut orang Barat ada di Timur. Saya sebut pos-strukturalisme karena integralisme memang bermula dari strukturalisme yang diterapkan untuk filsafat Eropa, bukan mitologi Indian seperti yang diterapkan oleh Levi-Strauss, lalu dilampaui dalam suatu filsafat Integralisme. … Alasan kedua: integralisme universal yang dikembangkan Ken Wilber, sebagai posmodernisme konstruktif melampaui postrukturalisme, sebagian besar berdasarkan filsafat India: Budhisme dan Vedantisme.

Dengan demikian, kemunculan filsafat integralisme ini merupakan kelanjutan sekaligus sintesis dari filsafat tradisional Islam dan filsfat Barat moder.

Integrasi Ilmu
Pembicaraan tentang ilmu, dalam kajian filsafat sering disebut sebagai kajian epistemologi, yaitu bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Epistemologi seseorang tidak bisa lepas dari pandangan dia tentang ontologi. Dengan demikian, epistemologi di sini tentu tidak bisa lepas dari pandangan tentang kesatuan wujud sebagaimana dijelaskan di atas. Konsepsi wujud yang mengakomodir dunia metafisik di atas menjadi pondasi bagi terbangunnya sebuah epistemologi, karena sebagai muslim yang mempunyai kepercayaan penuh pada dunia metafisik, maka seorang ilmuwan muslim harus menyusun atau memiliki sebuah epistemologi yang cocok dengan kepercayaan yang dianutnya.

Berbicara tentang ilmu, maka ada beberapa hal yang harus dibahas, yaitu sumber, objek, struktur dan konteks ilmu. Keempat hal ini akan menjadi satu kesatuan yang utuh.

1. Sumber Ilmu
Sebagai seorang muslim, Armahedi meyakini bahwa dalam Islam sumber semua ilmu adalah satu, yaitu Allah SWT. Yang Maha Esa, Kepercayaan seorang muslim akan Allah sebagai Tuhan Yang maha Esa mempunyai implikasi yang sangat luas. Keyakian yang menandaskan akan ke-esa-an Tuhan dalam Islam disebut dengan tauhid.

Menurut Musa Asy’arie, tauhid yang seakar dengan angka satu, wahidah, tidak merujuk pada pada makna angka satu saja, tetapi lebih dari itu, juga berkaitan dengan problem subtansial tunggal dan proses. Subtansi tunggal artinya dia tidak terbagi-bagi. Ia menjadi sumber realitas yang ada. Lebih jauh lagi dia mengatakan bahwa tauhid ini bukanlah satu kepercayaan yang dinyatakan dalam pengakuan saja, akan tetapi merupakan suatu pandangan hidup yang selalu diwujudkan dalam realitas kehidupan muslim.

Allah sebagai sumber segala ilmu dapat dilihat dari bagaimana Allah mengenalkan diri-Nya sebagai `Aliim atau Yang Maha Mengetahui, bahkan Allah sendiri adalah ilmu itu sendiri.

2. Objek dan Praksis Ilmu
Dalam melihat objek ilmu, Armahedi melakukan pengamatan terhadap ayat-ayat Al-Quran. Menururtnya, meski Al-Quran menyebut ilmu dalam kontek yang berda, namun objeknya dijelaskan secara gamblang, yaitu “al-Quran” dan “al-Bayan”. Hal ini terdapat dalam firman Allah SWT sebagai surat Ar-rahman 1-4:
Artinya: (Tuhan) yang Maha pemurah. Yang Telah mengajarkan Al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara. (QS. Ar-Rahman 1-4).


Al-Quran yang dimaksud oleh Armahedi bukan al-Quran sebagaimana artian firman Allah SWT yang telah terkodifikasikan, tetapi al-Quran dalam artian yang lebih luas yang merujuk pada makna asalnya, yaitu bacaan. Bacaan dalam arti lebih luas lagi adalah pengumpulan atanda-tanda atau “ayat”. Untuk memahami ayat ini dibutuhkan alat, yaitu bahasa atau al-bayan.

Terkait dengan “ayat”, Allah SWT menjelaskan dalam firman-Nya dalam surat Fushshilat :53. Artinya: Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?.

Dalam ayat Quran suci di atas jelas Allah SWT menegaskan bahw ayat-ayat itu adalah cakrawala (afaq) dan di dalam diri-diri (anfus) manusia. Selanjutnya ayat ini menjelaskan bahwa ayat-ayat tersebut diciptakan agar manusia memahami kebenaran (al-Haq) yaitu Yang Maha Pencipta, Allah SWT dan firman-Nya Al-Quran. Dengan demikian di sini ada tiga entitas yang berbeda yang merupakan obyek limu pengetahuan.

Pertama adalah al-afaq atau cakrawala. Hal ini berkaitan dengan objek material yang berada di eksternal diri manusia yaitu gejala-gejala alam. Menurut Mulyadhi Kartanegara, objek-objek material inilah yang memungkinkan munculnya ilmu-ilmu alam, seperti fisika, biologi dan kimia.

Kedua adalah anfus atau sesuatu yang berada dalam diri manusia. Pada bagian ini terkait dengan ilmu-ilmu kemanusia atau humaniora, seperti pskiologi, sosiologi dan antropologi. Ketiga adalah al-Haq atau Allah dan Al-Quran. Pada sisi ini akan melahirkan ilmu-ilmu keagamaan seperti fiqih, teologi, dan tashawuf.

Pembagian objek ilmu Armahedi ini sama dengan pembagian yang dilakukan oleh Ibn Shina. Sebagaimana dikutip oleh Mulyadhi Kartanegara, Ibnu Shina membagi objek ilmu dalam tiga hal, yaitu entitas-entitas yang bergerak dan berkaitan dengan materi spesies partikular, entitas-entitas yang terpisah dari materi spesies partikular dalam pemahaman kognitif, tetapi tidak dalam dunia nyata, dan entitas-entitas yang terpisah dari gerak dan materi baik di dunia nyata maupun dalam pemahaman kognitif.

Sementara pada ranah praksis ilmu, Allah dalam firman-Nya menegaskan ada tiga macam alat manusia yang memungkinkan manusia memanusiakan dirinya melalui ilmunya; yaitu pendengaran, penglihatan, dan penghayatan. Hal ini tercermin dalam firman Allah dalam Al-Quran surat as-Sajadah : 9 yang artinya: “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.”

Dari sini dapat dilihat potensi-potensi manusia yang merupakan alat untuk memeperoleh pengetahuan. Pertama: as-sama` atau pendengaran yang berarti terkait dengan kemampuan verbal. Sementara kemampuan verbal sendiri sangat erat hubungannya dengan kemampuan rasional. Dengan demikian as-sama’ juga berarti kemampuan manusia untuk berfikir rasional. Bahasa lain yang digunakan untuk kata ini adalah al-‘aql atau akal.

Kedua: al-bashar atau penglihatan. Hal ini terkait dengan fungsi mata, yang berarti pengamatan terhadap entitas material. Sementara ketiga: al-fuad atau hati, merupakan kemampuan manusia mengetahui sesutu yang inmaterial. Ada kemungkinan bahwa ilmul yaqin sebenarnya puncak dari pemahaman verbal, ‘ainul uaqin sebenarnya puncak dari pemahaman visual dan haqqul yaqin sebagai puncak dari pemahaman aktual atau penghayatan ilmu.
Jika dirangkum menjadi satu maka dapat dilihat seperti ini. Objek ilmu pertama adalah afaq atau cakrawala yang berarti gejala-gejala alam. Hal ini bersesuain dengan al-bashara (penglihatan). Dengan demikian alat untuk mencerap pengetahuan tentang gejala-gejala alam adalah al-abshara, Karena objek pertama ini adalah alam, maka kebenarannya adalah kebenaran yang berkaitan dengan hal-hal fisik dan material semata, sebuah kebenaran yang dapat dipahami dan dikuasai dengan menggunakan metode empiris.

Objek kedua ilmu penegtahuan adalah anfus yang berkaitan ilmu-ilmu humaniora. Hal ini bersesuaian dengan al-sama’ atau kemampuan verbal yang juga berkait dengan kemampuan rasional. Maka sama’ ini merupakan alat unutk memahami keilmuan humaniora. Dan metode yang digunakan adalah rasional demonstratif.

Sementara objek ilmu yang ketiga adalah al-haq. Untuk memahami yang al-Haq tadi adalah dengan hati atau fuad, karena di sanalah ruh ilahiah berada. Metode yang digunakan adalah metode intuitif, atau dzauqiyah. Metode ini sering berkaitan dengan pengalaman mistik seseorang. Metode ini dilakukan dengan jalan perenungan atau kontemplasi secara intens mendalam. Dengan kontemplasi jiwa mansia makin dibersihkan dan berhasil naik ke sumber kenyataan, dengan semuanya diemanasikan dari-Nya.

3. Struktur dan Konteks Ilmu
Struktur ilmu dalam Islam dapat diketahui dalam firman Allah SWT QS. An-Nisa 113 yang artinya: “… Allah Telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan Telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.

Berdasarkan ayat ini jelas terdapat hirarki al-Kitab, al-Hikmah dan al-‘Ilmu yang merupakan kesatupaduan atau integralitas ilmu. Jadi dalam Islam ilmu mempunyai landasan al-Hikmah, sedangkan al-Hikmat harus berlandasakan al-Kitab sebagai kumpulan wahyu sabda Ilahi pada para rasul-rasul-Nya.

Ilmu yang dimaksud oleh Armahedi dalam konteks ini adalah sains, sehingga sains harus berlandaskan pada al-Hikmat atau paradigma keilmuan, dan al-hikmah harus berlandaskan pada nilai-nilai Al-Quran.

Pada konteks keilmuan Barat saat ini, Armahedi melihat ada suatu dikotomi yang kemudian berujung pada prinsip ilmu bebas nilai. Hal ini menurutnya bertentangan dengan paradigma kelimuan dalam Islam. Karena dalam Islam terdapat kesatupaduan ilmu, etika dan agama. Dalam hal ini Armahedi merujuk pada QS. Luqman : 20. “Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.

Urutan Penyebutan al-‘ilmu, al-huda dan al-kitab menyarankan adanya hirarki ilmu – etika - religi. Dengan demikian tidak ada penggunaan iilmu yang menyimpang dari etika dan agama, karena semua itu sesengguhnya adalah sebagai upaya untuk mensyukuri nikmat Allah SWT.

Dengan menggunakan metode analisis strukturalisme Levi Strauss, Armahedi mencoba untuk melihat paradigma keilmuan modern. Di sini Armahedi menemukan struktur-struk keimuan modern. Struktur pertama terdiri dari ilmu pengetahuan-seni-teknologi. Dan yang kedua adalah filsafat-misti-etik. Mistik menjadi fondasi bagi seni. Filsafat menjadi fondasi bagi ilmu pengetahuan, sementara teknologi harus berlandaskan pada etika.

Setelah menelusuri paradigma keilmuan barat tersebut, Armahedi melihat masih adanya perpisahan antara kelimuan tersebut, bahkan kadang sering bertentangan satu sama lainnya. Terlebih lagi paradigma tersebut masih bersifat skular. Untuk itu dia malakaukan penelusuran dalam paradigma keilmuan Islam dan menemukan struktur tauhid-tasawuf-fiqih. Karena Islam menekankan keseimbangan antara yang lahir dan batin, individu dan kolektif, maka struktur ini menjadi penengah antar ilmu pengetahuan-seni-teknologi dan filsafat-mistik-etika. Ketiga struktur ini harus menjadi satu kesatuan yang utuh dan seimbang.

Kaki Ilmu pengetahuan-tauhid-filsafat menyangkut pikiran-pikiran manusia. Seni-tasawuf-mistik berkaitan dengan perasaan. Sementara tekonologi-fiqh-etika berkaitan dengan tingkah laku manusia. Jika diperhatikan dengan seksama, kaki struktur di atas menyangkut fungsi-fungsi “kognitif”, “afektif” dan “konatif” (psikomotorik-penulis) dari kesadaran manusia. Atau dalam bahasa lain fikr, dzikr dan ‘amal.

Dalam pandangan integralisme, realitas pastilah mempanyai kelima struktur wujud sebagaimana dijelaskan di atas, yaitu sumber, nilai, informasi, energi dan materi. Begitu juga dengan ilmu yang juga mempunyai ontologinya sendiri. Ilmu juga harus mempunyai kelimanya. Dengan demikian akan didapatkan satu struktur keilmuan Islam sebagai berikut:


Struktur Keilmuan Islam

Kategori Integral Disiplin Keilmuan
Sumber Ilmu-ilmu Al-Quran
Nilai Ilmu-ilmu keagamaan
Informasi Ilmu-ilmu kebudayaan
Energi Ilmu-ilmu terapan
Materi Ilmu-ilmu kealaman

Dengan demikian Al-Quran menjadi sumber dan ruh bagi keilmuan-keilmuan yang lainnya. Dia menjadi sumber karena dalam Al-Quran terdapat prinsip-prinsip keilmuan sosial, budaya, alam dan terapan yang akan bermanfaat dalam kehidupan manusia

04 Agustus 2008

Menyegarkan Kembali Keyakinan Muslim

Oleh: Zubaer At

Keyakinan adalah pengikat esensi manusia dengan Tuhan. Yang disebut Pengikat adalah sesuatu yang lebih kuat dari rasa lapar, rasa sakit, keinginan, rasa marah, rasa sedih, rasa prihatin, rasa frustasi dan apapun. Agar teruji sejauh mana keyakinan atau kepercayaan kepada sesuatu yang Maha dari lainnya.

Sebagai contoh tradisi jepang, ketika seseorang membuat kesalahan yang berakibat menyakiti orang lain apalagi bangsanya, maka orang tersebut dituntut secara tradisi dan kepercayaan untuk bunuh diri, sebagai penebusan dosa mesti tidak sebanding dengan kesalahan.tapi bunuh diri dalam konsep tradisi jepang adalah suatu kepercayaan Adiluhung yang harus dipertahankan untuk menjaga keimbangan kosmologi.

Berbeda dengan orang Islam, seorang muslim ketika meyakini betul akan keber-Islam-an, maka dia harus rela dan ikhlas melepaskan jasadnya untuk meluhurkan batinnya agar diberikan kepada sang pencipta. karena segala sesuatu yang berikan kepada manusia dari Tuhannya merupakan fasilitas dan sarana untuk beribadah,tidak kurang dan tidak lebih, ketika ada peluang berkorban, maka seorang muslim haruslah Fastabikul khoirot dalam menyambutnya. hal ini dalam Islam merupakan hadiah diatas hadiah yakni bertemu dengan wajah pengikat Awal-akhir sewaktu berikrar setia dimana saat masih berupa janin yang suci.

Wajar, ketika Umat Islam mengajarkan rukun Islam, pertama adalah syahadatain; ashadu alla ilaha illallah, waanna Muhammad Rasulullah yang mempunyai dua makna pokok, pertama, bahwa manusia bersaksi, berjanji dan bersumpah tidak ada apapun yang dapat menjadi tuhan selain Allah. Syahadah pertama ini sebagai pengikat seseorang dengan sesuatu yang abtrak atau ghaib, maka ketahuilah bahwa yang ghaib tidak bisa didekati dengan sesuatu yang material,maka haruslah didekati dengan keghaiban yang kita miliki, hal ini sering disebut dengan mistisisme atau spiritualitas.

Kedua, mempunyai makna lebih kongkrit dari yang pertama yakni Muhammad yang berbentuk manusia sebagaimana kita harus kita percayai sebagai pembawa risalah Allah di bumi, sehingga manusia tidak ada alasan lagi untuk menolak ataupun tidak melaksanakan perintah/ajaran yang diajarkan beliau sebagai hukum atau norma agar keseimbangan manusia dengan alam, manusia dengan sesamanya dan Tuhannya dapat terwujud.sebaliknya, ketika manusia melanggar maka kehancuran dan bencana akan terjadi dimana-mana. percayalah dari pernyataan diatas menyatakan bahwa apapun yang terjadi dalam diri manusia dhahir dan batin, internal ataupun eksternal adalah perbuatan manusia itu sendiri.

Kembali lagi kepada keyakinan, manusia akhir-akhir ini secara fenomenologis telah banyak meninggalkan atau melanggar janji-janji kepada sang pengikat, wajar jika manusia semakin hari semakin tidak menunjukkan kediriannya, tapi sebaliknya menunjukkan wajah garang seperti segala sesuatu dihadapannya adalah makanan.tanpa aturan.tanpa memperdulikan satu sama lain.

Sebagai muslim yang baik, untuk mengetahui lebih dalam tentang keyakinan maka yang harus dilaksanakan adalah memahami secara konseptual-akliyah tentang kesadaran keber-tuhanan. Kesadaran ini akan dapat dimengerti seseorang ketika dia mau dan sungguh-sungguh mempelajari sejarah-sejarah konsepsi akan kebertuhanan bukan tuhan.sebagaimana karen amstrong dalam buku-bukunya,mesti non-muslim, dia sangat bagus memberikan eksplorasi akan kebertuhanan berbagai agama walau secara pengalaman mistis keberislaman tidak banyak ditampilkan. Kita tahu, bahwa mistis adalah inti ajaran,salah satu contohnya adalah manunggal.
Nah, ketika telah mengerti tentang kesadaran kebertuhanan, seseorang harus dapat mempelajari atau menjelaskan akan pengaruh dan perkembangan kebertuhan tadi dalam mempengaruhi manusia yang berimplikasi kepada perubahan di masing-masing zaman. Hal ini penting, untuk mengetahui sejauhmana suatu konsepsi diterapkan dalam keseharian.dan juga sejauhmana memberikan kesadaran baru akan keberanekaragaman ekspresi keberagamaan manusia.kalau ini terjadi, maka tidak ada lagi klaim kebenaran satu ekspresi, yang ada adalah kesalingmengertian sehingga spiritualitas dapat dikembangkan dan diaplikasikan dalam keseharian.

Kalau kita masih ingat, bagaimana isu-isu islamisasi dikembangkan, bagaimana pengilmuan Islam ditunjukkan, bagaimana liberalisasi hidup dan bagaimana reaksi masyarakat muslim tentang hal-hal tersebut diatas. Nyata, aneh atau menggembirakan,hanya orang yang mempunyai kesadaran keagamaanlah yang akan tertawa dan berkata "alhamdulillah", sambil mengatakan dalam hati dengan mengutip hadis nabi;"baik-baik seorang muslim bukan orang yang dekat dengan aku (nabi) sekarang,bukan orang soleh sekarang, tapi seorang muslim yang hidup diakhir zaman dan jauh dari saya tapi tetap konsisten menjalankan sunnah-sunnahku secara keseluruan".

Jika, isu-isu, konsepsi dan perkembangan keberislaman telah ditangkap menjadi kesadaran keseharian, maka waktunyalah seorang muslim yang berkaitan dengan keyakinan dapat mengeksplorasi pengalaman-pengalaman religiusitasnya serta mengpresiasikan dengan muslim yang lain, agar dari pengalaman tersebut dapat membuahkan hikmah-hikmah yang dapat mengembangkan religiusitas yang lainnya. kadang memang pengalaman lebih penting daripada konsepsi pengetahuan.apalagi yang terkait dengan rasa.

Sampai ke Rasa inilah, seorang muslim menguji keyakinannya.apakah betul-betul menyakini akan Tuhannya hanya sekedar ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan yang omong-kosong,hampa dan tidak bermakna atau mutiara. Buktinya kongkritnya sederhana, yakni apakah seseorang tersebut istiqomah, konsisten dan berpegangteguh terhadap keyakinan tersebut dengan amal soleh atau apa!.artinya, orang tersebut selalu dan dimanapun melakukan tindakan-tindakan yang tidak mementingkan diri sendiri atau serakah apalagi sampai-sampai tidak mau berbagi dengan yang lain, dengan kesadaran bahwa alam semesta terbatas sedang kita hidup bersama maka berbagi adalah keniscayaan.

Rasa dalam keyakinan bukanlah selera yang dapat seenak perut kita memilih dan mencicipi, tapi rasa dalam keyakinan muslim adalah kedekatan atau kemelekatan selalu dengan tuhannya, tanpa mempedulikan apa yang Dia kasih atau wujud apa yang kita terima.kita hanyalah debu yang menempel dibebatuan lalu kena hujan, tak bermakna dihadapan tuhan.
Sampai sejauh inikah keyakinan kita diujikan!.

Rasa itupun tidaklah cukup untuk menjelaskan keluasan dan pentingnya suatu keyakinan, karena setelah rasa ada kerinduan yang mendalan akan inti kehakikatan wujud kemanusian, bukan meniadakan potensi atau unsur hawa setanian yang ada dalam diri manusia itu salah,tapi bagaimana seoarang selalu mengatakan "tidak" kepada melupakan Allah. Dan selalu ingin dan ingin bersama.

Satu tingkat lagi dari kehakikatan keyakinan adalah kema’rifatan yang didambakan. Kema’rifatan bukanlah pelajaran yang dapat dipelajari secara tekstual dalam buku-buku tapi lebih banyak berbentuk Riyadho atau latihan-latihan ketiadaan diri atau lebih tepatnya penyingkapan tirai-tirai keilahian yang ada dalam keinsanian.
Wallahu a’lam.

Bagaimana menjelaskan
Dari penjelasan diatas, saya ingin mengatakn bahwa materi keyakinan muslim yang harus disampaikan adalah pertama,makna dasar dari keyakinan dan implikasinya. Kedua,konsepsi-konsepsi kebertuhanan manusia dari masa-kemasa. Ketiga,sejauhnya pemahaman konsepsi kebertuhanan mempengaruhi zaman dan coraknya. Keempat,bagaimana kita memahami isu-isu atau fenomena keagamaan yang terjadi disini (Indonesia) dengan wilayah lain seperti timur tengah, malaysia dll.kelima, bagaianmana kita dapat menumbuhkan peserta untuk shering tentang pengalaman religiusitas agar dapat memetik hikmah-hikmah. Keenam, pemateri dapat menumbuhkan imajinasi-kereatif kepada peserta bagaimana para salik menempuh jalan menuju ilahi.

Adapaun metode menjelaskan harus sesuai dengan kemampuan pemateri dalam arti keilmuan yang ditekuni. tapi harus diingat jangan sampai satu corak pemikiran saja yang ditampilkan.contohnya, dalam menjelaskan pemikiran ada baiknya menggunakan filsafat sebagai media, menjelaskan pengalaman dengan tasawwuf, menjelaskan realitas dengan fakta-fakta sosial yang sedang berkembang, dan jangan lupa dengan dalil-dalil al-Qur’an seminimal mungkin dapat juga di tunjukkan.

Disampaikan pada Trainer of Trainer KPC HMI Cabang Jogjakarta pada tanggal 15 Maret 2008

Kita Di Hari Kemudian[1]

Iqbal Hafidz Hakim [2]

Maka tidak mengherankan bila fisikawan sekaliber Albert Enstein dalam puisi Spinoza Ethic[3] memberikan pujian bagi Spinoza. Tidak sebatas pujian, Enstein pun menjadi makmum baginya dalam hal keyakinanan pada yang satu. Yang tak terdefinisikan. Segala sesuatu bersumber dari yang satu, karenanya Dia ada bukan dari tiada, awal dan akhir. Sehingga bukan bualan enstein untuk selanjutnya terkait eksplorasi kosmos, baik mikro maupun makro mengatakan ‘ Tuhan tidak bermain dadu “.

Yang Satu itu disebut kawan Yang Agung oleh filosof eksistensialis William james. Kawan yang Agung menjadi mutlak keberadaannya bagi manusia sebagai kawan dalam mencipta (co creator). Menurutnya manusia tidak akan pernah hidup tentram sebelum ia berteman dengan Kawan yang Agung. Dengan memahami dan menjalani hal tersebut manusia tidak akan menglami kekosongan eksistensial (existential vacuum). Hidup ini tidak nihil, bukanlah sesuatu yang absurd. Hidup ini penuh makna.

Apa hidup itu ?
Dari mana hidup itu ? Inna Lillahi Wainna Ilaihi Rajiun
Untuk apa hidup ?

Ya, memahmai apalagi menginternalisasi nilai tersebut tidaklah mudah, karenanya berjuang dan berkorban adalah jawaban yang tersisa. Bahwa orientasi subtansial hidup kita dalam ruang perjuangan dan pengorbanan adalah yang satu dalam bahasa Spinoza atau kawan yang agung bagi James. Dengan begitu konsepsi kita mengenai hari kemudian tidak lah semata-mata konsepsi ruang dan waktu setelah di dunia (pasca sejarah) atau kita sering menyebutnya hari qiyamah, hari akhir atau pun hari-hari yang menyeramkan lainya. Hari kemudia juga merupakan hari-hari sebagaimana kita melaluinya di dunia ini (sejarah). Dimana aktivitas berpikir sebelum bertindak adalah konsekuensi logisnya.

……Namun semua janji itu bukan untuk menjadikan manusia takut atas ancaman juga tidak membuat manusia berharap imbalan di hari kemudian, namun agar sadar atas pilihannya yang memiliki akibat di hari kemudian.[4]

Aktivitas berpikir tadi mengantarkan kita pada tindak rasional (pilihan sadar) yang menekankan akan adanya pertanggung jawaban di hari kemudian dalam rentang sejarah maupun pasca sejarah. Sehingga potensi-potensi yang diberikan oleh Tuhan mampu diaktualisasikan kita sebagai makhluk terindah secara optimal, tidak terjatuh pada silap fatalis, yaitu sikap yang menolak kehendak manusia, bahwa segala perbuatan berasal dari Allah.
Konsekuensinya kehidupan di dunia bukanlah sesuatu yang harus di tinggalkan. Manusia harus berusaha mendapatkan apa yang harus ia dapatkan, bahkan Allah memperkenankan manusia untuk beroleh kebahagian darinya[5]…

Kenyataan tersebut menjadi penting karena islam memang tidak mengajarkan faham yang menuntut agar kehidupan manusia selalu menderita di dunia untuk mencapai kebahagian di akhirat. Islam mengajarkan keharmonisan yang dinamis.

Dan dua jam yang lalu saya masih berdiri di tengah kota, di tengah-tengah orasi yang membahana sepertinya mengguncangkan arsyi. Gelegar teriak “hidup rakyat”. Sahut menyahut suara lantang “kapitalisme”, “imperealisme”…….. Hancurkan, musnahkan. Tiba-tiba saya teringat sebuah lagu :

Aku bisa menjadi raja yang paling ditakuti
Aku bisa taklukan semua bangsa-bangsa di dunia
Tapi apa artinya bila Kau tak cinta
Apa artinya dunia yang bisa kugenggam bila tak ada cinta dari MU untuk ku
Aku bukanlah siapa-siapa bila tak ada cinta dari MU untuku.[6]

Sekian, terima kasih. Selanjutnya mari kita diskusikan…………….

Catatan Kaki:
[1] Disampaikan pada Batra kolektif uin sunan kalijaga, tangggal 30 April 2008
[2] Tukang nongkrong di HMI
[3] Puisi ini pernah dibacakan di kota gede (narti silver) dalam rangka memperingati keruntuhan Andalusia yang diselenggarakan oleh komunitas Jadzab tanggal 28 April.
[4] Khitoh perjuangan.
[5] ibid
[6] Dinyanyikan Ahmad Dhani dengan judul aku bukan siapa-siapa