Oleh: M. Habibi
Apa arti kemenangan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) bagi gerakan mahasiswa? Mungkin pertanyaan ini bisa menjadi titik pijak bagi tulisan ini, sekaligus juga sebagai titik pijak gerakan mahasiswa untuk menatap masa depan.
Kemenangan SBY dalam satu putaran secara logis tentu menimbulkan tanda tanya, apakah kemenangan ini benar-benar murni atau ada kecurangan di dalamnya? Apa sebenarnya yang telah dilakukan selama perido 2004-2009 sehingga SBY mampu meraup suara yang demikian fantastis?
Jika kita flas back. Tidak banyak sebenarnya yang dilakukan oleh pemerintahan SBY-JK selama ini. Bahkan bisa dikatakan terjadi stagnasi dalam perkembangan kehidupan sosia politik, termasuk juga pada permasalahan korupsi, hukum dan keamanan. Bahkan terakhir, pada pelaksanaan pesta demokrasi, yaitu pemilu legislatif dan prsiden 2009 ini, sejatinya tidak lebih baik dari pemilu sebelumnya. Banyak kekisruhan di sana sini. Kekisruhan yang oleh sebagian pihak kecurangan yang dilakukan secara sistematis, meskipun secara hukum tidak bisa dibuktikan. Namun kita tidak bisa menutup mata, kecurangan itu ada. Dan pemilu yang carut marut itu telah mengantarkan SBY maju kembali sebagai presiden didampingi oleh Budiono, seorng profesional yang secara politik dia tidak mempunyai basis masa. Budiono, yang selama ini bergelut dengan lembaga keuangan, dianggap oleh sebagian pihak sebagai kaki tangan neo-liberalisme. Namun apa mau dikata, kenyataannya dialah yang mendampingi presiden SBY memimpin negara ini.
Kemenangan satu putaran telah membuat kita menggeleng-gelengkan kepala, ditambah lagi kabar yang cukup melukai hati demokrasi. Para kontetstan pemilu yang semula menjadi rival SBY kini justru berduyun-duyun mendekat kepada SBY. Dimulai dari partai Golongan Karya (Golkar), yang memang sedari dulu tidak pernah siap untuk oposisi, kemudian Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan terakhir yang mulai merapat adalah Prabowo Subiyanto dari Gerindra. Lalu siapa yang akan menjadi oposisi, penyeimbang, pada periode pemerintah SBY-Budiono mendatang? Lalu apa arti sebuha pesta demokrasi? Mungkin inilah yang pernah penulis ungkapkan dalam tulisan yang lain, Teater Demokrasi.
Kemengan penuh SBY dan bergabungnya semua partai kontestan Pemilu 2009 semakin membenarkan satu anggapan munculnya otoritarianisme baru, pemerintahan otoriter yang baru, yang tentu berbeda dengan otoritarianisme Orde Baru. Jika pada Orde Baru otoritarianisme menggunakan kekuatan represif, maka otoritarianisme kali ini justru terjadi di alam keterbukaan. Modus yang digunakan adalah bagimana menguasai ruang-ruang publik, lalu dijadikan sebagai propoganda terhadap kebijakan-kebijakan SBY-Budiono. Hal ini bisa dilakukan dengan membiayai lembagai-lembagai survei sebagaimana yang telah dilakuakn saat kampanye. Dan semua itu tidak bisa dilakukan oleh SBY ketika dia tidak mempunayi dana. Dia membutuhkan modal, dari itu dia menggandeng para pemodal, baik pribumi mapun asing. Akan sangat logis bila nantinya kebijakan-kebijakan SBY, sebagaimana juga pada periode sebelumnya, berpihak kepad para pemodal, bukan kepada rakyat, wong cilik.
Tantangan Gerakan Mahasiswa
Kondisi demikian itu menjadi tantangan bagi gerakan mahasiswa (GM). Sepatutnya GM mulai menata diri dan membaca kembali arah geraknya. Dengan tidak adanya opsisi pada pemerintah SBY-Budiono kedepan akan membahayakan nasib demokrasi, karena ketiadaan oposisi berarti juga tidak ada kontrol terhadap jalannya pemerintah ke depan. Di sinilalah GM harus menempatkan diri sebagai oposisi pemerintah. Sebenarnya ini telah dilakukan sedari dulu, namun pasca reformasi, gerakan semacam ini mulai mengendur, untuk itu harus ada langkah perbaikan. GM harus melakukan kritk terhadp penyelenggaraan pemerintahan, memunculkan ide-ide alternatif sebagai penyeimbang dari gagasan-gagasan pemerintah yang tidak pro rakyat.
Ini tentu saja bukan tugas mudah bagai GM, karena kondisi internal di semua GM juga sedang mengalami satu problem tersendiri. Gagasan-gagasan alternatif hanya muncul dengan pemikiran dan perenungan yang mendalam. Perenungan ini akan mendalam hanya dengan adanya banyak kajian-kajian yang mendalam pula yang dilakukan. Pengkajian intensif terhadap permasalahan-permasalah keumatan dan kebangsaan ini akan memberikan satu pijakan berfikir dan bertindak bagi GM. Suatu komunitas, atau gerakan, jika sudah lemah dan jarang melakukan pengkajian dan perenungan yang mendalam terhadap permasalahan yang dihadapinya, pastilah akan mengalami disorientasi, terasing dari dirinya sendiri. Sedikit meminjam perkataan mendiang Pramoedya, kemenangan pertarungan pada hakikatnya adalah kemenangan filsafat atau pemikiran yang mendalam dan sekaligus prinsip.
Sekali lagi ini bukanlah hal yang mudah, karena orang-orang yang berada pada sektor-sektor kekuasaan itu tidak lain adalah senior-senior GM itu sendiri. Mekipun tidak ada ikatan formal organisatoris, namun hubungan antara senioritas dalam GM masih sangat erat sekali. Bahkan, senior-senior ini tidak jarang yang menjadi simpul-simpul GM. Di sinilah GM sudah semestinya mengembalikan semua persoalan pada landasan filosofis-idiologis yang mereka miliki. Siapa pun yang memilki cara pandang yang sama dengan idiologi yang dimilki, maka mereka layak dan berhak untuk dirangkul, berjuang bersama. Namun, siapa pun, jika dia tidak mempunyai cara pandang dan idiologi yang sama dengan GM, tidak selayaknya dia berada dalam baris perjuangan GM, karena dia hanya akan menunggangi GM, menjadi benalu, sekalipun dia adalah senior yang juga pernah ikut membesarkan GM tersebut.
Satu hal lagi yang menjadi problem GM, yaitu kemahasiswaan itu sendiri. Masa tempuh studi yang relatif cepat, menuntut GM juga harus melakukan revlousi perkaderan. Jika selama ini GM merasa terbebani karena dia dituntut untuk bergerak pada ranah masyarakat umum, sehingga banyak GM yang terjun ke sana, ini perlu diperhatikan kembali. Minimnya kader, akan sangat berpengaruh terhadap hal itu. Selain itu pada ranah pengerahan massa, pemberdayaan masyarakat, GM kalah gaung dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kiranya yang sangat penting bagi GM adalah kembali pada basis masanya sendiri, yaitu mahasiswa. Jargon back to campus, kiranya tidak begitu salah. GM harus mampu membentuk martyr-martyr nya lagi, orang-orang yang benar-benar memahami landasan idiologis sekaligus tujuan perjuangannya. Itulah para idiolog-idiolog, yang saat ini semakin sedikit. Menipisnya idiolog-idiolog ini tidak lain karena semakin dangkal pemahaman filsafatnya dan pembacaan mereka terhadap realitas sosial. Inilah tanggung jawab Gerakan Mahasiswa.
31 Agustus 2009
Reformulasi Gerakan Mahasiswa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar