SELAMAT DATANG DI CYBER MEDIA KP HMI CABANG YOGYAKARTA

04 Agustus 2008

Kita Di Hari Kemudian[1]

Iqbal Hafidz Hakim [2]

Maka tidak mengherankan bila fisikawan sekaliber Albert Enstein dalam puisi Spinoza Ethic[3] memberikan pujian bagi Spinoza. Tidak sebatas pujian, Enstein pun menjadi makmum baginya dalam hal keyakinanan pada yang satu. Yang tak terdefinisikan. Segala sesuatu bersumber dari yang satu, karenanya Dia ada bukan dari tiada, awal dan akhir. Sehingga bukan bualan enstein untuk selanjutnya terkait eksplorasi kosmos, baik mikro maupun makro mengatakan ‘ Tuhan tidak bermain dadu “.

Yang Satu itu disebut kawan Yang Agung oleh filosof eksistensialis William james. Kawan yang Agung menjadi mutlak keberadaannya bagi manusia sebagai kawan dalam mencipta (co creator). Menurutnya manusia tidak akan pernah hidup tentram sebelum ia berteman dengan Kawan yang Agung. Dengan memahami dan menjalani hal tersebut manusia tidak akan menglami kekosongan eksistensial (existential vacuum). Hidup ini tidak nihil, bukanlah sesuatu yang absurd. Hidup ini penuh makna.

Apa hidup itu ?
Dari mana hidup itu ? Inna Lillahi Wainna Ilaihi Rajiun
Untuk apa hidup ?

Ya, memahmai apalagi menginternalisasi nilai tersebut tidaklah mudah, karenanya berjuang dan berkorban adalah jawaban yang tersisa. Bahwa orientasi subtansial hidup kita dalam ruang perjuangan dan pengorbanan adalah yang satu dalam bahasa Spinoza atau kawan yang agung bagi James. Dengan begitu konsepsi kita mengenai hari kemudian tidak lah semata-mata konsepsi ruang dan waktu setelah di dunia (pasca sejarah) atau kita sering menyebutnya hari qiyamah, hari akhir atau pun hari-hari yang menyeramkan lainya. Hari kemudia juga merupakan hari-hari sebagaimana kita melaluinya di dunia ini (sejarah). Dimana aktivitas berpikir sebelum bertindak adalah konsekuensi logisnya.

……Namun semua janji itu bukan untuk menjadikan manusia takut atas ancaman juga tidak membuat manusia berharap imbalan di hari kemudian, namun agar sadar atas pilihannya yang memiliki akibat di hari kemudian.[4]

Aktivitas berpikir tadi mengantarkan kita pada tindak rasional (pilihan sadar) yang menekankan akan adanya pertanggung jawaban di hari kemudian dalam rentang sejarah maupun pasca sejarah. Sehingga potensi-potensi yang diberikan oleh Tuhan mampu diaktualisasikan kita sebagai makhluk terindah secara optimal, tidak terjatuh pada silap fatalis, yaitu sikap yang menolak kehendak manusia, bahwa segala perbuatan berasal dari Allah.
Konsekuensinya kehidupan di dunia bukanlah sesuatu yang harus di tinggalkan. Manusia harus berusaha mendapatkan apa yang harus ia dapatkan, bahkan Allah memperkenankan manusia untuk beroleh kebahagian darinya[5]…

Kenyataan tersebut menjadi penting karena islam memang tidak mengajarkan faham yang menuntut agar kehidupan manusia selalu menderita di dunia untuk mencapai kebahagian di akhirat. Islam mengajarkan keharmonisan yang dinamis.

Dan dua jam yang lalu saya masih berdiri di tengah kota, di tengah-tengah orasi yang membahana sepertinya mengguncangkan arsyi. Gelegar teriak “hidup rakyat”. Sahut menyahut suara lantang “kapitalisme”, “imperealisme”…….. Hancurkan, musnahkan. Tiba-tiba saya teringat sebuah lagu :

Aku bisa menjadi raja yang paling ditakuti
Aku bisa taklukan semua bangsa-bangsa di dunia
Tapi apa artinya bila Kau tak cinta
Apa artinya dunia yang bisa kugenggam bila tak ada cinta dari MU untuk ku
Aku bukanlah siapa-siapa bila tak ada cinta dari MU untuku.[6]

Sekian, terima kasih. Selanjutnya mari kita diskusikan…………….

Catatan Kaki:
[1] Disampaikan pada Batra kolektif uin sunan kalijaga, tangggal 30 April 2008
[2] Tukang nongkrong di HMI
[3] Puisi ini pernah dibacakan di kota gede (narti silver) dalam rangka memperingati keruntuhan Andalusia yang diselenggarakan oleh komunitas Jadzab tanggal 28 April.
[4] Khitoh perjuangan.
[5] ibid
[6] Dinyanyikan Ahmad Dhani dengan judul aku bukan siapa-siapa

0 komentar: