Oleh:Ihab Habudin
Perang perang lagi/Mungkin kah berhenti/Bila setiap negara/Berlomba dekap senjata/
Dengan nafsu yang makin menggila/Nuklirpun tercipta/
Tampaknya sang jendral bangga di mimbar ia berkata /Untuk perdamaian/
Demi perdamaian/Guna perdamaian/Dalih perdamaian/
Mana mungkin/Bisa terwujudkan/Semua hanya alasan/Semua hanya bohong besar/
(Iwan Fals: Puing)
Nuansa batin saya ketika menulis artikel ini mungkin sama dengan apa yang dirasakan Iwan Fals lewat lagunya di atas yang berjudul puing. Kekecewaan, kesedihan, keprihatinan, ketegangan, kebencian, kecintaan, ketidakpercayaan, ketidakberdayaan dan harapan, semua bercampur aduk. Tragedi kemanusiaan di akhir-awal tahun 2008-2009 terjadi. Sejak agresi militer Israel ke Palestina dimulai 27 Desember silam, lebih dari seribu manusia Palestina meregang nyawa. Ribuan lainnya melarat karena kesakitan, kelaparan, kehausan, kepanikan, kegetiran, ancaman kematian dan traumatisme.
Haruskah manusia bergelimpangan tangan tunduk menunggu giliran dijemput yang Maha Kuasa? Meski Tuhan lah yang menghidupkan dan mematikan, menurut saya, kita patut bertanya mengapa kematian itu terjadi? Mengapa manusia hanya dihargai seledak bom dan sebutir peluru?
Hampir saja ketegangan syaraf saya tak terbendung ketika melihat keharusan dan kenyataan begitu kontradiktif. Hampir saja saya ‘tendang’ berbagai artistik dan teori-teori sosial yang diadiluhungkan di berbagai diskusi itu. Apalah gunanya kita menghabiskan waktu dan energi, berdebat masalah penegakan HAM, demokrasi, dan keadilan, hingga urat syaraf dan emosi menantang, bila HAM, demokrasi dan keadilan itu hanya diletakan di bawah todongan para tentara, kepentingan-kepentingan sepihak, manusia-manusia serakah, dan egoisme brutal mahluk-mahluk yang merasa benar sendiri.
Dimana kuasa teori fungsionalisme-struktural, yang katanya berdiri untuk mancapai kenyataan hidup yang lebih baik itu, bila yang terjadi adalah disequilibrium dan apertheit. Bila yang menjadi kebanggaan adalah mampu mencipta senjata-senjata mematikan dan mendemonstrasikannya lewat tentara-tentara terlatih, tank-tank baja, pesawat-pesawat tempur, rudal-rudal canggih, dan bom-bom yang menghanguskan. Tidak soal siapa dan apa yang mati dan dihancurkan. Anak-anak, wanita, manula, rumah sakit, sekolah, dan posko-posko bantuan sosial. Semua bisa menjadi tumbal.
Kekecewaan saya semakin bertambah ketika ketika PBB seperti ‘macan ompong’. Resolusi-resolusi yang dihasilkan tidak cukup efektif meredam serangan brutal Israel. Bahkan, menurut saya, gencatan senjata sepihak (Israel-AS) dan Hamas merupakan bukti kegagalan forum tertinggi itu dalam upaya menghadirkan keadilan dan kedamaian di gaza. Humanisme dipermainkan militerisme. Nurani, kemanusiaan, dan norma-norma agama yang menyeru kedamaian disepelekan.
Ah, saya bosan, saya kesal. Tidakkah mereka peka, karena permainan militerisasi mereka itu menyebabkan tanah basah bercampur darah. Karena ulah mereka itu yang hidup menjadi mati, yang selamat harapannya juga mati.
Kepala saya pun bosan berdiam diri. Adakah harapan kehidupan yang lebih baik tercipta? Atau kehidupan itu adalah kematian itu sendiri, yang mengharuskan manusia bak homo homini lupus, saling menyikut, menendang, dan membunuh?
Memang ada yang menganjurkan agar semua bentuk kekerasan dan terror itu dihadapi dengan rasionalitas komunikatif dalam dialog yang intensif. Tapi, mungkinkah? Di tengah dunia kekerasan yang mencekam, ekses ketdakadilan yang membuncah, kebencian yang menebal, ketidakpercayaan yang membumbung, dan kecurigaan yang melilit sebagian otak-otak manusia. Plus, arogansi, hegemoni dan kekeras-kepalaan sebagian negara menindas negara lain. Bisakah kuasa komunikatif dapat diharapkan bila sebagian negara masih tetap sewenang-wenang melakukan tindakan unilateralnya?
Sementara di luar sana, teriakan Allahuakbar membahana. Sebagian berseru:“mari berjihad!”. Pendaftaran relawan dibuka. Yang lainnya bangga menyeru:“mari kita dirikan khilafah islamiyah!”. Mereka berdalih bahwa ketidakadilan itu karena tidak ditegakannya khilafah. Kekuatan harus dilawan kekuatan, katanya. Tak masalah, meski perang tetap berkobar. Meski dendam kesumat tetap menancap. Klaim kekhilafahan-pun temukan momentum.
Tentu saja mereka kurang simpati dengan dialog antar negara. Bagi mereka doktrin agama adalah resep ampuh untuk menyatukan dan menyelamatkan dunia. Rasionalitas konflik adalah keniscayaan untuk memerangi ketidakadilan. Bagi mereka, dialog hanya akan menyebabkan ketimpangan dunia terus bercokol. Dialog hanyalah taktik ulur waktu agar korban bertambah banyak. Dalam dalog, kuasa, kepentingan, dan kemunafikan menyelinap.
***
Meskipun begitu, menurut saya, niat untuk berdamai dan dialog adalah jalan terbaiknya. Diplomasi yang efektif adalah kunci utama bila kita ingin mencapai perdamaian dunia. Sebaliknya, perang dan kekerasan bukanlah alat ampuh meredam segala bentuk terror dan kekerasan. Perang hanya akan membuat perdamaian menjauh. Bila dengan perang perdamaian tercipta, yakinlah itu hanya sesaat. Seperti bom waktu, cepat atau lambat terror dan kekerasan lebih besar siap meledak.
Mungkin dengan perang bisa membunuh sekian ribu ‘musuh’, menghancurkan struktur dan infrastruktur, serta menghilangkan harapan hidupnya. Tapi ingat, perang juga membakar semangat membalas, menumbuh-suburkan dendam kesumat, dan menebarkan kebencian.
Bila dikatakan bahwa dengan perang radikalisme agama akan hancur, saya sangat yakin meragukannya. Justeru dengan perang radikalisme agama mendapat momentum. Justeru dengan adanya kekerasan mereka mendapat legitimasi. Justeru dengan ledakan bom dan todongan senjata semangat mereka makin bertambah.
Logika kekerasan seperti ini tidak hanya berlaku bagi Zionis-Hamas, melainkan juga bagi siapapun. Dapat dibayangkan bila tebaran pesona ajaran agama-agama diimplementasikan lewat pembatasan dan kebencian pada komunitas lain, akan tercipta berpetak-petak kekuatan yang saling unjuk gigi, saling berperang, menindas dan menyergap.
Bukan itu saja, kala perang, pertentangan dan konflik mendarah daging, berarti manusia telah tunduk pada sisi gelap sebagian nalurinya, yaitu survival of the fittes. Sebuah naluri untuk selalu bersaing dalam mempertahankan hidup. Padahal, di sisi lain manusia juga punya rasa solidaritas. Di dalam konteks ini manusia dapat saling membantu dan melindungi.
Dengan demikian, dialog adalah sarana publik yang harus terus dimaksimalkan. Memang sudah tercipta berbagai forum dialog yang melibatkan Israel-Palestina. Namun, dialog yang efektif belum tampak, sekalipun di antara negeri-negeri Arab sendiri. Dialog yang efektif adalah dialog yang di dalamnya mengandung dialektika rasionalitas komunikatif. Di sini, kejujuran, keterbukaan, dan pengagungan rasionalitas publik menjadi syarat utama.
Karena itu, egoisme pribadi, kungkungan etnosentrime dan fanatisme agama harus dihilangkan terlebih dahulu bila kesepakatan publik hendak dicapai. Merasa benar sendiri, paling suci, paling berhak dan seterusnya, harus bisa diredam tatkala dialog hendak dilakukan. Karena dialog yang efektif mengandaikan bahwa perdamaian dan rasionalitas publik adalah milik “kita”. Bukan hanya kamu dan saya.
Memang banyak yang menyangsikan bahwa dialog mampu menjamin terciptanya suasana kejujuran, keterbukaan dan pengagungan rasionalitas publik seperti saya sebut di atas. Tapi, segala bentuk ketidakpercayaan itu hendaknya tidak harus menghilangkan upaya pemaksimalan dialog. Memang dialog tidak bisa menghentikan secara sesaat perang di Gaza. Tapi, dialog mampu menghimpun opini dunia untuk menekan semua bentuk terror dan kekerasan.
Selain itu, menurut saya, dialog bukan hanya rutinitas dan formalisme sebuah legislasi. Lebih dari itu, dialog merupakan pengakuan atas identitas dan rasionalitas seseorang. Dalam konteks negara, dialog adalah upaya pengakuan dan penghargaan atas eksistensi masing-masing negara. Maka, dialog adalah sebuah seruan logis kalau kita mau melihat krisis Israel-Palestina sebagai tragedi dan krisis kemanusiaan.
***
Saya mengakui, bahwa dialog yang sudah dilakukan mengenai krisis Israel-Palestina penuh nuansa politis dan jauh dari hasil yang diidamkan. Tapi, bagi saya, itulah tantangan komunitas muslim khususnya dan dunia umumnya. Saya melihat, kegagalan dunia muslim dalam membantu krisis Palestina juga tidak lepas dari belum terbentuknya opini publik di dunia muslim itu sendiri. Dunia muslim, khususnya negara-negara arab masih terpecah, belum menemukan kesepahaman.
Meski begitu, kini, setelah gencatan senjata, dialog harus tetap berlangsung. Usaha persuasif untuk mencegah perang terjadi lagi harus tetap diupayakan.
Kini, forum tertinggi dunia harus didesak untuk mengungkap kejahatan perang yang dilakukan Israel. Legislasi publik dunia yang tewujud dalam resolusi bahwa Israel melakukan kejahatan perang harus menjadi titik tolak semua negara agar kepercayaan dan kewibawaan lembaga tertinggi di muka bumi ini bisa dikembalikan. Sekali lagi, demi kemanusiaan.
Selain itu, sekarang saat tepat bila para penutur jihad itu mau terjun ke Palestina. Selain kemungkinan bisa masuk sangat besar, juga sekaranglah bantuan relawan untuk membangun puing-puing bangunan yang hancur dibutuhkan.
Bagi saya, jihad bukan hanya teriak Allahuakbar semangat ke medan tempur. Lebih dari itu ia mengandaikan adanya efektifitas dari apa yang dilakukan si pejuang. Itulah mengapa jihad itu tidak hanya diartikan perang. Jihad juga bisa dilakukan dengan harta dan raga. Kalau jihad hanya ditujukan untuk sekedar pamer eksistensi bahwa ia sudah berunjuk gigi dan berharap ia masuk surga, bagi saya, itulah sisi kedangkalannya memahami jihad.
Allah Maha Mengetahui.
Perang perang lagi/Mungkin kah berhenti/Bila setiap negara/Berlomba dekap senjata/
Dengan nafsu yang makin menggila/Nuklirpun tercipta/
Tampaknya sang jendral bangga di mimbar ia berkata /Untuk perdamaian/
Demi perdamaian/Guna perdamaian/Dalih perdamaian/
Mana mungkin/Bisa terwujudkan/Semua hanya alasan/Semua hanya bohong besar/
(Iwan Fals: Puing)
Nuansa batin saya ketika menulis artikel ini mungkin sama dengan apa yang dirasakan Iwan Fals lewat lagunya di atas yang berjudul puing. Kekecewaan, kesedihan, keprihatinan, ketegangan, kebencian, kecintaan, ketidakpercayaan, ketidakberdayaan dan harapan, semua bercampur aduk. Tragedi kemanusiaan di akhir-awal tahun 2008-2009 terjadi. Sejak agresi militer Israel ke Palestina dimulai 27 Desember silam, lebih dari seribu manusia Palestina meregang nyawa. Ribuan lainnya melarat karena kesakitan, kelaparan, kehausan, kepanikan, kegetiran, ancaman kematian dan traumatisme.
Haruskah manusia bergelimpangan tangan tunduk menunggu giliran dijemput yang Maha Kuasa? Meski Tuhan lah yang menghidupkan dan mematikan, menurut saya, kita patut bertanya mengapa kematian itu terjadi? Mengapa manusia hanya dihargai seledak bom dan sebutir peluru?
Hampir saja ketegangan syaraf saya tak terbendung ketika melihat keharusan dan kenyataan begitu kontradiktif. Hampir saja saya ‘tendang’ berbagai artistik dan teori-teori sosial yang diadiluhungkan di berbagai diskusi itu. Apalah gunanya kita menghabiskan waktu dan energi, berdebat masalah penegakan HAM, demokrasi, dan keadilan, hingga urat syaraf dan emosi menantang, bila HAM, demokrasi dan keadilan itu hanya diletakan di bawah todongan para tentara, kepentingan-kepentingan sepihak, manusia-manusia serakah, dan egoisme brutal mahluk-mahluk yang merasa benar sendiri.
Dimana kuasa teori fungsionalisme-struktural, yang katanya berdiri untuk mancapai kenyataan hidup yang lebih baik itu, bila yang terjadi adalah disequilibrium dan apertheit. Bila yang menjadi kebanggaan adalah mampu mencipta senjata-senjata mematikan dan mendemonstrasikannya lewat tentara-tentara terlatih, tank-tank baja, pesawat-pesawat tempur, rudal-rudal canggih, dan bom-bom yang menghanguskan. Tidak soal siapa dan apa yang mati dan dihancurkan. Anak-anak, wanita, manula, rumah sakit, sekolah, dan posko-posko bantuan sosial. Semua bisa menjadi tumbal.
Kekecewaan saya semakin bertambah ketika ketika PBB seperti ‘macan ompong’. Resolusi-resolusi yang dihasilkan tidak cukup efektif meredam serangan brutal Israel. Bahkan, menurut saya, gencatan senjata sepihak (Israel-AS) dan Hamas merupakan bukti kegagalan forum tertinggi itu dalam upaya menghadirkan keadilan dan kedamaian di gaza. Humanisme dipermainkan militerisme. Nurani, kemanusiaan, dan norma-norma agama yang menyeru kedamaian disepelekan.
Ah, saya bosan, saya kesal. Tidakkah mereka peka, karena permainan militerisasi mereka itu menyebabkan tanah basah bercampur darah. Karena ulah mereka itu yang hidup menjadi mati, yang selamat harapannya juga mati.
Kepala saya pun bosan berdiam diri. Adakah harapan kehidupan yang lebih baik tercipta? Atau kehidupan itu adalah kematian itu sendiri, yang mengharuskan manusia bak homo homini lupus, saling menyikut, menendang, dan membunuh?
Memang ada yang menganjurkan agar semua bentuk kekerasan dan terror itu dihadapi dengan rasionalitas komunikatif dalam dialog yang intensif. Tapi, mungkinkah? Di tengah dunia kekerasan yang mencekam, ekses ketdakadilan yang membuncah, kebencian yang menebal, ketidakpercayaan yang membumbung, dan kecurigaan yang melilit sebagian otak-otak manusia. Plus, arogansi, hegemoni dan kekeras-kepalaan sebagian negara menindas negara lain. Bisakah kuasa komunikatif dapat diharapkan bila sebagian negara masih tetap sewenang-wenang melakukan tindakan unilateralnya?
Sementara di luar sana, teriakan Allahuakbar membahana. Sebagian berseru:“mari berjihad!”. Pendaftaran relawan dibuka. Yang lainnya bangga menyeru:“mari kita dirikan khilafah islamiyah!”. Mereka berdalih bahwa ketidakadilan itu karena tidak ditegakannya khilafah. Kekuatan harus dilawan kekuatan, katanya. Tak masalah, meski perang tetap berkobar. Meski dendam kesumat tetap menancap. Klaim kekhilafahan-pun temukan momentum.
Tentu saja mereka kurang simpati dengan dialog antar negara. Bagi mereka doktrin agama adalah resep ampuh untuk menyatukan dan menyelamatkan dunia. Rasionalitas konflik adalah keniscayaan untuk memerangi ketidakadilan. Bagi mereka, dialog hanya akan menyebabkan ketimpangan dunia terus bercokol. Dialog hanyalah taktik ulur waktu agar korban bertambah banyak. Dalam dalog, kuasa, kepentingan, dan kemunafikan menyelinap.
***
Meskipun begitu, menurut saya, niat untuk berdamai dan dialog adalah jalan terbaiknya. Diplomasi yang efektif adalah kunci utama bila kita ingin mencapai perdamaian dunia. Sebaliknya, perang dan kekerasan bukanlah alat ampuh meredam segala bentuk terror dan kekerasan. Perang hanya akan membuat perdamaian menjauh. Bila dengan perang perdamaian tercipta, yakinlah itu hanya sesaat. Seperti bom waktu, cepat atau lambat terror dan kekerasan lebih besar siap meledak.
Mungkin dengan perang bisa membunuh sekian ribu ‘musuh’, menghancurkan struktur dan infrastruktur, serta menghilangkan harapan hidupnya. Tapi ingat, perang juga membakar semangat membalas, menumbuh-suburkan dendam kesumat, dan menebarkan kebencian.
Bila dikatakan bahwa dengan perang radikalisme agama akan hancur, saya sangat yakin meragukannya. Justeru dengan perang radikalisme agama mendapat momentum. Justeru dengan adanya kekerasan mereka mendapat legitimasi. Justeru dengan ledakan bom dan todongan senjata semangat mereka makin bertambah.
Logika kekerasan seperti ini tidak hanya berlaku bagi Zionis-Hamas, melainkan juga bagi siapapun. Dapat dibayangkan bila tebaran pesona ajaran agama-agama diimplementasikan lewat pembatasan dan kebencian pada komunitas lain, akan tercipta berpetak-petak kekuatan yang saling unjuk gigi, saling berperang, menindas dan menyergap.
Bukan itu saja, kala perang, pertentangan dan konflik mendarah daging, berarti manusia telah tunduk pada sisi gelap sebagian nalurinya, yaitu survival of the fittes. Sebuah naluri untuk selalu bersaing dalam mempertahankan hidup. Padahal, di sisi lain manusia juga punya rasa solidaritas. Di dalam konteks ini manusia dapat saling membantu dan melindungi.
Dengan demikian, dialog adalah sarana publik yang harus terus dimaksimalkan. Memang sudah tercipta berbagai forum dialog yang melibatkan Israel-Palestina. Namun, dialog yang efektif belum tampak, sekalipun di antara negeri-negeri Arab sendiri. Dialog yang efektif adalah dialog yang di dalamnya mengandung dialektika rasionalitas komunikatif. Di sini, kejujuran, keterbukaan, dan pengagungan rasionalitas publik menjadi syarat utama.
Karena itu, egoisme pribadi, kungkungan etnosentrime dan fanatisme agama harus dihilangkan terlebih dahulu bila kesepakatan publik hendak dicapai. Merasa benar sendiri, paling suci, paling berhak dan seterusnya, harus bisa diredam tatkala dialog hendak dilakukan. Karena dialog yang efektif mengandaikan bahwa perdamaian dan rasionalitas publik adalah milik “kita”. Bukan hanya kamu dan saya.
Memang banyak yang menyangsikan bahwa dialog mampu menjamin terciptanya suasana kejujuran, keterbukaan dan pengagungan rasionalitas publik seperti saya sebut di atas. Tapi, segala bentuk ketidakpercayaan itu hendaknya tidak harus menghilangkan upaya pemaksimalan dialog. Memang dialog tidak bisa menghentikan secara sesaat perang di Gaza. Tapi, dialog mampu menghimpun opini dunia untuk menekan semua bentuk terror dan kekerasan.
Selain itu, menurut saya, dialog bukan hanya rutinitas dan formalisme sebuah legislasi. Lebih dari itu, dialog merupakan pengakuan atas identitas dan rasionalitas seseorang. Dalam konteks negara, dialog adalah upaya pengakuan dan penghargaan atas eksistensi masing-masing negara. Maka, dialog adalah sebuah seruan logis kalau kita mau melihat krisis Israel-Palestina sebagai tragedi dan krisis kemanusiaan.
***
Saya mengakui, bahwa dialog yang sudah dilakukan mengenai krisis Israel-Palestina penuh nuansa politis dan jauh dari hasil yang diidamkan. Tapi, bagi saya, itulah tantangan komunitas muslim khususnya dan dunia umumnya. Saya melihat, kegagalan dunia muslim dalam membantu krisis Palestina juga tidak lepas dari belum terbentuknya opini publik di dunia muslim itu sendiri. Dunia muslim, khususnya negara-negara arab masih terpecah, belum menemukan kesepahaman.
Meski begitu, kini, setelah gencatan senjata, dialog harus tetap berlangsung. Usaha persuasif untuk mencegah perang terjadi lagi harus tetap diupayakan.
Kini, forum tertinggi dunia harus didesak untuk mengungkap kejahatan perang yang dilakukan Israel. Legislasi publik dunia yang tewujud dalam resolusi bahwa Israel melakukan kejahatan perang harus menjadi titik tolak semua negara agar kepercayaan dan kewibawaan lembaga tertinggi di muka bumi ini bisa dikembalikan. Sekali lagi, demi kemanusiaan.
Selain itu, sekarang saat tepat bila para penutur jihad itu mau terjun ke Palestina. Selain kemungkinan bisa masuk sangat besar, juga sekaranglah bantuan relawan untuk membangun puing-puing bangunan yang hancur dibutuhkan.
Bagi saya, jihad bukan hanya teriak Allahuakbar semangat ke medan tempur. Lebih dari itu ia mengandaikan adanya efektifitas dari apa yang dilakukan si pejuang. Itulah mengapa jihad itu tidak hanya diartikan perang. Jihad juga bisa dilakukan dengan harta dan raga. Kalau jihad hanya ditujukan untuk sekedar pamer eksistensi bahwa ia sudah berunjuk gigi dan berharap ia masuk surga, bagi saya, itulah sisi kedangkalannya memahami jihad.
Allah Maha Mengetahui.