Menjelang akhir Ramadhan, kita selalu menyaksikan, betapa masjid-masjid yang pada awal Ramadhan dipenuhi dengan jamaah, kini mulai sepi. Jamaah semakin sedikit. Ini sudah menjadi satu fenomena umum dan tidak mengherankan lagi. Setidaknya ada dua alasannya, pertama, sebagaimana Ramadhan ini adalah sebagai bulan madrasah, atau sekolah, tempat untuk menempa diri, tentu tidak semua orang yang masuk sekolah akan lulus, ada yang bahkan tidak sampai pada ujung tahun ajaran. Begitu juga ibadah dalam bulan Ramadhan. Kedua, banyak jama’ah yang telah pulang kampung atau mudik, sehingga jamah semakin sedikit. Meskipun hal ini kurang relevan juga, karena jamaah di masjid-masjid kampung juga semakin sepi. Tapi buka itu intinya, di sini saya hanya akan berbicara tentang tradisi yang telah mengakar di masyarakat kita, yaitu tradisi mudik.
Mudik atau pulang ke kampung halaman pada hari raya idul fitri adalah tradisi di Indonesia. Pada akhir Ramadhan, orang berduyun-duyun kembali dari tempat perantuan. Segala Sesutu telah dipersiapakan jauh hari sebelum mudik, termasuk tiket untuk di perjalanan. Orang rela menunggu seharian untuk mendapatkan tiket mudik. Tidak hanya itu, mereka pun siap untuk berdesak-desakan dengan oarng lain yang sama-sama akan mudik juga. Apapun dilakukan, termasuk mencari hutangan kepada teman, tetangga, atau menggadaikan harta benda yang dimilkiki, demi untuk mudik.
Dalam tradisi tahunan ini, kita akan sangat jarang mendapatkan orang yang mudik dengan membawa tas kecil, rata-rata mereka membawa tas besar, berisi pakaian dan tetek bengek sebagi oleh-oleh untuk keluarga di kampong, agar yang mudik dan yang dikampung merasakan kebahagian. Berkumpul bersama, apalagi di hari raya, adalah suatu kebahagian tersebdiri yang harus ditempuh dengan segala resikonya. Tapi, bagi perantau, itulah yang harus ditempuh, untuk sebuaah kebahagian.
Pada hakikatnya semua manusia akan “mudik”, pulang kampung halaman, berkumpul kembali dengan Kekasihnya. Ke mana lagi kalau bukan kepada yang dengan sinar kasih-Nya telah menciptakan kita? Bukankah hidup ini adalah sebuah perantauan? Bukankah kita ini hanyalah para musafir? Dan musafir pastilah dia tidak akan tinggal lama di persinggahan, dia akan segera berkemas dan berjalan kembali ke tempat tujuan akhirnya? Sebagai orang yang akan mudik sudahkah kita menyiapkan bekal untuk mudik? Sudahkah kita punya ongkos? Sudahkah kita membeli tiket? Sudahkan kita menyediakan oleh-oleh untuk yang kita cintai? Jika kita mudik ke kampong halaman, yang kita bawa biasanya adalah pakaian dan makanan. Ketika kita mudik kepada Allah, apa yang akan kita bawa? Apa yang akan kita persembahkan?
Dalam surat Al-baqarah 197 Allah berfirman yang artinya: Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.
Sebenarnya, ayat tersebut berbicara dalam konteks ibadah haji, namun saya kira juga relevan kalau kita tarik pada ranah kehidupan yang lebih luas. Dalam ayat di atas, Allah menyerukan kepada hamba-Nya untuk membekali diri dengan takwa. Dalam ayat lain dikatakan libasu at-taqwa khair, pakaian takwa iitu adalah pakaian yang terbaik jadi kita harus mudik dengan membawa bekal dan pakaian takwa.Apa takwa itu?
Takwa, umunya didefinisikan dengan menjalankan segala perintah Allah dan meninggalkan segala apa yang dilarang-Nya. Tentu ini masih sangat umum sekali. Namun Allah kemudian merinci cirri-ciri orang yang bertakwa. Dalam surat Al-Baqarah ayat 3-5 Allah menjelaskan orang yang bertakwa adalah orang yang 1) beriman kepada yang ghaib, 2) mendirikan shalat, 3) menafkahkan sebagian hartanya di jalan Allah, 4) beriman kepada apa yang duturunkan kepada Muhammad SAW (Al-Quran) dan nabi-nabi sebelumnya, dan 5) beriman kepada hari akhir. Dari beberapa poin tersebut, takwa sikaitakn dengan iman. Iman kepada yang ghaib, yaitu Allah, malaikat, dan jin. Iman terhadap hal-hal tersebut berarti mengakui keberadaanya, meskipun tidak tampak secara kasat. Iman kepada Allah memberikan konsekwensi bagi kita untuk menjalankan perintahnya dan meninggalkan larangnnya. Iman kepada-Nya juga mengharuskan kita sadar bahwa segala tindak tanduk kita tidak mungkin luput dari pengawasan-Nya. Sehingga dalam ibdah kita dianjurkan “beribadahlah kamu seakan-akan kamu melihat Allah, seandainya pun kamu tidak melihat-Nya, niscaya Allah melihatmu”. Orang melakukan kejahatan dan kecurangan seirngkali karena merasa tidak ada orang yang melihat dan mengawasi dirinya, sehingga dia bebas berbuat semaunya, namun dia lupa bahwa Gusti ora sare, Allah itu tidak tidur. Dia mengetahui apa yang terjadi di langit dan di bumi.
Dalam ayat lain, yaitu surat Ali Imran 133-135 Allah menjelaskan ciri-ciri lain dari orang yang bertakwa, yaitu: 1) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, 2) orang-orang yang menahan amarahnya, 3) mema'afkan (kesalahan) orang, 4) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka.
Apabila dalam surat Al-Baqarah 2-5 tadi sebagian besar mengaitkan ketakwan dengan keberimana, itu berarti takwa ditarik ke dalam dimension internal diri manusia, maka pada ayat-ayat di Surat Ali Imran di atas mengaitkan takwa dengan prilaku sosial. Sama dengan pada surat Al-Baqarah ayat 2, dalam hal ini menginfakkan sebagian harta kita kepada fakir miskin adalah ciri dari orang-orang yang bertakwa. Selain itu orang bertakwa adalah orang yang mau berlapang hati, bukan hanya untuk tidak marah, tetapi juga memberikan maaf kepada orang lain. Bias jadi jika ada orang lain memojokkan kita, kita tidak akan marah, karena secara power kita tidak lebih kuat dari dia. Namun seringkali, meski tidak marah, ada orang yang masih mendendam, dan mencari kesempatan untuk membalas, atau minimal akan merasa puas dan bahagia apabila orang yang memojokkan tadi terpojook, meski bukan oleh orang itu sendiri. Sesuai ayat di atas, ini bukanlah sifat orang bertakwa. Dan orang berrtakwa bukanlah orang yang tidak pernah melakukan kesalahan, tetapi orang yang apabila melakukan kesalahan dia segera sadar, bertobat, memohon ampun kepada Allah, lalui melakukan perbuatan baik untuk menutupi keburukkannya itu. Ini sesuia perintah Rasulullah SAW, ittaqillaha haitsu ma kunta, wattabi’s as-sayiata hasanata tamhuha, bertakwalah kepada Allah di mana saja, dan ikutilah perbuatan burukmu dengan perbuatan baik yang akan menghapus perbuatan buruk tersebut. Apabila perbuatan buruk kita bersangkutan dengan hak-hak anak Adam, maka hak-hak tersebut haruslah ditunaikan terlebih dahulu.
Dalam ayat lain Allah menjelaskan orang yang bertakwa adalah mereka di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan, mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar dan memberikan sebagaian harta-harta mereka untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (Ad-Dzariat 16-19). Ketakwaan, selain dikaitakan dengan berinfak, dalam ayat tersebut di atas juga dikaitkan dengan bangun malam. Begitu dahsyatnya bangun malam, dalam surat Al-Muzammil Allah memerintahkan untuk bangun bangun malam, mengisinya dengan shalat, membaca Al-Quran dan berdzikir, meskipun hanya sejenak.
Begitulah yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat, terlebih-lebih pada malam-malam bulan ramadhan, di mana segala amalan ibadah di dalamnya akan dilipatgandakan pahalanya. Ini berarti akan berlipat ganda pula kecepatan gerak kita menuju Allah. Ini berarti bahwa perjalanan mudik akan lancar, dan semakin cepat sampai kepada Sang Kekasih. Semoga, di usia kita yang tersisia ini, kita bisa mempersiapkan lebih banyak lagi bekal untuk mudik.
12 September 2009
Mempersiapkan Bekal Mudik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar