Oleh: Ihab Habidun
Betapa sering kita mendengar suara adzan…Allahu Akbar!Allahu Akbar!...Namun, apakah kalian sudah merenungkan apa yang dimaksud dan isi panggilan itu?... AllahuAkbar bermakna(dalam bahasa yang tegas):berilah sanksi pada para lintah darat yang tamak itu! Tariklah pajak dari mereka yang menumpuk-numpuk kekayaan! Sitalah kekayaan para tukang monopoli yang mendapatkan kekayaan dengan cara mencuri! Sediakanlah makanan untuk rakyat banyak! Bukalah pintu pendidikan lebar-lebar dan majukan kaum wanita! Hancurkan cecunguk-cecunguk yang membodohkan dan memecahbelah umat!Carilah ilmu sampai ke negeri Cina…berikan kebebasan, bentuklah majlis syura yang mandiri, dan biarkan demokrasi yang sebenar-benarnya bersinar! (Raif Khoury)
Melawan adalah kata yang sering dipelintir. Melawan sering diasosiasikan secara negatif. Melawan sering disebut memberontak, mengganggu, dan merusak. Orang yang melakukan perlawanan sering dikatai pengacau situasi, pengganggu stabilitas, dan perusak tatanan. Pada masa Orde Baru, yang kritis dan melawan sering dicap PKI, golongan kiri atau komunis. Di masa SBY, orang yang mengkritik, memprotes, dan berdemonstrasi menolak kenaikan BBM dilabeli penghalang rezeki orang miskin. Tampaknya, segala yang berbau perlawanan terhadap yang mapan telah dikonstruksi sedemikian rupa sebagai sesuatu yang negatif, yang perlu dipadamkan, disingkirkan dan dikuburkan.
Melawan sebenarnya tidak selalu berkonotasi negatif. Justeru dalam banyak hal, melawan adalah tindakan sadar untuk melakukan pembebasan agar kehidupan yang lebih baik tercipta. Melawan merupakan reaksi terhadap dominasi, ketimpangan, dan ketidakadilan sosial. Tengoklah bukti-bukti perlawanan dalam sejarah dunia. Perlawanan rakyat perancis tahun 1789 karena penerapan monarki absolut dan penarikan pajak yang memberatkan rakyat, serta rakyat sudah tidak tahan lagi terhadap tindakan semena-mena dari kalangan bangsawan. Perlawanan rakyat Iran tahun 1979 menentang rezim syah Reza Pahlavi yang korup dan menindas rakyat. Juga para pejuang kemerdekaan negeri ini yang melawan karena kolonialisasi, eksploitasi, dan tindakan biadab para penjajah yang menempatkan rakyat pribumi di kasta terendah.
Untuk sebuah pembebasan, gerakan perlawanan harus menanggung banyak korban. Ingatlah para pahlawan yang tercatat di buku-buku sejarah kita. Begitu banyaknya, sampai kita susah menghafalnya. Belum lagi, “pahlawan” yang tidak dianggap pahlawan. Karena dianggap kiri, radikal, atau tidak mempunyai posisi strategis. Termasuk ribuan hingga jutaan rakyat yang menjadi tumbal kebengisan meneer-meneer Belanda dan Jepang. Mereka itulah pahlawan sejati yang ikut mengantarkan negeri ini ke gerbang kemerdekaan.
Begitu mulianya sebuah perlawanan. Maka perlawanan adalah perjuangan. Perlawanan adalah keniscayaan. Untuk apa? Untuk menghapus setiap struktur yang menindas manusia. Agar manusia kembali pada kedudukannya sebagai manusia. Manusia yang tidak saling menindas. Manusia yang menghargai hak asasi. Manusia yang memanusiakan manusia. Bukankah doktrin agama mengajarkan kepada kita bahwa Tuhan tidak akan merubah suatu kelompok selama kelompok tersebut tidak berupaya merubahnya?
Agama Perlawanan
Islam sendiri merupakan agama perlawanan. Muncul di tengah struktur masyarakat diskriminatif dan eksploitatif. Islam mendobrak, menentang, dan melawan segala yang mapan dan menindas waktu itu. Islam melawan segala bentuk ketidakadilan seperti, eksploitasi ekonomi, penindasan politik, dominasi budaya dan gender, serta segala corak disequlibrium (ketidakseimbangan) dan apertheit (Mansour Fakih:2000).
Islam menentang penindasan. Ketika orang-orang kaya membuat siasat-siasat regulasi pengorbanan, yang sebenarnya hanya didistribusikan untuk orang-orang kaya dan penguasa suku-suku Arab, al-Qur’an mengecamnya sebagai penentuan yang buruk (QS. Al-An’am:136). Dan ketika mereka menumpuk-numpuk harta, al-Qur’an secara tegas mengancamnya dengan akan dimasukkan ke neraka Hutamah (QS. Al-Humazah: 1-9). Pun dengan mereka yang sukanya menimbun emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah, diancam dengan siksaan pedih dan menyakitkan (QS. At-Taubah:34).
Islam menentang berbagai bentuk eksploitasi. Praktek riba yang eksploitatif dan hanya menguntungkan kaum borjuasi ditentang habis-habisan. Orang yang memakan harta riba diancam tidak bisa berdiri di hari kiamat (QS. Al-Baqarah:275). Bahkan begitu dibencinya praktek riba tersebut, Allah SWT dan Rasul-Nya menyiapkan genderang perang terhadap siapa saja yang tidak mau meninggalkan praktek riba (QS. Al-Baqarah: 279). Orang yang berbuat curang menakar dan menimbang dalam perdagangan dikecam akan mendapat kecelakaan yang besar (QS. Al-Muthaffifin: 1-5).
Islam menekankan keadilan distributif. Keadilan yang dikatakan Asghar Ali Engineer seratus persen berlawanan dengan tradisi penumpukan dan penimbunan harta kekayaan waktu itu. Al-Qur’an menganjurkan orang-orang kaya mendermakan hartanya untuk anak yatim, janda-janda, fakir dan miskin, agar kekayaan tersebut tidak hanya berputar diantara orang-orang kaya saja (QS. Al-Hasyr: 7). Bagi yang punya harta berlebih dianjurkannya bershadaqah dan diwajibkan berzakat.
Islam melarang menghina orang miskin. Orang yang memberikan shadaqah pada kaum lemah harus dengan cara yang baik. Sekalipun shadaqah bersifat sukarela, al-Qur’an menitahkan supaya dalam memberi tidak menyinggung perasaan si penerima (QS. Al-Baqarah: 262-263). Memberi juga tidak boleh dimotivasi oleh keinginan untuk dipuji atau riya (QS. Al-Baqarah: 264). Memberi harus dilandasi keikhlasan. Memberi harus lepas dari logika pertukaran. Memberi adalah memberi, kata Jacques Derrida.
Islam membela kaum miskin, lemah dan terpinggirkan. Islam menyebut siapapun sebagai orang yang mendustakan agama, meskipun ia beragama, bila dalam tingkah lakunya menghardik anak yatim, tidak peduli orang miskin, serta tidak mau menolong dengan barang yang berguna. (QS. Al-Ma’un: 1-7). Islam juga melindungi hak-hak buruh dari kaum-kaum yang mempekerjakannya. Nabi mengajarkan: berikanlah upah buruh sebelum keringatnya kering (Ibnu Majah).
Islam agama pemberontak. Ketika sebuah struktur masyarakat menindas; yang mapan mendominasi yang lemah, yang kaya menindas yang miskin, kaum borjuis menghegemoni kaum ploretar, Islam berteriak lantang menyerukan perlawanan. Mengapa kamu tidak mau berpegang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita, maupun anak-anak yang semuanya berdo’a: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi engkau, dan berilah kami penolong dari sisi engkau!”(Q. S. al-Qashash ayat 7).
Itulah nota-nota ajaran Islam yang sangat jelas. Fakta-fakta normatif yang revolusioner, yang menentang struktur masyarakat yang menindas, sekaligus ancaman bagi kemapanan kaum borjuasi. Bukti bahwa Islam membela kaum lemah dan terpinggirkan. Bukti bahwa Islam bukan pembela para elit melainkan orang alit. Bukti bahwa Islam bukan agama yang pro para pencekik melainkan membela wong cilik.
Sang Pembebas
Fakta-fakta normatif di atas sejalan dengan perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW. Sang pembebas yang selalu siap menapaki jalan terjal dan menanggung resiko atas perlawanan yang ia lakukan. Abdurrahman asy-Syarqowi, seorang sejarawan terkenal menyebutnya sebagai pribadi yang mengagumkan, seorang pahlawan yang tidak pernah bergeming melawan kekejaman, kebrutalan dan kebengisan dalam berbagai kondisi, demi terwujudnya cinta kasih antar sesama manusia, keadilan, kebebasan dan masa depan yang sejahtera, serta tanpa diskriminasi.
Bahkan sewaktu remaja, jauh sebelum kerasulannya, telah tampak padanya bibit-bibit sebagai tokoh intelektual sejati (rausyan fikr). Rausyan fikr adalah orang yang sadar akan “keadaan kemanusiaan” (human condition) di masanya, serta setting kesejarahan dan kemasyarakatannya (Ali Syari’ati:1986). Dalam dirinya mulai tertancap bangunan sense of social crisis yang mengagumkan. Bahwa hidup harus gelisah, harus bertanya, dan harus mencari kemungkinan jawaban atas berbagai problematika sosial. Hidup bukan hanya untuk diri sendiri. Hidup juga untuk orang lain, untuk kaum miskin, lemah dan terpinggirkan.
Dari situ Nabi Muhammad mulai mengisolasi diri dan berkontemplasi. Bukan untuk lari dan memenuhi kepentingan sendiri. Bukan untuk mencari aman demi kenyamanan pribadi. Di situ Nabi Muhammad merenung dan mencari segenap alternatif bagaimana memecah kebuntuan sosial. Dan benar saja, di bawah lindungan Yang Maha Kuasa, sejak kerasulannya, Nabi Muhammad menyikapi kenyataan masyarakat Arab dengan tegas bahwa patung-patung hanyalah tipu muslihat dan kesesatan yang nyata. beliau menyeru bahwa Tuhan itu Maha Agung dari batas semisal Ka’bah, bahkan makkah. Dia di setiap tempat. Tak ada rupa bagi-Nya. Dialah yang menciptakan segala sesuatu. Hanya dialah yang patut disembah. Di sisi-Nya tak ada diskriminasi antara hamba sahaya dan bangsawan-bangsawan terkemuka, antara si papa dan si kaya raya, dan antara pria dan wanita. Tuhan tidak mentolelir perzinahan, riba, pembunuhan, dan kesombongan. Dia mengutuk orang-orang yang menumpuk emas dan perak, tanpa mau mendermakannya pada fakir miskin. Dia akan membakar tubuh orang-orang yang suka mempermainkan hak-hak orang lain, yang suka mencuri sukatan dan timbangan. Dia juga meninggikan martabat orang miskin.
Bersama umatnya, beliau mulai membebaskan budak-budak. Sebagai pribadi, beliau tidak suka kenyang sendiri, sementara tetangganya kelaparan. Beliau membenci kebohongan dan kepalsuan. Tak pernah membalas keburukan dengan keburukan. Tak pernah melakukan kepalsuan untuk mencuri keuntungan. Baginya, sebuah janji adalah suci. Karena itu beliau tidak pernah melakukan perbuatan yang menyebabkan dijauhi orang.
Tapi, seperti guratan alam yang mudah ditebak. Melawan berarti mengundang resiko. Nabi Muhammad harus menanggung semua resiko. Oleh para penentangnya, tak jarang Nabi dilecehkan, dihina, dianggap gila, dan diancam pembunuhan. Nabi juga pernah di ludahi, dilempari batu dan kotoran. Bahkan di separo hidupnya ia harus siap di tebas di medan perang. Semua resiko itu dilakoni dengan penuh kesabaran dan konsistensi untuk mencapai dunia baru. Dunia yang adil dan beradab.
Langka
Namun, Budaya perlawanan dan kesiapan menanggung resiko adalah kisah langka di masa kini. Tumpukan data-data pembebasan adalah kisah usang yang hanya menempel di buku-buku sejarah keislaman. Islam yang membebaskan masih menempel di teks-teks agama yang belum banyak tertransformasikan dalam kehidupan masyarakat.
