SELAMAT DATANG DI CYBER MEDIA KP HMI CABANG YOGYAKARTA

13 September 2008

Ra Yang Kurindu

Oleh: M. Habibi

Ra, apa kabr ra? Setalah berpisah, akhirnya kini kita telah dipertemukan kembali. Satu tahun memang waktu yang tidak lama ya, Ra. Tapi beda bagi seorang yang sedang menanti, seminggu terasa sewindu, setahuan serasa seabad. Seperti aku yang selalu menanti kedatanganmu. Memang benar, penantian selalu membawa pada rasa kejemuan. Kekhawatian juga tentunya. Khawatis dan rasa takut, saat engkau datang engkau bukan milikku lagi. Begitulah penantianku. Waktu seakan berjalan lamabat. Sehari seakan tidak lagi duapuluh empat jam, dan sepanjang tahun sekana hanya satu musim, kemarau. Yah, aku kekeringan tanpamu, aku tandus tanpamu, aku gersang tanpamu. Dan kini engkau telah datang. Tapi mengapa ada yang berbeda dengan pertemuan kita kali ini.

Ra, aku minta maaf. Aku tidak bisa ikut menyambut dan merayakan kedatanganmu. Tapi bukan berarti rasa ini telah pudar. Sebenarnya kau malu pada diriku sendiri. Aku yang selalu ngomong bahwa aku orang yang mencintaimu, merindukanmu, dan mengharap kedatangmu, namun justru aku tidak ikut serta menyambutmu, menyalamimu.

Sebenranya aku tahu akan kedatangamu. Siapa yang tidak mengenalmu, sehingga semua orang mengabarkan kedatanganmu. Dan berjubel orang menyambutmu. Aku takut ketika aku ikut menyambutmu, akankah kau menemukan dan mengenaliku di antara berjubel orang itu. Apalagi mereka menyambumu tidak selayaknya seorang muslim menyambut kekasihnya sebagaimana diajarkan oleh agama kita. Ah, mungkin itu hanya apologiku aja, dan bisa jadi aku lebih buruk dari mereka karena aku tidak turut menyambutmu. Maaf karena aku lebih sibuk dengan urusan pribaduku. Tapi sesungguhnya dalam hati aku tetap menyambutmu, dengan cara lain, caraku sendiri.

Ra, aku dengar dari beberapa orang yang ikut manyambutmu, kata mereka kau datang dengan sedikit masam. Apa benar itu, Ra? Ada apa gerangan, Ra? Apakah sebenarnya kau tidak ingin datang? Tapi bukankah sudah janjimu untuk datang, menemuiku? Atau ada masalah lain? Apakah engkau tidak puas dengan penyambutan mereka, Ra? Bukankah mereka telah menggelontorkan segudang uang untuk menyambutmu, menjamumu? Mereka menyiapkan hidangan yang mewah untukmu, khusus untukmu. Asal kamu tahu aja Ra, hidangan semacam itu tidak akan bakalan ada tanpa engkau hadir di sini. Dan juga acara-acara itu, yang diadakan saben malam, pembacaan puisi dan narasi yang menggambarkan kecantikanmu, kemolekanmu, keanggunanmu, kebaikanmu, keagungan dan kemulianmu, itu tak pernah ada jika kau tidak di sini. Tapi mengapa engkau, kata mereka, datang dengan sedikit masam?

Ra, meski aku tidak perca sepenuhnya kepada mereka, tapi aku jadi ingin tahu juga, agar tenang jiwa ini. Namun aku yakin, itu bukan karena aku tidak ikut menyambutmu, bukan? Aku sadar betapa kecilnya aku di depanmu sehingga tanpaku pun engkau akan datang ke sini. Atau mungkin engkau kecewa melihat aku yang begini-begini saja, tidak berubah sejak pertemuan terakhir kita dulu. Aku masih aku yang angkuh, sombong, bakhil, dengki, pendendam, apatis, egois. Yah, kalau engkau memang datang dengan sedikit masam, aku yakin karena hal itu. Ah, maafkan aku ya, Ra. Sungguh aku menyesal. Aku malu. Aku akan berubah, Ra. Asal jangan kau tinggalkan aku lagi!

Ra, aku lebih malu lagi, meski aku tak menyambutmu, kau tetap datang menemuiku. Dengan wajah cerahmu, tidak seperti yang mereka bilang. Benar kataku, kau tidak peduli apakah aku berubah atau tidak, kmau tak pernah ingkar, kau tetap datang. Senyum manis tersungging di bibirmu, dan selalu suasana syahdu yang menyertaimu. Itulah yang selalu mengingatkanku padamu. Aku ingat pada perjumpaan kita yang lalu. Tiada hari yang aku lalui tanpamu. Kita berjalan bersama, mengahabiskan malam-malam kita dalam senandung kesyahduan. Kau memelukku erat dalam kehangatannya cintamu, membelaiku dengan mesra seakan itu yang terakhir. Malam itu aku rasakan bumi berhenti berputar, angin tiada berhembus, jangkrik berhenti berkerik, margasatwa tak bersuara, awan tertahan, dan alam pun terdiam. Malam itu begitu sunyi, tapi syahdu. Ah, indah sekali malam itu. Aku rindu malam itu, malam-malam saat bersamamu. Dan kini kau telah bersamaku. Mungkin telat, namun aku ingin tetap menyambutmu, menyalamimi, marhaban ya Ramadhan.