SELAMAT DATANG DI CYBER MEDIA KP HMI CABANG YOGYAKARTA

05 Agustus 2008

Ilmu dalam Perspektif Integralisme

Oleh: M. Habibi

Pembicaraan tentang ilmu, dalam kajian filsafat sering disebut sebagai kajian epistemologi, yaitu bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Epistemologi seseorang tidak bisa lepas dari pandangan dia tentang ontologi. Dengan demikian, epistemologi di sini tentu tidak bisa lepas dari pandangan tentang kesatuan wujud sebagaimana dijelaskan di atas. namun sebelum berbicara tentang integrasi ilmu, akan dibicarakan terlebih dahulu tentang perspektif yang kita gunakan, yaitu integralisme.


Asal Mula Integralisme
Pada tahun 1970-an para pemuda Amerika berbondong-bondong memasuki daerah-daerah pedalaman. Hal ini terjadi karena krisis eksistensi diri yang disebabkan oleh serangan gaya hidup modern. Mereka meninggalkan kehidupan mewah mereka dan bergabung dengan suku-suku pedalaman. Mereka tinggal di pedalaman bersama komune-komune pedalaman tersebut.

Sekilas memang terasa aneh, karena secara ekonomi mereka telah menempati pada posisi yang mapan, tidak kekurangn harta benda yang bisa menjamin kelangsungan hidup mereka. Namun orang akan mengerti dan memahami fenomena tersebut setelah mengetahui apa sebenarnya yang mereka inginkan.

Kehidupan modern yang terlalu mengunggulkan akal dan menjadikannya raja membuat pemuda-pemuda ini terasa kering dan terasing, bahakan dengan diri mereka sendiri. Mereka melihat ada satu bagain kehidupan ini yang hilang, sehingga kehidupan mereka terasa parsial. Dan sesuatu yang hilang tersebut mereka temukan di masyarakat pedalaman, masyrakat tradisional. Yang mereka cari adalah spiriualitas yang membawa kesejukan dalam kehidupan mereka. Spiritualitas inilah yang hilang dalam kehidupan Barat modern, diakibtakan oleh pandangan saintifik positifistik.

Setelah bermukim beberapa lama di pedalaman bersama suku-suku Indian tersebut, para pemuda ini ternyata tidak hanya sekedar menemukan spiritualitas, dimensi yang hilang dalam kehidupan Barat modern, tetapi dengan spiritualitas ini pula mereka justru menemukan suatu pandangan yang lebih menyeluruh terhadap realitas. Di sini mereka mendapatkan kesadaran akan kemenyeluruhan atau sering disebut holon yang kemudian dikenal dengan holisme. Mereka kemudian membuat gerakan yang mereka sebut gerakan pasca-modernisasi. Berbeda dengan gerakan mereka sebelumnya yang meninggalkan modernitas dan masuk ke pedalaman, gerakan mereka kali ini justru mensintesakan yang tradisional dengan yang modern.

Secara aksiologi, holisme dibangun oleh para pecinta lingkungn. Secara epistemologis dibangun oleh para psikolog yang memasukan pengalaman mistik sebagai salah satu cara memperoleh pengetahuan. Sementara pada ranah ontologi dibangun oleh fisikawan Fritjof Capra yang mengatakan bahwa ada kesejajaran antara partikel material dengan kesadarn mistis Timur.

Setelah mengamati pandangan holisme tersebut, Armahedi Mahzar, seorang iteknosof dan pengajar di ITB, menyimpulkan bahwa sebenarnya umat Islam tidak perlu untuk meninggalkan dunia mereka dan beralih mencari dunia lain di pedalaman sebagaimana yang telah dilakukan oleh pemuda-pemuda Barat, karena Islam sendiri telah memiliki konsep kesatupaduan. Konsepsi kesatupaduan dalam Islam telah banyak ditafsirkan oleh pemikir di kalangan muslim sendiri, seperti Ibn Arabi dan Mulla Shadra. Namun sebagai filsafat tradisional Islam, kedua filsafat tersebut dan filsafat Islam tradisional lainnya tidak cukup untuk menampung perkembangan keilmuan saat ini. Dari sinilah kemudian lahir filsafat integralisme atau al-himah al-wahdatiyah.

Integralisme adalah filsafat yang konsep sentralnya adalah integralitas, yaitu keseluruhan bagian-bagian yang bersatu padu berdasarkan suatu struktur tertentu. Dengan kata lain, integralisme merupkan wawasan kemenyeluruhan dalam memandang segala sesuatu: baik sain dan teknologi dan seni, maupun budaya dan agama. Integralisme melihat semua itu sebagai satu kesatupaduan yang tak bisa dipecah ataupun dipisahkan dari kesepaduan realitas.

Berbeda dengan integrasi pada pandangan holisme, integralisme menyarankan dua integrasi yang internal dan yang eksternal. Integrasi internal adalah upaya menyelarasikan tubuh kita dengan ruh kita melalui rantai instink, inteligensi dan intuisi. Sedangkan integrasi eksternal adalah menghubungkan diri kita dengan Tuhan melalui lingkungan hidup, alam semesta dan alam gaib.

Dari sini nampak jelas bahwa basis keilmuan Armahedi serta pandangan dia tentang kesatupaduan menempatkan dia pada sayap kanan dalam pemikiran kaum posmodernisme. Istilah integralisme sendiri sebenarnya telah dipakai oleh Sri Aurobindo (1872-1950), yang terkenal dengan integral yoganya. Selain itu, istilah ini juga dipakai oleh Ken Wilber, seorang filosof yang menggabungkkan antara sains modern dan spiritualitas tradisional, sehingga Armahedi sering menyebut filsafatnya sebagai Integralisme Islam. Dikatakatan integralisme Islam karena Armahedi menambahkan deminsi-dimensi keislaman pada integralisme universal Wilber.

Armahedi juga menyebut filsafatnya sebagai pos-strukturalisme timur. Menurutnya ada dua alasan mengapa integralsime disebut sebagai Pos-struktrukturalisme Timur ,

karena lahirnya di Indonesia yang di Asia yang menurut orang Barat ada di Timur. Saya sebut pos-strukturalisme karena integralisme memang bermula dari strukturalisme yang diterapkan untuk filsafat Eropa, bukan mitologi Indian seperti yang diterapkan oleh Levi-Strauss, lalu dilampaui dalam suatu filsafat Integralisme. … Alasan kedua: integralisme universal yang dikembangkan Ken Wilber, sebagai posmodernisme konstruktif melampaui postrukturalisme, sebagian besar berdasarkan filsafat India: Budhisme dan Vedantisme.

Dengan demikian, kemunculan filsafat integralisme ini merupakan kelanjutan sekaligus sintesis dari filsafat tradisional Islam dan filsfat Barat moder.

Integrasi Ilmu
Pembicaraan tentang ilmu, dalam kajian filsafat sering disebut sebagai kajian epistemologi, yaitu bagaimana cara memperoleh pengetahuan. Epistemologi seseorang tidak bisa lepas dari pandangan dia tentang ontologi. Dengan demikian, epistemologi di sini tentu tidak bisa lepas dari pandangan tentang kesatuan wujud sebagaimana dijelaskan di atas. Konsepsi wujud yang mengakomodir dunia metafisik di atas menjadi pondasi bagi terbangunnya sebuah epistemologi, karena sebagai muslim yang mempunyai kepercayaan penuh pada dunia metafisik, maka seorang ilmuwan muslim harus menyusun atau memiliki sebuah epistemologi yang cocok dengan kepercayaan yang dianutnya.

Berbicara tentang ilmu, maka ada beberapa hal yang harus dibahas, yaitu sumber, objek, struktur dan konteks ilmu. Keempat hal ini akan menjadi satu kesatuan yang utuh.

1. Sumber Ilmu
Sebagai seorang muslim, Armahedi meyakini bahwa dalam Islam sumber semua ilmu adalah satu, yaitu Allah SWT. Yang Maha Esa, Kepercayaan seorang muslim akan Allah sebagai Tuhan Yang maha Esa mempunyai implikasi yang sangat luas. Keyakian yang menandaskan akan ke-esa-an Tuhan dalam Islam disebut dengan tauhid.

Menurut Musa Asy’arie, tauhid yang seakar dengan angka satu, wahidah, tidak merujuk pada pada makna angka satu saja, tetapi lebih dari itu, juga berkaitan dengan problem subtansial tunggal dan proses. Subtansi tunggal artinya dia tidak terbagi-bagi. Ia menjadi sumber realitas yang ada. Lebih jauh lagi dia mengatakan bahwa tauhid ini bukanlah satu kepercayaan yang dinyatakan dalam pengakuan saja, akan tetapi merupakan suatu pandangan hidup yang selalu diwujudkan dalam realitas kehidupan muslim.

Allah sebagai sumber segala ilmu dapat dilihat dari bagaimana Allah mengenalkan diri-Nya sebagai `Aliim atau Yang Maha Mengetahui, bahkan Allah sendiri adalah ilmu itu sendiri.

2. Objek dan Praksis Ilmu
Dalam melihat objek ilmu, Armahedi melakukan pengamatan terhadap ayat-ayat Al-Quran. Menururtnya, meski Al-Quran menyebut ilmu dalam kontek yang berda, namun objeknya dijelaskan secara gamblang, yaitu “al-Quran” dan “al-Bayan”. Hal ini terdapat dalam firman Allah SWT sebagai surat Ar-rahman 1-4:
Artinya: (Tuhan) yang Maha pemurah. Yang Telah mengajarkan Al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara. (QS. Ar-Rahman 1-4).


Al-Quran yang dimaksud oleh Armahedi bukan al-Quran sebagaimana artian firman Allah SWT yang telah terkodifikasikan, tetapi al-Quran dalam artian yang lebih luas yang merujuk pada makna asalnya, yaitu bacaan. Bacaan dalam arti lebih luas lagi adalah pengumpulan atanda-tanda atau “ayat”. Untuk memahami ayat ini dibutuhkan alat, yaitu bahasa atau al-bayan.

Terkait dengan “ayat”, Allah SWT menjelaskan dalam firman-Nya dalam surat Fushshilat :53. Artinya: Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?.

Dalam ayat Quran suci di atas jelas Allah SWT menegaskan bahw ayat-ayat itu adalah cakrawala (afaq) dan di dalam diri-diri (anfus) manusia. Selanjutnya ayat ini menjelaskan bahwa ayat-ayat tersebut diciptakan agar manusia memahami kebenaran (al-Haq) yaitu Yang Maha Pencipta, Allah SWT dan firman-Nya Al-Quran. Dengan demikian di sini ada tiga entitas yang berbeda yang merupakan obyek limu pengetahuan.

Pertama adalah al-afaq atau cakrawala. Hal ini berkaitan dengan objek material yang berada di eksternal diri manusia yaitu gejala-gejala alam. Menurut Mulyadhi Kartanegara, objek-objek material inilah yang memungkinkan munculnya ilmu-ilmu alam, seperti fisika, biologi dan kimia.

Kedua adalah anfus atau sesuatu yang berada dalam diri manusia. Pada bagian ini terkait dengan ilmu-ilmu kemanusia atau humaniora, seperti pskiologi, sosiologi dan antropologi. Ketiga adalah al-Haq atau Allah dan Al-Quran. Pada sisi ini akan melahirkan ilmu-ilmu keagamaan seperti fiqih, teologi, dan tashawuf.

Pembagian objek ilmu Armahedi ini sama dengan pembagian yang dilakukan oleh Ibn Shina. Sebagaimana dikutip oleh Mulyadhi Kartanegara, Ibnu Shina membagi objek ilmu dalam tiga hal, yaitu entitas-entitas yang bergerak dan berkaitan dengan materi spesies partikular, entitas-entitas yang terpisah dari materi spesies partikular dalam pemahaman kognitif, tetapi tidak dalam dunia nyata, dan entitas-entitas yang terpisah dari gerak dan materi baik di dunia nyata maupun dalam pemahaman kognitif.

Sementara pada ranah praksis ilmu, Allah dalam firman-Nya menegaskan ada tiga macam alat manusia yang memungkinkan manusia memanusiakan dirinya melalui ilmunya; yaitu pendengaran, penglihatan, dan penghayatan. Hal ini tercermin dalam firman Allah dalam Al-Quran surat as-Sajadah : 9 yang artinya: “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.”

Dari sini dapat dilihat potensi-potensi manusia yang merupakan alat untuk memeperoleh pengetahuan. Pertama: as-sama` atau pendengaran yang berarti terkait dengan kemampuan verbal. Sementara kemampuan verbal sendiri sangat erat hubungannya dengan kemampuan rasional. Dengan demikian as-sama’ juga berarti kemampuan manusia untuk berfikir rasional. Bahasa lain yang digunakan untuk kata ini adalah al-‘aql atau akal.

Kedua: al-bashar atau penglihatan. Hal ini terkait dengan fungsi mata, yang berarti pengamatan terhadap entitas material. Sementara ketiga: al-fuad atau hati, merupakan kemampuan manusia mengetahui sesutu yang inmaterial. Ada kemungkinan bahwa ilmul yaqin sebenarnya puncak dari pemahaman verbal, ‘ainul uaqin sebenarnya puncak dari pemahaman visual dan haqqul yaqin sebagai puncak dari pemahaman aktual atau penghayatan ilmu.
Jika dirangkum menjadi satu maka dapat dilihat seperti ini. Objek ilmu pertama adalah afaq atau cakrawala yang berarti gejala-gejala alam. Hal ini bersesuain dengan al-bashara (penglihatan). Dengan demikian alat untuk mencerap pengetahuan tentang gejala-gejala alam adalah al-abshara, Karena objek pertama ini adalah alam, maka kebenarannya adalah kebenaran yang berkaitan dengan hal-hal fisik dan material semata, sebuah kebenaran yang dapat dipahami dan dikuasai dengan menggunakan metode empiris.

Objek kedua ilmu penegtahuan adalah anfus yang berkaitan ilmu-ilmu humaniora. Hal ini bersesuaian dengan al-sama’ atau kemampuan verbal yang juga berkait dengan kemampuan rasional. Maka sama’ ini merupakan alat unutk memahami keilmuan humaniora. Dan metode yang digunakan adalah rasional demonstratif.

Sementara objek ilmu yang ketiga adalah al-haq. Untuk memahami yang al-Haq tadi adalah dengan hati atau fuad, karena di sanalah ruh ilahiah berada. Metode yang digunakan adalah metode intuitif, atau dzauqiyah. Metode ini sering berkaitan dengan pengalaman mistik seseorang. Metode ini dilakukan dengan jalan perenungan atau kontemplasi secara intens mendalam. Dengan kontemplasi jiwa mansia makin dibersihkan dan berhasil naik ke sumber kenyataan, dengan semuanya diemanasikan dari-Nya.

3. Struktur dan Konteks Ilmu
Struktur ilmu dalam Islam dapat diketahui dalam firman Allah SWT QS. An-Nisa 113 yang artinya: “… Allah Telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan Telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.

Berdasarkan ayat ini jelas terdapat hirarki al-Kitab, al-Hikmah dan al-‘Ilmu yang merupakan kesatupaduan atau integralitas ilmu. Jadi dalam Islam ilmu mempunyai landasan al-Hikmah, sedangkan al-Hikmat harus berlandasakan al-Kitab sebagai kumpulan wahyu sabda Ilahi pada para rasul-rasul-Nya.

Ilmu yang dimaksud oleh Armahedi dalam konteks ini adalah sains, sehingga sains harus berlandaskan pada al-Hikmat atau paradigma keilmuan, dan al-hikmah harus berlandaskan pada nilai-nilai Al-Quran.

Pada konteks keilmuan Barat saat ini, Armahedi melihat ada suatu dikotomi yang kemudian berujung pada prinsip ilmu bebas nilai. Hal ini menurutnya bertentangan dengan paradigma kelimuan dalam Islam. Karena dalam Islam terdapat kesatupaduan ilmu, etika dan agama. Dalam hal ini Armahedi merujuk pada QS. Luqman : 20. “Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.

Urutan Penyebutan al-‘ilmu, al-huda dan al-kitab menyarankan adanya hirarki ilmu – etika - religi. Dengan demikian tidak ada penggunaan iilmu yang menyimpang dari etika dan agama, karena semua itu sesengguhnya adalah sebagai upaya untuk mensyukuri nikmat Allah SWT.

Dengan menggunakan metode analisis strukturalisme Levi Strauss, Armahedi mencoba untuk melihat paradigma keilmuan modern. Di sini Armahedi menemukan struktur-struk keimuan modern. Struktur pertama terdiri dari ilmu pengetahuan-seni-teknologi. Dan yang kedua adalah filsafat-misti-etik. Mistik menjadi fondasi bagi seni. Filsafat menjadi fondasi bagi ilmu pengetahuan, sementara teknologi harus berlandaskan pada etika.

Setelah menelusuri paradigma keilmuan barat tersebut, Armahedi melihat masih adanya perpisahan antara kelimuan tersebut, bahkan kadang sering bertentangan satu sama lainnya. Terlebih lagi paradigma tersebut masih bersifat skular. Untuk itu dia malakaukan penelusuran dalam paradigma keilmuan Islam dan menemukan struktur tauhid-tasawuf-fiqih. Karena Islam menekankan keseimbangan antara yang lahir dan batin, individu dan kolektif, maka struktur ini menjadi penengah antar ilmu pengetahuan-seni-teknologi dan filsafat-mistik-etika. Ketiga struktur ini harus menjadi satu kesatuan yang utuh dan seimbang.

Kaki Ilmu pengetahuan-tauhid-filsafat menyangkut pikiran-pikiran manusia. Seni-tasawuf-mistik berkaitan dengan perasaan. Sementara tekonologi-fiqh-etika berkaitan dengan tingkah laku manusia. Jika diperhatikan dengan seksama, kaki struktur di atas menyangkut fungsi-fungsi “kognitif”, “afektif” dan “konatif” (psikomotorik-penulis) dari kesadaran manusia. Atau dalam bahasa lain fikr, dzikr dan ‘amal.

Dalam pandangan integralisme, realitas pastilah mempanyai kelima struktur wujud sebagaimana dijelaskan di atas, yaitu sumber, nilai, informasi, energi dan materi. Begitu juga dengan ilmu yang juga mempunyai ontologinya sendiri. Ilmu juga harus mempunyai kelimanya. Dengan demikian akan didapatkan satu struktur keilmuan Islam sebagai berikut:


Struktur Keilmuan Islam

Kategori Integral Disiplin Keilmuan
Sumber Ilmu-ilmu Al-Quran
Nilai Ilmu-ilmu keagamaan
Informasi Ilmu-ilmu kebudayaan
Energi Ilmu-ilmu terapan
Materi Ilmu-ilmu kealaman

Dengan demikian Al-Quran menjadi sumber dan ruh bagi keilmuan-keilmuan yang lainnya. Dia menjadi sumber karena dalam Al-Quran terdapat prinsip-prinsip keilmuan sosial, budaya, alam dan terapan yang akan bermanfaat dalam kehidupan manusia

0 komentar: