Ada seorang hafidz (penghafal Al-Quran) yang berkata kepada gurunya: “ wahai guruku, aku telah mengkhatamkan Al-Quran”. Gurunya berkata: ‘coba kmau bacakan seoalah-olah aku ada di sana dan melihatmu”. Keesokannya sang murid dating lagi kepada gurunya dan berkata: “saya hanya mampu membacanya separo guru”. Gurunya pun berkata: “coba kamu baca, seolah-olah rasulullah ada di sana dan menyaksikannya”. Keesokannya sang murid datang lagi dan berkata “saya hanya mampu membacaya satu surat, guru. Gurunya pun berkata kembali: “coba baca seolah-olah Allah ada di sana dan melihatmu”. Keesokannya murid tersebut kembali dan berkata: “susah unutk menyelesaikannya, meski itu hanya satu ayat. Terlalu banyak ayat-ayat Allah yang aku sepelekan dan aku abaikan
Itulah kisah sufi yang disampaiakn oleh Eko Prasetyo dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Korps Pengader HMI Cabang Yogyakarta Sabtu, 12 September 2009 di sekretariat HMI Cabang, karangkajen, Yogyakarta, . Diskusi ini dilaksanakan dalam rangka memperingati dan refleksi Nuzulul Quran. Eko Prasetyo menyayangkan bahwa Al-Quran yang turun dengan spirit perubahan kini telah mengalami penyempitan fungsi, yaitu hanya dibaca ketika ada orang yang meninggal dunia, seolah-olah Al-Quran adalah sesuatu yang hanya patut pada acara-acara tertentu saja. Bahkan gerakan-gerakan Islam juga jarang menjadikan Al-Quran sebagai sumber dan spirit perubahan. Dengan membaca Al-Quran dan memahaminya, seorang aktivis muslim sebenarnya akan memperoleh satu gagasan-gagasan dan strategi gerakan. Hal in ibis dilakukan dengan memahami kisah-kisah yang ada di dalam Al-Quran. Direktur PUSHAM UII ini mencontohkan, nabi Musa adalah aktivis sejati. Dia berjuangan menegakkan kebenaran melawan orang yang telah membesarkan dirinya. Dia membawa lari kaumnya, meski setelah seruannya tidak juga didengarkan oleh kaumnya yang telah dia bela.
Selain itu, Eko Prasetyo juga menjelakan bahwa Ibrahim adalah sorang aktivis kebenaran yang cerdas. Dia mampu bermain logika dengan seorang raja lalim, meski waktu itu usianya belum genap 17 tahun. Dan yang tidak kalah penting adalah kehidupan Nabi Muhammad sendiri. Muhammada adalah penegak HAM sejati. Sebagai orang yang menyampaikan kebenaran, Nabi Muhammad SAW pernah diberi steritip penyihir, dukun dan pembual. Selain itu dia juga di boikot, dasingkan dan dikucilkan, sebagaiman musa juga, dia jadi buronan untuk dibunuh oleh orang Qurais. Bahkan, Menurut penulis buku Islam Agama Perlawanan ini, kondisi gerakan mahasiswa saat ini sama kondisinya dengan periode thaif, yaitu ketika Nabi hendak hijrah ke thaif. Masyarkat Thaif yang semula diharapkan menerima seruan nabi, justru malah mengusir dan melamparinya dengan bebatuan. Itulah kondisi sekarang, gerakan mahasiswa tidak memiliki kader yang secara kuantitas bias dibilang banyak. Ini tidak lain karena gerakan mahasiswa diidentikkan dengan kemiskinan. Selain itu, kebijakan kampus telah banyak menutup peluang mahasiswa untuk berorganisasi. Dia dikucilkan oleh kampus, bahkan oleh mahasiswa sendiri, gagasan-gagsannya diabaikan.
Untuk itu, menurut Eko Prasetyo, gerakan mahasiswa harus kembali mengokohkan gerakannya, memupuk idiologinya, sehingga terhujam sangat dalam. Karena, menurutnya, bahaya yang paling besar adalah ketika aktivis-aktivis gerakan mengalami frustasi dan gerakan dan idiloginya itu dikhianati oleh aktivisnya sendiri. Selan itu, penguatan hubungan emosional sesame kader perlu digalang kembali. Hal ini dilakukan agar bias saling mendukung, menyokong untuk membina dan mengembangkan diri. Mengutip sebuha hadis ia berujar: “sebaik-baik teman adalah apabila kamu mamandang wajahnya, mengingatkanmu pada Allah, apabila kamu berbicara padanya, bertambah ilmumu, dan dia selalu mengingatkanmu pada akhirat dan amal-amalmu untuk hari itu”. Dan itu hanya mungkin, jika gerakan menjadikan Al-Quran sebagai sumber dan spirit perubahan, sebagaimana awalnya Al-Quran diturunkan.
Itulah kisah sufi yang disampaiakn oleh Eko Prasetyo dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Korps Pengader HMI Cabang Yogyakarta Sabtu, 12 September 2009 di sekretariat HMI Cabang, karangkajen, Yogyakarta, . Diskusi ini dilaksanakan dalam rangka memperingati dan refleksi Nuzulul Quran. Eko Prasetyo menyayangkan bahwa Al-Quran yang turun dengan spirit perubahan kini telah mengalami penyempitan fungsi, yaitu hanya dibaca ketika ada orang yang meninggal dunia, seolah-olah Al-Quran adalah sesuatu yang hanya patut pada acara-acara tertentu saja. Bahkan gerakan-gerakan Islam juga jarang menjadikan Al-Quran sebagai sumber dan spirit perubahan. Dengan membaca Al-Quran dan memahaminya, seorang aktivis muslim sebenarnya akan memperoleh satu gagasan-gagasan dan strategi gerakan. Hal in ibis dilakukan dengan memahami kisah-kisah yang ada di dalam Al-Quran. Direktur PUSHAM UII ini mencontohkan, nabi Musa adalah aktivis sejati. Dia berjuangan menegakkan kebenaran melawan orang yang telah membesarkan dirinya. Dia membawa lari kaumnya, meski setelah seruannya tidak juga didengarkan oleh kaumnya yang telah dia bela.
Selain itu, Eko Prasetyo juga menjelakan bahwa Ibrahim adalah sorang aktivis kebenaran yang cerdas. Dia mampu bermain logika dengan seorang raja lalim, meski waktu itu usianya belum genap 17 tahun. Dan yang tidak kalah penting adalah kehidupan Nabi Muhammad sendiri. Muhammada adalah penegak HAM sejati. Sebagai orang yang menyampaikan kebenaran, Nabi Muhammad SAW pernah diberi steritip penyihir, dukun dan pembual. Selain itu dia juga di boikot, dasingkan dan dikucilkan, sebagaiman musa juga, dia jadi buronan untuk dibunuh oleh orang Qurais. Bahkan, Menurut penulis buku Islam Agama Perlawanan ini, kondisi gerakan mahasiswa saat ini sama kondisinya dengan periode thaif, yaitu ketika Nabi hendak hijrah ke thaif. Masyarkat Thaif yang semula diharapkan menerima seruan nabi, justru malah mengusir dan melamparinya dengan bebatuan. Itulah kondisi sekarang, gerakan mahasiswa tidak memiliki kader yang secara kuantitas bias dibilang banyak. Ini tidak lain karena gerakan mahasiswa diidentikkan dengan kemiskinan. Selain itu, kebijakan kampus telah banyak menutup peluang mahasiswa untuk berorganisasi. Dia dikucilkan oleh kampus, bahkan oleh mahasiswa sendiri, gagasan-gagsannya diabaikan.
Untuk itu, menurut Eko Prasetyo, gerakan mahasiswa harus kembali mengokohkan gerakannya, memupuk idiologinya, sehingga terhujam sangat dalam. Karena, menurutnya, bahaya yang paling besar adalah ketika aktivis-aktivis gerakan mengalami frustasi dan gerakan dan idiloginya itu dikhianati oleh aktivisnya sendiri. Selan itu, penguatan hubungan emosional sesame kader perlu digalang kembali. Hal ini dilakukan agar bias saling mendukung, menyokong untuk membina dan mengembangkan diri. Mengutip sebuha hadis ia berujar: “sebaik-baik teman adalah apabila kamu mamandang wajahnya, mengingatkanmu pada Allah, apabila kamu berbicara padanya, bertambah ilmumu, dan dia selalu mengingatkanmu pada akhirat dan amal-amalmu untuk hari itu”. Dan itu hanya mungkin, jika gerakan menjadikan Al-Quran sebagai sumber dan spirit perubahan, sebagaimana awalnya Al-Quran diturunkan.