Sekarang adalah masa Islam di tarik-ulur dan diperdebatkan. Sekarang adalah masa Islam dijadikan arena saling sesat-menyesatkan. Islam adalah medan ritualisme dan simbolisme. Dimana penganutnya sudah merasa cukup kala ritual kegamaan sudah dilaksnakan. Merasa nyaman kala berbagai produk atau lembaga di stempel syariah. Islam adalah tumpukan penelitian kuntitatif-kualitaif dalam teks-teks skripsi, tesis, dan disertasi. Inilah zaman Islam dijual. Tema-tema keislaman dijadikan jargon-jargon politik. Amanah dan kejujuran dijadikan alat kampanye untuk mencari simpati publik. Produk-produk kebudayaan muslim dianggap komoditas yang menjanjikan dan dipakai hanya sebatas mode.
Tak aneh bila yang menolak undang-undang penanaman modal asing, yang menentang sewa murah hutan lindung, yang menolak pemberlakuan BHP, yang mati-matian membela hak-hak buruh, yang menolak keganasan korporasi-korposari asing, yang menolak proyek pasir besi, yang menuntut hak-hak korban lapindo, yang memprotes penjualan aset-aset Negara, hanyalah segelintir orang saja. Kekayaan yang hanya berputar di orang-orang kaya juga luput dari perhatian. Alih-alih keadilan distributif yang terjadi, justeru korupsi yang menjadi.
Pemilu pun tampak seperti ritualisme Machiavellian. Liberalisme politik dibungkus atas nama demokrasi. Semua orang berebut kekuasaan dengan segala cara. Tak urusan dengan money politik dan janji yang menipu. Pokoknya dapat duduk di kursi dewan. Urusan rakyat nanti kalau sudah kembali modal. Hasilnya, pemilu yang menghabiskan triliunan rupiah itu tampak seperti perlombaan gaya dan citra untuk menarik simpati publik. Pemilu adalah arena kebijakan populis dan jargon politis yang digunakan untuk mengelabui rakyat.
Anehnya, sedikit sekali kalangan muslim yang bercerita tentang kebobrokan demokrasi liberal tersebut. Sebagian malah berusaha mendukung dengan segenap pendapat dan fatwa, seolah inilah demokrasi yang sejati.
Bukan candu
Hal itu terjadi karena Islam dipahami secara dangkal, yaitu sebatas ritualistik dan simbolik. Itulah sebabnya, banyak orang berislam hanya dengan mengaku-aku lewat KTP. Cerita orang Islam korupsi, membohongi publik, menipu rakyat, mengobral janji yang tak ditepati, termasuk kelompok ini. Juga berislam yang puas memakai produk budaya Arab, sementara diam terhadap problem sosial. Mereka sigap menepis agama bukan candu, tapi menjadikannya agama seperti macan ompong yang meninabobokan rakyat.
Memang Islam bukan agama candu. Maka jangan dibuat candu masyarakat. Islam agama perlawanan bagi yang menindas. Maka jangan hanya rakyat disuruh bersabar. Islam juga Kiri Islam, kata Hassan Hanafi. Islam menyuarakan “mayoritas yang diam” di antara umat islam, membela kepentingan seluruh umat manusia, mengambil hak-hak kaum miskin dari tangan orang-orang kaya, memperkuat orang-orang yang lemah dan menjadikan manusia sama setara “seperti gerigi sisir” (Hassan Hanafi:1981).
Ali syari’ati mengatakan bahwa Islam yang benar lebih dari sekedar kepedulian, Islam yang benar memerintahkan kaum beriman berjuang untuk keadilan, persamaan, dan penghapusan kemiskinan. Karena itu, Islam bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hubungan individual dengan penciptanya, lebih dari itu, ia sebuah ideologi emansipasi dan pembebasan.
Dan kini, kita membutuhkan paradigma Islam seperti yang diungkapkan tokoh-tokoh Islam pembebasan, seperti yang diungkap Asghar Ali Engineer, Ali Syari’ati, dan Hassan Hanafi. Islam yang berparadigma sosial kritis. Islam yang melawan sang penindas dan membela yang ditindas (Allahu a’lam bi al-shawab).
Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Majalah isra PUSHAM UII Edisi April 2009.
Betapa sering kita mendengar suara adzan…Allahu Akbar!Allahu Akbar!...Namun, apakah kalian sudah merenungkan apa yang dimaksud dan isi panggilan itu?... AllahuAkbar bermakna(dalam bahasa yang tegas):berilah sanksi pada para lintah darat yang tamak itu! Tariklah pajak dari mereka yang menumpuk-numpuk kekayaan! Sitalah kekayaan para tukang monopoli yang mendapatkan kekayaan dengan cara mencuri! Sediakanlah makanan untuk rakyat banyak! Bukalah pintu pendidikan lebar-lebar dan majukan kaum wanita! Hancurkan cecunguk-cecunguk yang membodohkan dan memecahbelah umat!Carilah ilmu sampai ke negeri Cina…berikan kebebasan, bentuklah majlis syura yang mandiri, dan biarkan demokrasi yang sebenar-benarnya bersinar! (Raif Khoury)
Melawan adalah kata yang sering dipelintir. Melawan sering diasosiasikan secara negatif. Melawan sering disebut memberontak, mengganggu, dan merusak. Orang yang melakukan perlawanan sering dikatai pengacau situasi, pengganggu stabilitas, dan perusak tatanan. Pada masa Orde Baru, yang kritis dan melawan sering dicap PKI, golongan kiri atau komunis. Di masa SBY, orang yang mengkritik, memprotes, dan berdemonstrasi menolak kenaikan BBM dilabeli penghalang rezeki orang miskin. Tampaknya, segala yang berbau perlawanan terhadap yang mapan telah dikonstruksi sedemikian rupa sebagai sesuatu yang negatif, yang perlu dipadamkan, disingkirkan dan dikuburkan.
Melawan sebenarnya tidak selalu berkonotasi negatif. Justeru dalam banyak hal, melawan adalah tindakan sadar untuk melakukan pembebasan agar kehidupan yang lebih baik tercipta. Melawan merupakan reaksi terhadap dominasi, ketimpangan, dan ketidakadilan sosial. Tengoklah bukti-bukti perlawanan dalam sejarah dunia. Perlawanan rakyat perancis tahun 1789 karena penerapan monarki absolut dan penarikan pajak yang memberatkan rakyat, serta rakyat sudah tidak tahan lagi terhadap tindakan semena-mena dari kalangan bangsawan. Perlawanan rakyat Iran tahun 1979 menentang rezim syah Reza Pahlavi yang korup dan menindas rakyat. Juga para pejuang kemerdekaan negeri ini yang melawan karena kolonialisasi, eksploitasi, dan tindakan biadab para penjajah yang menempatkan rakyat pribumi di kasta terendah.
Untuk sebuah pembebasan, gerakan perlawanan harus menanggung banyak korban. Ingatlah para pahlawan yang tercatat di buku-buku sejarah kita. Begitu banyaknya, sampai kita susah menghafalnya. Belum lagi, “pahlawan” yang tidak dianggap pahlawan. Karena dianggap kiri, radikal, atau tidak mempunyai posisi strategis. Termasuk ribuan hingga jutaan rakyat yang menjadi tumbal kebengisan meneer-meneer Belanda dan Jepang. Mereka itulah pahlawan sejati yang ikut mengantarkan negeri ini ke gerbang kemerdekaan.
Begitu mulianya sebuah perlawanan. Maka perlawanan adalah perjuangan. Perlawanan adalah keniscayaan. Untuk apa? Untuk menghapus setiap struktur yang menindas manusia. Agar manusia kembali pada kedudukannya sebagai manusia. Manusia yang tidak saling menindas. Manusia yang menghargai hak asasi. Manusia yang memanusiakan manusia. Bukankah doktrin agama mengajarkan kepada kita bahwa Tuhan tidak akan merubah suatu kelompok selama kelompok tersebut tidak berupaya merubahnya?
Agama Perlawanan
Islam sendiri merupakan agama perlawanan. Muncul di tengah struktur masyarakat diskriminatif dan eksploitatif. Islam mendobrak, menentang, dan melawan segala yang mapan dan menindas waktu itu. Islam melawan segala bentuk ketidakadilan seperti, eksploitasi ekonomi, penindasan politik, dominasi budaya dan gender, serta segala corak disequlibrium (ketidakseimbangan) dan apertheit (Mansour Fakih:2000).
Islam menentang penindasan. Ketika orang-orang kaya membuat siasat-siasat regulasi pengorbanan, yang sebenarnya hanya didistribusikan untuk orang-orang kaya dan penguasa suku-suku Arab, al-Qur’an mengecamnya sebagai penentuan yang buruk (QS. Al-An’am:136). Dan ketika mereka menumpuk-numpuk harta, al-Qur’an secara tegas mengancamnya dengan akan dimasukkan ke neraka Hutamah (QS. Al-Humazah: 1-9). Pun dengan mereka yang sukanya menimbun emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah, diancam dengan siksaan pedih dan menyakitkan (QS. At-Taubah:34).
Islam menentang berbagai bentuk eksploitasi. Praktek riba yang eksploitatif dan hanya menguntungkan kaum borjuasi ditentang habis-habisan. Orang yang memakan harta riba diancam tidak bisa berdiri di hari kiamat (QS. Al-Baqarah:275). Bahkan begitu dibencinya praktek riba tersebut, Allah SWT dan Rasul-Nya menyiapkan genderang perang terhadap siapa saja yang tidak mau meninggalkan praktek riba (QS. Al-Baqarah: 279). Orang yang berbuat curang menakar dan menimbang dalam perdagangan dikecam akan mendapat kecelakaan yang besar (QS. Al-Muthaffifin: 1-5).
Islam menekankan keadilan distributif. Keadilan yang dikatakan Asghar Ali Engineer seratus persen berlawanan dengan tradisi penumpukan dan penimbunan harta kekayaan waktu itu. Al-Qur’an menganjurkan orang-orang kaya mendermakan hartanya untuk anak yatim, janda-janda, fakir dan miskin, agar kekayaan tersebut tidak hanya berputar diantara orang-orang kaya saja (QS. Al-Hasyr: 7). Bagi yang punya harta berlebih dianjurkannya bershadaqah dan diwajibkan berzakat.
Islam melarang menghina orang miskin. Orang yang memberikan shadaqah pada kaum lemah harus dengan cara yang baik. Sekalipun shadaqah bersifat sukarela, al-Qur’an menitahkan supaya dalam memberi tidak menyinggung perasaan si penerima (QS. Al-Baqarah: 262-263). Memberi juga tidak boleh dimotivasi oleh keinginan untuk dipuji atau riya (QS. Al-Baqarah: 264). Memberi harus dilandasi keikhlasan. Memberi harus lepas dari logika pertukaran. Memberi adalah memberi, kata Jacques Derrida.
Islam membela kaum miskin, lemah dan terpinggirkan. Islam menyebut siapapun sebagai orang yang mendustakan agama, meskipun ia beragama, bila dalam tingkah lakunya menghardik anak yatim, tidak peduli orang miskin, serta tidak mau menolong dengan barang yang berguna. (QS. Al-Ma’un: 1-7). Islam juga melindungi hak-hak buruh dari kaum-kaum yang mempekerjakannya. Nabi mengajarkan: berikanlah upah buruh sebelum keringatnya kering (Ibnu Majah).
Islam agama pemberontak. Ketika sebuah struktur masyarakat menindas; yang mapan mendominasi yang lemah, yang kaya menindas yang miskin, kaum borjuis menghegemoni kaum ploretar, Islam berteriak lantang menyerukan perlawanan. Mengapa kamu tidak mau berpegang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita, maupun anak-anak yang semuanya berdo’a: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi engkau, dan berilah kami penolong dari sisi engkau!”(Q. S. al-Qashash ayat 7).
Itulah nota-nota ajaran Islam yang sangat jelas. Fakta-fakta normatif yang revolusioner, yang menentang struktur masyarakat yang menindas, sekaligus ancaman bagi kemapanan kaum borjuasi. Bukti bahwa Islam membela kaum lemah dan terpinggirkan. Bukti bahwa Islam bukan pembela para elit melainkan orang alit. Bukti bahwa Islam bukan agama yang pro para pencekik melainkan membela wong cilik.
Sang Pembebas
Fakta-fakta normatif di atas sejalan dengan perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW. Sang pembebas yang selalu siap menapaki jalan terjal dan menanggung resiko atas perlawanan yang ia lakukan. Abdurrahman asy-Syarqowi, seorang sejarawan terkenal menyebutnya sebagai pribadi yang mengagumkan, seorang pahlawan yang tidak pernah bergeming melawan kekejaman, kebrutalan dan kebengisan dalam berbagai kondisi, demi terwujudnya cinta kasih antar sesama manusia, keadilan, kebebasan dan masa depan yang sejahtera, serta tanpa diskriminasi.
Bahkan sewaktu remaja, jauh sebelum kerasulannya, telah tampak padanya bibit-bibit sebagai tokoh intelektual sejati (rausyan fikr). Rausyan fikr adalah orang yang sadar akan “keadaan kemanusiaan” (human condition) di masanya, serta setting kesejarahan dan kemasyarakatannya (Ali Syari’ati:1986). Dalam dirinya mulai tertancap bangunan sense of social crisis yang mengagumkan. Bahwa hidup harus gelisah, harus bertanya, dan harus mencari kemungkinan jawaban atas berbagai problematika sosial. Hidup bukan hanya untuk diri sendiri. Hidup juga untuk orang lain, untuk kaum miskin, lemah dan terpinggirkan.
Dari situ Nabi Muhammad mulai mengisolasi diri dan berkontemplasi. Bukan untuk lari dan memenuhi kepentingan sendiri. Bukan untuk mencari aman demi kenyamanan pribadi. Di situ Nabi Muhammad merenung dan mencari segenap alternatif bagaimana memecah kebuntuan sosial. Dan benar saja, di bawah lindungan Yang Maha Kuasa, sejak kerasulannya, Nabi Muhammad menyikapi kenyataan masyarakat Arab dengan tegas bahwa patung-patung hanyalah tipu muslihat dan kesesatan yang nyata. beliau menyeru bahwa Tuhan itu Maha Agung dari batas semisal Ka’bah, bahkan makkah. Dia di setiap tempat. Tak ada rupa bagi-Nya. Dialah yang menciptakan segala sesuatu. Hanya dialah yang patut disembah. Di sisi-Nya tak ada diskriminasi antara hamba sahaya dan bangsawan-bangsawan terkemuka, antara si papa dan si kaya raya, dan antara pria dan wanita. Tuhan tidak mentolelir perzinahan, riba, pembunuhan, dan kesombongan. Dia mengutuk orang-orang yang menumpuk emas dan perak, tanpa mau mendermakannya pada fakir miskin. Dia akan membakar tubuh orang-orang yang suka mempermainkan hak-hak orang lain, yang suka mencuri sukatan dan timbangan. Dia juga meninggikan martabat orang miskin.
Bersama umatnya, beliau mulai membebaskan budak-budak. Sebagai pribadi, beliau tidak suka kenyang sendiri, sementara tetangganya kelaparan. Beliau membenci kebohongan dan kepalsuan. Tak pernah membalas keburukan dengan keburukan. Tak pernah melakukan kepalsuan untuk mencuri keuntungan. Baginya, sebuah janji adalah suci. Karena itu beliau tidak pernah melakukan perbuatan yang menyebabkan dijauhi orang.
Tapi, seperti guratan alam yang mudah ditebak. Melawan berarti mengundang resiko. Nabi Muhammad harus menanggung semua resiko. Oleh para penentangnya, tak jarang Nabi dilecehkan, dihina, dianggap gila, dan diancam pembunuhan. Nabi juga pernah di ludahi, dilempari batu dan kotoran. Bahkan di separo hidupnya ia harus siap di tebas di medan perang. Semua resiko itu dilakoni dengan penuh kesabaran dan konsistensi untuk mencapai dunia baru. Dunia yang adil dan beradab.
Langka
Namun, Budaya perlawanan dan kesiapan menanggung resiko adalah kisah langka di masa kini. Tumpukan data-data pembebasan adalah kisah usang yang hanya menempel di buku-buku sejarah keislaman. Islam yang membebaskan masih menempel di teks-teks agama yang belum banyak tertransformasikan dalam kehidupan masyarakat.
Sekarang adalah masa Islam di tarik-ulur dan diperdebatkan. Sekarang adalah masa Islam dijadikan arena saling sesat-menyesatkan. Islam adalah medan ritualisme dan simbolisme. Dimana penganutnya sudah merasa cukup kala ritual kegamaan sudah dilaksnakan. Merasa nyaman kala berbagai produk atau lembaga di stempel syariah. Islam adalah tumpukan penelitian kuntitatif-kualitaif dalam teks-teks skripsi, tesis, dan disertasi. Inilah zaman Islam dijual. Tema-tema keislaman dijadikan jargon-jargon politik. Amanah dan kejujuran dijadikan alat kampanye untuk mencari simpati publik. Produk-produk kebudayaan muslim dianggap komoditas yang menjanjikan dan dipakai hanya sebatas mode.
Tak aneh bila yang menolak undang-undang penanaman modal asing, yang menentang sewa murah hutan lindung, yang menolak pemberlakuan BHP, yang mati-matian membela hak-hak buruh, yang menolak keganasan korporasi-korposari asing, yang menolak proyek pasir besi, yang menuntut hak-hak korban lapindo, yang memprotes penjualan aset-aset Negara, hanyalah segelintir orang saja. Kekayaan yang hanya berputar di orang-orang kaya juga luput dari perhatian. Alih-alih keadilan distributif yang terjadi, justeru korupsi yang menjadi.
Pemilu pun tampak seperti ritualisme Machiavellian. Liberalisme politik dibungkus atas nama demokrasi. Semua orang berebut kekuasaan dengan segala cara. Tak urusan dengan money politik dan janji yang menipu. Pokoknya dapat duduk di kursi dewan. Urusan rakyat nanti kalau sudah kembali modal. Hasilnya, pemilu yang menghabiskan triliunan rupiah itu tampak seperti perlombaan gaya dan citra untuk menarik simpati publik. Pemilu adalah arena kebijakan populis dan jargon politis yang digunakan untuk mengelabui rakyat.
Anehnya, sedikit sekali kalangan muslim yang bercerita tentang kebobrokan demokrasi liberal tersebut. Sebagian malah berusaha mendukung dengan segenap pendapat dan fatwa, seolah inilah demokrasi yang sejati.
Bukan candu
Hal itu terjadi karena Islam dipahami secara dangkal, yaitu sebatas ritualistik dan simbolik. Itulah sebabnya, banyak orang berislam hanya dengan mengaku-aku lewat KTP. Cerita orang Islam korupsi, membohongi publik, menipu rakyat, mengobral janji yang tak ditepati, termasuk kelompok ini. Juga berislam yang puas memakai produk budaya Arab, sementara diam terhadap problem sosial. Mereka sigap menepis agama bukan candu, tapi menjadikannya agama seperti macan ompong yang meninabobokan rakyat.
Memang Islam bukan agama candu. Maka jangan dibuat candu masyarakat. Islam agama perlawanan bagi yang menindas. Maka jangan hanya rakyat disuruh bersabar. Islam juga Kiri Islam, kata Hassan Hanafi. Islam menyuarakan “mayoritas yang diam” di antara umat islam, membela kepentingan seluruh umat manusia, mengambil hak-hak kaum miskin dari tangan orang-orang kaya, memperkuat orang-orang yang lemah dan menjadikan manusia sama setara “seperti gerigi sisir” (Hassan Hanafi:1981).
Ali syari’ati mengatakan bahwa Islam yang benar lebih dari sekedar kepedulian, Islam yang benar memerintahkan kaum beriman berjuang untuk keadilan, persamaan, dan penghapusan kemiskinan. Karena itu, Islam bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hubungan individual dengan penciptanya, lebih dari itu, ia sebuah ideologi emansipasi dan pembebasan.
Dan kini, kita membutuhkan paradigma Islam seperti yang diungkapkan tokoh-tokoh Islam pembebasan, seperti yang diungkap Asghar Ali Engineer, Ali Syari’ati, dan Hassan Hanafi. Islam yang berparadigma sosial kritis. Islam yang melawan sang penindas dan membela yang ditindas (Allahu a’lam bi al-shawab).
Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Majalah isra PUSHAM UII Edisi April 2009.
0 komentar:
Posting Komentar