SELAMAT DATANG DI CYBER MEDIA KP HMI CABANG YOGYAKARTA

12 November 2008

Menuju Kesadaran Tunggal

oleh: Maksun

Pendahuluan
Dalam perspektif Islam disebutkan bahwa manusia sesunguhnya terikat perjanjian primordial dengan Tuhan yang mendasari kehidupannya sendiri. (QS. Al-‘Araf 171-172). Hal itu terjadi ketika manusia masih berupa embrio yang berada dalam rahim. Saat itulah Tuhan mengambil kesaksian manusia tentang prinsip-prinsip ketuhanan.

Karena itulah seperti yang yang dinyatakan Syekh Suhrawardi Al-Maktul (pendiri filsafat israqiyah/iluminasi) bahwa dalam diri manusia terdapat sesuatu yang disebut akhirat al-azaliyah (olahan abadi) yang merupakan landasan eksistensial manusia. Hanya saja keberadaannya tersembunyi karena tumpukan fenomena kehidupan di dunia ini.

Dari diskripsi di atas sesungguhnya manusia sejak awal memiliki keyakinan terhadap Tuhan yang dalam Islam dikenal dengan Tauhid.

Apa yang kita pahami dari konsep tauhid sebagai prinsip dasar muslim sesungguhnya adalah upaya membangun kesadaran tunggal. Konsep tentang tahid meniscayakan adanya kesatuan wujud. Dengan konsep ini kita tidak semata meyakini bahwa Allah itu satu, tetapi juga meyakini realitas adalah satu juga, atau tunggal. Konsekwensi logis dari pemahaman tersebut adalah apa yang nisbi bukanlah realitas. Dia dinamakan realitas justru hanya karena dinisbatkan kepada Tuhan. Dus, segala aktivitas yang disandarkan selain Tuhan, maka itu bentuk “kemusrikan intelektual”, dan itulah noda besar yang tak termaafkan bagi kesucian Tauhid.

Sayyed Naquib Al-Atas menyatakan bahwa “hutang eksistensial” manusia tersebut-saat melakukan perjanjian primordial- hanya bisa ditebus jika manusia hidup untuk menghambakan (pasrah/ber-islam) hidupnya semata-mata kepada Allah. Sedangkan Ali Syariati memberikan gambaran aligoris tentang ibadah shalat yang menghadap kubus kosong (ka’bah), yang mengisyaratkan proses “peniadaan ego” dan kepentingan diri manusia, karena sesungguhnya yang benar ada (wujud mutlak)_ semata-mata hanya Allah.

Kalau kita kembali kepada posisi manusia di bumi yaitu tidak lain sebagai seorang hamba yang mengabdikan seluruh hidup kepada-Nya, maka keagungan kita tidak akan bisa terpahami tanpa keterkaitan denganTuhan. Bila ridha Tuhan tidak menjadi pusat orientasi kita dalam menjalani kehidupan ini, maka kualitas hidup kita akan menjadi rendah. Dengan menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhir, kita akan terbebaskan dari derita alienasi, karena Tuhan adalah pesona yang Maha Hadir dan Maha Mutlak. Eksisitensi yang relatif akan lenyap kedalam ekistensi yang absolut. Kesadaran akan kemahahadiran Tuhan akan membuat kita selalu memiki kekutan, pengendalian sekaligus kedamaian, sehingga merasa dalam orbit Tuhan, tidak dalam orbit dunia yang tidak jelas jluntrung-nya.

Sikap berserah diri kepada Tuhan tersebut secara inheren mengandung berbagai konsekuensi. Pertama, konsekewnsi dalam bentuk pengakuan yang tulus (ihklas) bahwa Tuhanlah satu-satunya sumber otoritas yang mutlak. Pengakuan ini kelanjutan yang mutlak, yang menjdai sumber semua wujud mutlak, yang menjadi sumber semua wujud yang lain.

Konsekwensi kedua dari prinsip ketuhanan adalah bahwa umat manusia seluruh dunia adalah sama dari segi harkat dan martabat asasinya. Tidak seorangpun berhak merendahkan manusia yang lain, karena semuanya adalah sama di sisi Tuhan, kecuali takwanya. Tidak ada yang berhak menindas sesama manusia kecuali Tuhan.

Di sinilah fungsi ita sebagai “abid” (hamba). Maksudnya adalah kita mengembalikan segala aktivitas yang kita lakukan hanya ditujukan kepada Tuhan, ini konsekwensi logis dari persaksian kita, la ilha illallah (transendensi). Tiada yang berhak dijadikan sandaran di dunia ini kecuali hanya Allah.

Tetapi ternyata Tuhan tidak hanya menjadikan manusia sebaga hamba yang mengabdi kepadanya, melainkakn Tuhan juga memberikan tanggungjawab kepada manusia untuk menjadi khalifah-Nya di bumi, inilah peran kita. Dan karena itu, sebagai mandatarisnya di muka bumi, maka nilai ilahiyah (implikasi dari keyakinan kepada Tuhan bahwa manuisa adalah hamab) tersebut harus memberi maslahah kepada manusia lain (kemanusiaan). Keyakinan demikian meupakan koneskwensi logis dari persaksian kedua kita Asyhadu anna muhammadar rasulullah.
Hanya saja dalam menjalani peran yang kita lakukan-dokter-pedagang-insinyur, ekonom, nelayan, petani atau apapun- itu adalah semua perintah Tuhan dan harus dioreintasikan hanya kepada Tuhan. Maka tanggungjawab kita adalah menjalani peran-peran tersebut dengan sebaik-baiknya (amanah), selama hal itu mendorong proses aktualisasi Tauhid, misi kekhalifahan dan kebebasan kita. Karena itu, apakah dan bagaimanakah kehidupan di dunia atau peran kita baik atau buruk, sangat tergantung sejauh mana kita bersignifikansi dengan proses aktualisasi orientasi dan misi kita hidup di dunia.

Implikasi Keyakinan Muslim
Keyakinan muslim tidak berhenti pada keyakinan pada Tuhan an sich. Dalam artian keyakinan tersebut tidak mempunyai implikasi terhadap diri dan lingkungan sosialnya. Tetapi keyainan tersebut harus menjadi landasan kebudayaan dalam rangka perubahan sosial kemanusian. Seperti Muhammad SAW, ketika beliau sampai pada puncak spiritualitasnya , naik ke langit tertinggi, bukannya malah berpaling dari tanngungjwab kemanusiaannya, melainkan terjalin hubungan antara kehendak suci dari langit dengan orientasi manusia di bumi. Dengan kata lain, spectrum Ilahi dengan spectrum kemanusian di sisi lain secara metafisis tidak di letakkan dalam ruang yang kita pahami dalam hidup keseharian. Tetapi keduanya menyatu dalam kesadaran, sehingga bagi seseorang yang sampai pada tingkatan spiritualitas tertentu, perilaku kemanusiaanya merupakan cerminan dari kualitas ilahiyah.

Kesadaran akan dimensi ketuhanan dan kemanusiaan dalam diri kita adalah suatu keniscayaan. Keduanya tidak bisa dipisahkan, bersifat integrlastik. Inilah prinsip dasar tauhid. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa aktivitas atau peran yang kita lakukan tanpa menjadikan Tuhan sebagai orientasi atau titik pusat, maka kualitas aktivitas hidup kita menjadi rendah. Begitu pula sebaliknya, jika hubungn ketuhanan kita tinggi sementara sisi kemanusian kita rendah bahkan tidak memilki implikasi sosial sama seklai, maka kita sebenarnya hanya sedang beragama tetapi tidak ber-Tuhan (kafir).

Kesadaran kita tentang Tuhan pada tingkat tertentu, akan memanifestasi dalam aksi kebudayaan kita. Laku kita menjadi laku Tuhan, omongan kita menjadi omongan Tuhan. Kalau Tuhan memiliki Al-Khaliq, (Maha Pencipta), Ia mencipta dari tiada menjadi ada, maka kita harus mencipta pula dari ada menjadi lebih baik atau sempurna. Kalau Tuhan maha Ar-Raziq (Pemberi Rezeki), maka kita juga harus memberi rezeki kepada orang lain, bukan malah menghalangi orang lain untuk mendapatkan rezeki. Jika Tuhan Ar-Rahman kepada siapa saja, kita juga harus memberikan rahman-rahim kita kepada siapa saja, sekalipun kepada orang yang memusuhi kita dan lain sebagainya. Seperti yang disabdakan Muhammad “takhalaqu bi akhlaqillah”, berakhlakalah dengan akhlak Tuhan. Dalam artian bagaimana kita menumbuhkan dalam diri kita sifat-sifat Tuhan.

Hanya saja pencapaian kesadaran tunggal atau komitmen ketuhanan dan kemanusian dalam diri kita itu sangat bergantung pada seberapa besar usaha kita mengakses caha Tuhan. Suhrawardi al-Maqtul menggambarkan realitas tunggal tersebut adalah cahaya (israq). Cahaya itu memebentang dari cahaya di atas cahaya (Nur ‘ala Nur) sampai cahaya yang paling redup. Semakin dekat kita dengan Cahaya Maha Cahaya, maka terangnya semakin cemerlang, aksi kebudyaan kita semakin baik dan semakin peka pula terhdap kondisi sosial. Sebaliknya, semakin jauh kita dengan cahaya-Nya, maka terangnya semakin redup. Cahaya yang paling redup adalah cahaya yang paling jauh dengan Tuhan, maka aksi kebudayaan yang kita lakukan bukan cerminan laku ilahiyah sehingga tidak memeberi maslahah bagi orang lain , tetapi malah memberi madharat.

Di sini ketuhanan dan kemanusian adalah poros untuk mengevaluasi prilaku kita. Dengan meminjam teori cerminnya al-Ghazali, aktivitas kemanusian yang tidak diterangi cahaya keilahian bagaikan orang yang berjalan di lorong gelap. Sebaliknya, orang yang dekat dengan cahaya Tuhan tetapi tidak menumbuhkan nilai agung ketuhanan dalam dirinya , bagaikan iblis.

Bagimana Menuju Kesadaran Tunggal
Tuhan adalah realitas yang mutlak, maka ia tidak mungkin diketahui. Yang bisa kita lakukan adalah usaha terus menerus dan penuh kesungguhan untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada-Nya. Hal ini dilakukan dengan melakukan amal perbuatan. Dalam amal itulah kita mendapatakan eksistensi dan esensi diri-Nya. Dan dalam amal yang ikhlas itulah kita menemukan tujuan penciptaan diri kita, yaitu kebahagian karena pertemuan dengan Tuhan dengan mendapatkan ridha-Nya.

Sebagai jalan manusia untuk menyempurnakan jati diri itu, Tuhan jnuga menampilkan diri melalui “berita” (baca: Al-Quran) yang dibawa nabi dalam bentuk kualitas moral. Melalui persepsinya terhadap kualitas Ilahi, seperti sifat kasih sayang, pengampun, adil da lainnya dan kita mengerti nilai tersbut dengan penghayatan yang intensif, maka akan membukakan jalan dalam diri kita nilai tersebut untuk diinternalissasi. Manusia tidak akan menjadi tuhan, tetapi dengn rasa ketuhanan yang mendalam ia tumbuh menjadi makhluk akhlaki yang meresapi unsur kualitas ilahiyah.

Meskipun perjuangn manusia menyempurnakan jati dirinya berpedoman kepada Tuhan dan menuju kepada-Nya, namun tidaklah berarti untuk kepentingan Tuha, melainkan untuk kepentingn diri manusia sendiri. Karena itu kita harus mengaktualisasikan diri dalam sikap hidup yang menempatkan diri sebagai bagian dari kemansuiaan universal, dan dengan nyata menunjukan kepedulian kepada kehidupan manusia yang lain.

Hanya saja, untuk membangun kepedulian dan kecintaan terhadap kemanusiaan, kia harus mengenal diri kita sendiri. Jika ini gagal kita lakukan, maka mengenal orang lain juga gagal. Menarik ajaran klasik yang mengatakan bahwa kita hanya dapat memahami orang lain (sisi kemanusiaan), jika kia mengenal diri kita. Bahkan kitannya dengan Tuhan pun, Nabi pernah besabda “siapa yang mengenal diniya, maka dia akan mengenal Tuhannya. Jadi pemahaman mengenai yang lain akan bergantung pada pemahaman kita mengenai diri sendiri. Tanpa kerja batin ini atau berhubungna dengan kekutann yang lebih tinggi yang tidak dapat dimanipulasi sebagai basisi aksi kebudayaan, maka kehidupan mansia akan penuh dengan pengobjekan orang lain, manipulasi, penindasan, dan kekejaman yang muncul bukan saja hanya karena kita mengenal batin orang lain, tetapi justru kita tidak mengenal diri sendiri.

Dari gambaran di atas jelas sekali bahwa menuju kesadaran tunggal adalah dengan jalan “mensemesta”. Maka, mensemestalah!!! Di situ kamu akan menemukan Tuhan dalam bentuk eksistensinya (Wujud). Kita hanya bisa sampai mengenalnya lewat wujudnya yang berserakan di semesta ini. Sedangkan esensinya (mahiyah) hanya Tuhan sendiri mengetahuinya. Wallahu ‘alamu bishshawab.

Maksun: Pecinta Ilmu dan Kebijaksanaan.