SELAMAT DATANG DI CYBER MEDIA KP HMI CABANG YOGYAKARTA

31 Agustus 2009

Reformulasi Gerakan Mahasiswa

Oleh: M. Habibi

Apa arti kemenangan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) bagi gerakan mahasiswa? Mungkin pertanyaan ini bisa menjadi titik pijak bagi tulisan ini, sekaligus juga sebagai titik pijak gerakan mahasiswa untuk menatap masa depan.

Kemenangan SBY dalam satu putaran secara logis tentu menimbulkan tanda tanya, apakah kemenangan ini benar-benar murni atau ada kecurangan di dalamnya? Apa sebenarnya yang telah dilakukan selama perido 2004-2009 sehingga SBY mampu meraup suara yang demikian fantastis?

Jika kita flas back. Tidak banyak sebenarnya yang dilakukan oleh pemerintahan SBY-JK selama ini. Bahkan bisa dikatakan terjadi stagnasi dalam perkembangan kehidupan sosia politik, termasuk juga pada permasalahan korupsi, hukum dan keamanan. Bahkan terakhir, pada pelaksanaan pesta demokrasi, yaitu pemilu legislatif dan prsiden 2009 ini, sejatinya tidak lebih baik dari pemilu sebelumnya. Banyak kekisruhan di sana sini. Kekisruhan yang oleh sebagian pihak kecurangan yang dilakukan secara sistematis, meskipun secara hukum tidak bisa dibuktikan. Namun kita tidak bisa menutup mata, kecurangan itu ada. Dan pemilu yang carut marut itu telah mengantarkan SBY maju kembali sebagai presiden didampingi oleh Budiono, seorng profesional yang secara politik dia tidak mempunyai basis masa. Budiono, yang selama ini bergelut dengan lembaga keuangan, dianggap oleh sebagian pihak sebagai kaki tangan neo-liberalisme. Namun apa mau dikata, kenyataannya dialah yang mendampingi presiden SBY memimpin negara ini.

Kemenangan satu putaran telah membuat kita menggeleng-gelengkan kepala, ditambah lagi kabar yang cukup melukai hati demokrasi. Para kontetstan pemilu yang semula menjadi rival SBY kini justru berduyun-duyun mendekat kepada SBY. Dimulai dari partai Golongan Karya (Golkar), yang memang sedari dulu tidak pernah siap untuk oposisi, kemudian Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan terakhir yang mulai merapat adalah Prabowo Subiyanto dari Gerindra. Lalu siapa yang akan menjadi oposisi, penyeimbang, pada periode pemerintah SBY-Budiono mendatang? Lalu apa arti sebuha pesta demokrasi? Mungkin inilah yang pernah penulis ungkapkan dalam tulisan yang lain, Teater Demokrasi.

Kemengan penuh SBY dan bergabungnya semua partai kontestan Pemilu 2009 semakin membenarkan satu anggapan munculnya otoritarianisme baru, pemerintahan otoriter yang baru, yang tentu berbeda dengan otoritarianisme Orde Baru. Jika pada Orde Baru otoritarianisme menggunakan kekuatan represif, maka otoritarianisme kali ini justru terjadi di alam keterbukaan. Modus yang digunakan adalah bagimana menguasai ruang-ruang publik, lalu dijadikan sebagai propoganda terhadap kebijakan-kebijakan SBY-Budiono. Hal ini bisa dilakukan dengan membiayai lembagai-lembagai survei sebagaimana yang telah dilakuakn saat kampanye. Dan semua itu tidak bisa dilakukan oleh SBY ketika dia tidak mempunayi dana. Dia membutuhkan modal, dari itu dia menggandeng para pemodal, baik pribumi mapun asing. Akan sangat logis bila nantinya kebijakan-kebijakan SBY, sebagaimana juga pada periode sebelumnya, berpihak kepad para pemodal, bukan kepada rakyat, wong cilik.

Tantangan Gerakan Mahasiswa
Kondisi demikian itu menjadi tantangan bagi gerakan mahasiswa (GM). Sepatutnya GM mulai menata diri dan membaca kembali arah geraknya. Dengan tidak adanya opsisi pada pemerintah SBY-Budiono kedepan akan membahayakan nasib demokrasi, karena ketiadaan oposisi berarti juga tidak ada kontrol terhadap jalannya pemerintah ke depan. Di sinilalah GM harus menempatkan diri sebagai oposisi pemerintah. Sebenarnya ini telah dilakukan sedari dulu, namun pasca reformasi, gerakan semacam ini mulai mengendur, untuk itu harus ada langkah perbaikan. GM harus melakukan kritk terhadp penyelenggaraan pemerintahan, memunculkan ide-ide alternatif sebagai penyeimbang dari gagasan-gagasan pemerintah yang tidak pro rakyat.

Ini tentu saja bukan tugas mudah bagai GM, karena kondisi internal di semua GM juga sedang mengalami satu problem tersendiri. Gagasan-gagasan alternatif hanya muncul dengan pemikiran dan perenungan yang mendalam. Perenungan ini akan mendalam hanya dengan adanya banyak kajian-kajian yang mendalam pula yang dilakukan. Pengkajian intensif terhadap permasalahan-permasalah keumatan dan kebangsaan ini akan memberikan satu pijakan berfikir dan bertindak bagi GM. Suatu komunitas, atau gerakan, jika sudah lemah dan jarang melakukan pengkajian dan perenungan yang mendalam terhadap permasalahan yang dihadapinya, pastilah akan mengalami disorientasi, terasing dari dirinya sendiri. Sedikit meminjam perkataan mendiang Pramoedya, kemenangan pertarungan pada hakikatnya adalah kemenangan filsafat atau pemikiran yang mendalam dan sekaligus prinsip.

Sekali lagi ini bukanlah hal yang mudah, karena orang-orang yang berada pada sektor-sektor kekuasaan itu tidak lain adalah senior-senior GM itu sendiri. Mekipun tidak ada ikatan formal organisatoris, namun hubungan antara senioritas dalam GM masih sangat erat sekali. Bahkan, senior-senior ini tidak jarang yang menjadi simpul-simpul GM. Di sinilah GM sudah semestinya mengembalikan semua persoalan pada landasan filosofis-idiologis yang mereka miliki. Siapa pun yang memilki cara pandang yang sama dengan idiologi yang dimilki, maka mereka layak dan berhak untuk dirangkul, berjuang bersama. Namun, siapa pun, jika dia tidak mempunyai cara pandang dan idiologi yang sama dengan GM, tidak selayaknya dia berada dalam baris perjuangan GM, karena dia hanya akan menunggangi GM, menjadi benalu, sekalipun dia adalah senior yang juga pernah ikut membesarkan GM tersebut.

Satu hal lagi yang menjadi problem GM, yaitu kemahasiswaan itu sendiri. Masa tempuh studi yang relatif cepat, menuntut GM juga harus melakukan revlousi perkaderan. Jika selama ini GM merasa terbebani karena dia dituntut untuk bergerak pada ranah masyarakat umum, sehingga banyak GM yang terjun ke sana, ini perlu diperhatikan kembali. Minimnya kader, akan sangat berpengaruh terhadap hal itu. Selain itu pada ranah pengerahan massa, pemberdayaan masyarakat, GM kalah gaung dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kiranya yang sangat penting bagi GM adalah kembali pada basis masanya sendiri, yaitu mahasiswa. Jargon back to campus, kiranya tidak begitu salah. GM harus mampu membentuk martyr-martyr nya lagi, orang-orang yang benar-benar memahami landasan idiologis sekaligus tujuan perjuangannya. Itulah para idiolog-idiolog, yang saat ini semakin sedikit. Menipisnya idiolog-idiolog ini tidak lain karena semakin dangkal pemahaman filsafatnya dan pembacaan mereka terhadap realitas sosial. Inilah tanggung jawab Gerakan Mahasiswa.

Keagungan Ramadhan

Oleh: Ihab Habudin

Ramadhan adalah bulan utama. Dalam bulan ramadhan Allah menurunkan al-Qur’an. Dalam Ramadhan, tepatnya 17 Ramadhan tahun ke dua hijarah terjadi perang Badar. Perang pertama yang dimenangi kaum muslim sekaligus menambah kepercayaan diri bagi umat Islam untuk melakukan dakwah islamiyah. Tanggal 20 Ramadhan tahun ke delapan hijrah terjadi penaklukan kota mekah hingga umat Islam bertamnbah kuat. Dalam Ramadhan pula, hamba-hamba Allah seperti isteri Nabi Khadijah binti Khuwailid dan puteri Nabi tercinta Ruqayyah wafat dijemput oleh Allah yang Maha Kuasa.

Selain itu, pada bulan Ramadhan diwajibkan berpuasa dan ditetapkan shalat tarawih. Ramadhan satu-satunya bulan yang di dalamnya terdapat lailatul kadar, malam istimewa, karena dalam malam itu Allah melipatkgandakan pahala; pahala ibadah yang dilakukan pada malam itu lebih baik dari pahala ibadah dalam seribu bulan yang lain. Ramadhan juga bulan yang ditutup dengan idul fitri sebagai balasan bagi yang berpuasa, dan diikuti puasa enam hari dalam bulan Syawal sebagai penyempurna puasa Ramadhan. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa barangsiapa yang berpuasa dalam bulan Ramadhan dan diiringi dengan enam hari dalam Syawal, seakan-akan ia berpuasa sepanjang tahun.

Bulan Ramadhan juga mempunyai banyak nama; di antaranya Syahrul Qur’an (bulan turunnya al-Qur’an), Sahrun Najah (bulan menyelamatkan diri dari adzab Allah), Syahrus Syiam (bulan puasa), Syahrur Rahmah, dan lain-lain. Ramadhan sendiri berasal dari bahasa Arab, yaitu ar-Ramdhu, yaitu hujan yang datang setelah musim kering, sehingga tanah terasa panas terbakar. Sebagian ulama mengatakan bahwa ar-ramdhu berarti panas yang terik. Karena itu, disebut bulan Ramadhan sebagai bulan yang membakar dosa dan meleburkannya dengan amal shaleh. Oleh karena itu, bila ada orang yang pada bulan ramadhan masih senang melakukan ghibah, fitnah, bohong, sumpah palsu dan menuruti nafsu, setidaknya hal itu tidak mencerminkan nama Ramadhan sendiri.

Begitu mulianya bulan Ramadhan, bulan ini banyak dinanti-nantikan oleh umat Islam. Ucapan selamat datang, marhaban ya ramadhan menggema di mana-mana, pesantren-pesantren dan mesjid-mesjid, dari selebaran di pinggir jalan hingga iklan-iklan di televisi, dari para kiai hingga politisi. Semua menyambut datangnya bulan yang suci ini.

Meskipun demikian, menyambut bulan Ramadhan harus diiringi dengan pengasahan jiwa dan raga. Karena dengan berpuasa sebenarnya kita sedang berjalan menuju Allah Swt. Dalam perjalanan itu ada gunung tinggi yang harus didaki, digunung itu terdapat jurang yang curam, hutan lebat, bahkan perampok yang dapat mengancam, serta iblis yang merayu, agar perjalanan tidak dilanjutkan. Semakin tinggi gunung didaki, bertambah besar ancaman dan rayuan, semakin curam dan ganas pula perjalanan. Mulai pagi sampai pagi kembali, banyak tantangan yang menghadang.

Dalam menghadapi tantangan itu, banyak orang berpuasa tanpa mampu meninggalkan dosa-dosanya. Dalam sebuah hadis disebutkan: “Betapa banyak orang yang berpuasa sedangkan sedangkan ia tidak mendapat sesuatu dari puasa itu selain rasa lapar dan dahaga.”

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan orang yang berpuasa sementara yang didapatnya hanya lapar dan dahaga adalah orang yang berpuasa tapi tidak mencegah puasanya dari perbuatan-perbuatan dosa. Orang yang demikian sungguh tidak beruntung karena lapar dan dahaga bukanlah tujuan puasa. Tujuan puasa sendiri adalah takwa. Menurut Muhammad Abduh, takwa berarti menghindari siksa atau hukuman Allah, diperoleh dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarangnya serta mengikuti apa yang diperintahkan-Nya. Hal ini dapar terwujud melalui rasa takut dari siksaan dan atau takut dari yang menyiksa (Allah Swt).

Ramadhan adalah bulan latihan bagi kita untuk menggapai sedapat mungkin derajat takwa tersebut. Untuk melakukannya, takwa karus diupayakan secara terus-menerus. Takwa tidak terikat tempat dan waktu. Termasuk hanya pada bulan Ramadhan. Orang yang bertakwa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dengan istiqamah atau teguh pendirian. Karena itu orang bertakwa tidak hanya menjalankan kebaikan dan mencegah kemungkaran hanya pada bulan ramadhan saja, lebih dari itu ia konsisten melakukannya di bulan yang lain.
Ada yang mengatakan bahwa Ramadhan seperti gerbong utama bagi bulan bulan lainnya. Bulan Ramadhan merupakan pemimpin bagi bulan-bulan lainnya. Apabila demikian, maka kebaikan yang dilakukan di bulan Ramadhan harusnya diikuti oleh bulan-bulan lainnya.

Tapi, seringkali kita menyaksikan bulan Ramadhan hanya ajang memperbaiki diri untuk tujuan sementara. Banyak kita temukan orang yang menjalani kehidupan Ramadhan hanya dengan ganti kostum, seperti jilbab, tetapi setelah bulan Ramadhan kembali lagi ke dunia gelapnya. Bukan masalah memakai dan tidaknya jilbab, lebih jauh dari itu adalah pertanggungjawaban moral kepada Allah bahwa puasa bukan ajang kepura-puraan atau taubat sambal. Maka benar seorang kiai menyebutkan bahwa kemenangan bulan Ramadhan terlihat dalam kemenangan di sebelas bulan lain selain bulan Ramadhan.

Nabi Muhammad Saw adalah manusia yang konsisten. Maka marilah kita berusaha mencontoh Nabi. Nabi Muhammad itu selalu peduli dengan kehidupan masyarakat di sekelilingnya. Sikap seperti ini tampak jelas sejak Nabi masih remaja. Sejak remaja Nabi khawatir terhadap kecurangan para penjual yang seenaknya menakar dagangan, sejak remaja Nabi menentang perlakuan seenaknya orang kaya terhadap orang miskin, sejak remaja juga Nabi khawatir terhadap perpecahan umat. Rasa kepedulian terhadap masyarakat ini dimiliki oleh Nabi hingga akhir hayat. Dalam sejarah kita mengetahui bahwa sampai nyawa ditenggorokan, kepedulian Nabi pada umatnya tidak pernah pudar. Hal ini dibutikan, ketika nyawa sampai ditenggorokan, Nabi masih sempat mengucap ummatii, ummatii.

Nabi itu hidup sederhana. Sejarah menunjukan betapa Nabi tidur hanya di atas pelepah kurma. Meski tawaran kekayaan dari berbagai pihak datang, Nabi tidak menerimanya. Kesederhanaan ini secara konsisten dilakukan Nabi, sampai-sampai diriwayatkan hanya dua lah pusaka yang ditinggalkan Nabi, yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Ini menunjukan bahwa secara materi Nabi sangat sederhana. Dan itu dilakukan secara konsisten.

Semoga keteguhan Nabi seperti itu dapat kita teladani. Wallahu ‘alam.

Krapyak: 31/08/09

28 Agustus 2009

Politik dan Budaya Kekerasan

Oleh: M. Habibi

Belakangan ini kita terlalu sering disuguhi oleh pemberitaan tentang kekerasan-kekerasan, khususnya yang terjadi di Indonesia, baik melalui media cetak maupun tayangan-tangan di media elektronik audio-visual. Saben hari kita “dipaksa” untuk menonton pemberitaan-pemberitaan tentang pembunuhan, pemerkosaan, penggusuran para pedagang kaki lima (PKL), perkelahian antar warga sampai tawuran antar pelajar atau mahasiswa. Contoh kasus terkini adalah penembakan di Papua, pengeboman yang terjadi di Mega Kuningan, tepatnya di Hotel JW. Marriot dan Ritz-Carlton. Peristiwa pengeboman tersebut juga mengingatkan kita kembali pada peristiwa pengeboman yang terjadi di tempat yang sama beberapa tahun yang lalu, kemudian di Bali, baik itu Bom Bali I maupun Bom Bali II yang telah banyak memakan korban jiwa. Belum lagi konflik antar daerah, antara suku yang terjadi di beberapa wilayah negeri ini. Dan entah, berapa banyak lagi kekerasan-kekerasan yang terjadi dengan berbagai macam bentuknya.

Dalam satu forum budaya di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Emha Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Cak Nun melontarkan satu pertanyaan, apakah konflik, kekerasan yang terjadi di Indonesia ini adalah merupakan geniun budaya Indonesia, atau ada faktor lain yang di luar itu yang menyebabkan manusia Indonesia melakukan kekerasan?

Mendefinisikan Kekerasan

Kekerasan biasa diterjemakan denan kata violence yang berkaitan erat dengan gabungan kata latin “vis” (daya, kekuatan) dan “latus” (yang berasal dari feree, membawa) yang kemudian berarti membawa kekuatan. Dalam kamus Bahasa Indonesia kekerasan berarti sifat atau hal yang keras; kekuatan; paksaan.

Johan Galtung mendefinisikan kekerasan sebagai segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar. (I Marsana Windhu: 1992). Definisi ini berpijak pada pikiran bahwa manusia mempunyai potensi-potensi dalam dirinya yang merupakan bahan untuk pertumbuhan pribadinya. Sementara pertumbuhan pribadi merupakan integritas diri (self) soma, dan fisik manusia. Apabila potensi-potensi diri manusia tersebut tidak teraktualisasi, maka di sanalah terjadi kekerasan. Aktualisasi tersebut bisa dalam bentuk aktifitas berfikir, termenung dan aktifitas yang nampak oleh kasat mata. Aktualisasi potensi juga menuntut terpenuhinya prasyarat pertumbuhan pribadi berupa kebebasan, persamaan, keadilan dan kesejahteraan, karena hanya dengan itulah potensi-potensi manusia dapat teraktualisasi dan pribadi akan tumbuh secara manusiawi.

Macam-Macam Kekerasan

Dari pengertian di atas, segala sesatu yang menghalangi proses aktualisasi diri dan pertumbuhan pribadi bisa disebut sebagai kekerasan. Dari sinilah Galtung membagi kekerasan menjadi dua jenis. Pertama kekerasan langsung. Kekerasan ini juga sering disebut sebagai kekerasan personal, yaitu kekerasan ini yang dilakukan oleh satu atau sekelompok actor kepada pihak lain (“violence-as-action) (Mohtar Mas’oed:1997). Kekerasan langsung, dengan demikian, dilakukan oleh seseorang ata sekelompok orang dengan menggunakan alat kekerasan dan seringkali berakibat fisik. Dalam kekerasan ini juga jelas siapa subjek dan siapa objek, siapa pelaku siapa korban.

Kedua kekerasan tidak langsung. Galtung menyebut kekerasan ini sebagai kekersan struktural. Kekerasan ini merupakan “built-in” dalam suatu struktur (“violence-as-structure). Kekerasan ini lebih banyak terjadi pada ranah pskis, meski beberapa juga pada ranah fisik. Apabila dalam kekerasan langsung jelas siapa subjek dan objeknya, maka dalam kekerasan tidak langsung atau struktural tidak jelas siapa subjek atau pelakunya. Adanya kasus gizi buruk yang berujung pada ketidaknormalan pertumbuhan diri atau bahkan kematian, bukanlah disebabkan oleh kejahatan seseorang atau sekelompok orang, melainkan akibat dari struktur sosial, struktur ekonomi dan struktur politik yang timpang dan tidak adil. Inilah kekerasan stuktural.

Kekerasan di Indonesia
Tulisan ini tidak akan cukup jika penulis harus mendata kekerasan yang terjadi di Indonesia, meski itu sebatas kurun waktu pasca reformasi. Namun untuk membicarakan kekerasan perlu kita melacak akar kesejarahan kekerasan di negeri ini.

Berbicara kekerasan di Indonesia, seringkali kita mengacungkan jari telunjuk menunjuk pada rezim Orde Baru sebagai biang keladi semua kerusuhan yang ada. Namun cukupkah segala kesalahan itu dilemparkan hanya kepada orde baru? Belum tentu, kita ahrus menilik pada masa sebelumnya sampai pada masa colonial.

Kekerasan memang tidak dimulai dari masa colonial, tetapi kolonialisme secara signifikan telah memproduksi kekerasan ke dalam sistemsistem yang berdaya jangkau lebih luas dari pada sekedar lokalitas kerajaan-kerajaan tradisional, berdaya paksa lebih kuat, dan lebih tahan lama. Henk Schulte Norholt melacak bahwa kekersan yang terjadi berawal dari penggunaan jago (preman desa) untuk menjaga wibawa, menghadapi perlawanan rakyat. Pemerintah colonial bekerja sama dengan kriminal untuk kepenting-kepentingannya, sementara para preman dibiarkan untuk beroprasi asal tidak jelas-jelas melanggar hukum (B. Bahri Juliawan: 2003). Model semacam inilah kemudian yang diwarisi oleh penguasa pasca kolonial sampai dengan saat ini. Pada pemerintahan Orde Baru, preman-preman dipelihara sebagai kendali kebijakan pemerintah, namun setelah tentara kuat, para preman ini dibasmi. Tentara kemudian menjadi alat kekerasan negara. Pada masa-masa akhir 80-an banyak orang-orang yang hilang misterius dikarenakan mereka dianggap menentang pemerintah. Semua itu dilakukan atas nama stabilitas nasional.

Penggunaan militer sebagai alat kekerasan negara pasca reformasi memang berkurang, namun bukan berarti penggunaan-penggunaan kekuatan semacam itu tidak ada. Kekuatan-kekuatan tersebut bermutasi menjadi kekuatan sipil yang menyerupai militer sebagai alat negara untuk tameng negara untuk melakukan kekerasan, penggusuran dan hal yang serupa.

Jika dicermati masa pasca kolonial tadi, dapat dilihat bahwa kekerasan digunakan untuk melanggngkan kekuasaan. Kekersan telah menyatu dengan kekuasaan. Pada masa Orde Baru, kekerasan seperti ini sengaja dipelihara. Inilah yang oleh Jean Baudrillard sebagai simulakrum kejahatan, yaitu kekerasan, horror, dan terror yang diciptakan sedimikian rupa, sehingga ia tampak seolaholah terjadi secara alamiah, padahal direkayasa (Yasraf A. Piliang: 2005). Kekerasan-kekerasan tersebut dilakukan untuk menunjukkan bahwa pemerintah bisa menjamin keamanan rakyatnya. Kekerasan diciptakan sedemikian rupa, sehingga muncul imag kelompok tertentulah yang melawan pemerintah, melawan negara, dan meraka harus dibasmi.

Akibat semakin majunya teknologi dan ilmu pengetahuan, kekerasan pun semakin kompleks. Kekuasan dan kekerasan yang ada dibaliknya dilengkai teknologi tinggi, manajemen tinggi, dan politik tinggi. Kekerasan ditutup topeng dan tirai. Kekerasan yang mutakhir yang didukung oleh kecanggihan teknologi adalah terorisme. Bukan hanya karena dia menggunakan bom, tetapi manajemen perencanaan juga dengan manajemen tinggi. Sampai saat ini baru diketahui siapa yang melakukan peledakan bom, namun tidak diketahui siapa dalang sebenarnya. Kalaupun ada, itu sebatas tuduhan, karena pada kenyataan ada missing link. Terorisme, ketika sudah bersentuhan dengan teknologi informasi, menjadi satu simbol yang melahirkan makna. Makna itu misalnya bahwa Indonesia adalah sarang teroris. Makna ini bisa ditukar misalnya dengan akses investigasi Negara lain ke wilayah Indonesia. Di sini kemudian terjadi erseingkuhan antara Negara dan kepentingan asing. Hal ini biasanya merugikan rakyat, karena sebagaimana Undang-Undang anti teror yang diadopsi dari Negara lain ternyata memberikan kesempatan kepada aparat untuk melakukan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri.

Secara psikologis, kekejaman yang dilakukan secara berulang-ulang dalam waktu yang lama dapat meimbulkan trauma pada korban, pada orang yang menyaksikan, atau bahkan pada pelaku sendiri. Lewat perjalanan yang panjang, setiap orang didik untuk mempunyai inisiatif sendiri dalam menghadapi ancaman-ancaman keamanan. Kekerasan telah menjadi bagian akrab dari keseharian kita, seolah-olah setiap kali hendak menyelesaikan masalah serta persoalan satu-satunya pilihan adalah kekerasan (B. Bahri Juliawan: 2003). Kekerasan telah menjadi kebiasaan. Inilah yang oleh Hannah Arendt disebut sebagai banalitas kejahatan atau kejahatan yang banal, yaitu praktik kejahatan yang dijalankan bagaikan menjalankan aktivitas sehari-hari yang tidak disadari (Sindhunata: 2007). Hal ini mungkin dapat dilihat dari siaran-siaran media masa. Hampir setiap hari masyarakat kita mendengar berita tentang pembunuhan. Tidak hanya sebatas itu, kita juga disuguhi modus dan cara-cara pembunuh itu melakukan aksinya menghabisi korban. Kita disuguhi bagaimana pembunuh itu menyembelih korbannya, menguburnya.

Banalitas kejahatan ini akan semakin berkembang di masyarakat seiring adanya krisis legitimasi. Menurut Jurgen Habermas, krisis legitimasi (moral) ini menyebabkan tidak didengarnya lagi oleh masyarakat imbauan-imbauan moral pihak berwenang (khususnya penguasa), oleh karena mereka sendiri yang justru dianggap sering mempercontohkan tindakan-tindakan melanggar moral (Yasraf A. Piliang: 2007). Rakyat tidak lagi percaya kepada Presiden, DPR, ABRI, Polisi, Gubernur, Bupati, Camat atau kepala desa. Berapa banyak contoh-contoh perilaku amoral yang dilakukan oleh para penguasa. Sebagai contoh adalah perilaku anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang korup, suka bermain wanita, adu otot dengan anggota dewan lainnya, sehingga Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menganggap DPR sebagai Taman Kanak-kanak, atau malah Play Group.

Mungkin puisi kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana karya Musthofa Bisri atau Gus Mus cukup untuk menggambarkan hal tersebut. Gus Mus menulis:Aku harus bagaimana //Aku Kau suruh menghormati hukum // Kebijaksanaanmu menyepelekannya // Aku kau suruh berdisiplin Kau mencontohkan yang lain. . . . Kau ini bagaiman // Kau suruh aku menggarap sawah // Sawahku kau tanami rumah-rumah // Kau bilang aku harus punya rumah // Aku punya rumah kau meratakkannya dengan tanah // Aku harus bagaimana // Aku kau larang berjudi // Permainan spikulasimu menjadi-jadi // Aku Kau suruh bertanggungjawab // Kau sendiri terus berucap wallahu a’lam bish shawab.

Secara puitis Gus Mus menggambarkan bagaimana mungkin rakyat akan mengikuti imbauan-imbaun penguasa, pada saat yang sama para penguasa itu melanggar apa yang mereka katakan. Diibaratkan tangan kanan pemerintah membawa roti sementara tangan kirinya membawa pukulan. Rotia tiada seberapa mengenyangkan, namun kepala babak belur oleh pemukul. Dari kutipan terakhir pusi tersebut, Gus Mus ingin mengatakan bahwa penguasa tidak mau bertanggungjawab atas keputusan dan kebijakannya, atas nasib rakyatnya. Inilah yang menyebabkan rakyat acuh-tak acuh lagi terhadap seruan penguasa.

Di samping itu, krisis legitimasi terjadi karena negara telah banyak melakukan, kembali pada definisi Galtung, kekerasan struktural. Kekerasan ini menampakkan diri sebagai kekuasaan yang tidak seimbang yang menyebabkan peluang hidup tidak sama. Hal ini nampak pada ketimpangan yang merajalela: sumberdaya, pendapatan, kepandaian, pendidikan, serta wewenang untu mengambil keputusan mengenai distribusi sumberdaya pun tidak merata (I Marsana Windhu: 1992). Berkumpulnya sekitar 80 persen rupiah di Jakarta adalah bukti tidak meratanya pembangunan. Daerah-daerah yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah, seperti Papua dan Aceh, justru menjadi daerah paling miskin dan tertinggal. Berpuluh-puluh jalan tol dibangun di Jakarta yang luasnya tidak seberapa, tetapi berapa puluh kilo meter jalan di Kalimantan dan Papua masih tanah yang ketika hujan berlumpur dan ketika musim kemarau ditutupi oleh debu. Desentralisasi politik memang telah dilakukan, tetapi tidak demikian dengan desentralisasi kesejahteraan. Kita masih sering mendengar berita tentang busung lapar, gizi buruk di bagian negeri ini yang kono adalah negeri gemah ripah loh jenawi, toto tentren kerta raharja. Busung lapar, gizi buruk adalah penghambat proses aktualisasi potensi diri manusia, padahal sebenaranya hal tersebut dapat dicegah atau diatasi. Karena hal ini berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar yang berkaitan dengan kelangsungan dan kelestarian hidup, kebebasan, kesejahteraan maka hal ini termasuk pada kekerasan struktural.

Kekerasan struktural, sebagaiman sifatnya, dia mencakup lingkup yang luas. Namusn selalu saja, masyarakat bawah yang selalu menjadi korban. Para petani telah sekian lama mengalami kekerasan ini. Lahan pertanian yang semakin sempit, karena lahan-lahan tersebut kini beralih fungsi sebagai perumahan, perkantoran atau jalan tol. Mereka lebih sengsara oleh karena mahal dan minimnya pupuk. Dan laksana jatuh tertimpa tangga, ketika panen hasil penen mereka dibeli dengan harga oleh pemerintah atau oleh monopoli para pemodal.

Masyarakat bawah yang sering menjadi korban adalah kaum miskin kota. Mereka tidak mendapat akses pekerjaan. Pengangguran merajalela. Dalam kondisi seperti ini mereka sering mendapatkan terror, penggusuran oleh aparat, dengan dalih keindahan dan kebijakan. Dalih untuk kebaikan dan kesejahteraan ini juga yang sering digunakan untuk melakukan penindasan kepada rakyat. Kasus tukar guling sebuah sekolah di Sampang Siantar menjadi satu bukti bahwa sebenarnya kebijakan pemerintah tidak benar-benar memihak kepada rakyat, tetapi kepada pemodal. Ini diketahui setelah ternyata lokasi sekolah tersebut akan dijadikan sebagai pusat perbelanjaan. Sepanjang kekuasaan mengabdi kepada pemodal, bukan kepada rakyat, maka kekerasan struktural ini akan masih tetap eksis, karena rakyat hanya bagian dari mesin penghasil uang, dan pemerintah tidak ubahnya panitia dari hajatan besar bernama pasar bebas. Masyarakat yang berorientasi pada kapital, pasar, maka gaya hidupnya pun akan beroreintasi pada materialisme. Orientasi masyarakat ini adalah menumpuk keuntungan yang sebesar-besarnya lewat produksi dan konsumsi, tanpat terlalu ambil pusing dengan persolan-persoalan moral, idiologi, dan spiritual dalam proses produksi dan konsumsi tersebut.

Kekerasan dan Masa Depan Bangsa
Kekerasan yang telah lama terjadi dan dilakukan secara terstruktur menjadikan bangsa ini lupa terhadap nilai-nilai luhur yang dimilikinya. Di kalangan masyarkat yang tersisa adalah rasa saling curiga. Masyarakat yang semacam ini akan sangat mudah tersulut konflik dan akan terjadi kekerasan sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Dan bangsa ini akan terus dihantui oleh horor-horor kekerasan. Untuk itu perlu segera ada langkah untuk mencegah terulang sejarah-sejarah kelam bangsa ini. Harus ada pendekatan yang holistic terhadap peristiwa kekerasan. Segala kekerasan harus dilihat dalam rangka kekerasan yang lebih luas, yaitu kekerasan politik, kekerasan ekonomi, kekerasan cultural, kekerasan simbol, kekerasan media dan kekerasan lainnya.

Dalam hal ini, Richard A. Falk, sebagaimana dikutip I Marsana Windhu (1992), mengajukan empat nilai yang akan menjadikan kehidupan lebih baik, yaitu a) Usaha meminimalisasi kekerasan Kolektif, b) maksimalisasi sosial dan ekonomis, c) realisasi hk-hak asasi dan keadilan politik dan d) rehabilitasi, menjaga dan melestarikan alam. Selain itu, penggalian kepada kearifan-kearifan budaya lokal. Lembaga-lembaga moral, cultural, spiritual dibutuhkan unutk menjembatani dialog dan membuka ruang public, sehingga terwujud kedewasaan demokrasi.

M. Habibi, Kabid Ukhuwah dan Jaringan KP HMI Cab. Yogyakarta.
Tulisan ini telah dimuat dalam MAJALAH "ISRA" PUSHAM UII Edisi Juli 2009.